JAKARTA, MHI – Togi M. P. Pangaribuan yang berprofesi sebagai Advokat dan Dosen di Fakultas Hukum Universitas Indonesia mengajukan uji materiil Pasal 1 angka (9) Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU AAPS) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang Pendahuluan Perkara Nomor 100/PUU-XXII/2024 ini dipimpin oleh Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur bersama dengan Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih pada Rabu (7/8/2024).
Pasal 1 angka (9) UU AAPS menyatakan, “Putusan Arbitrase Internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, atau putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional.”
Aristo Pangaribuan selaku kuasa hukum mengatakan Pasal 1 angka (9) UU AAPS khususnya frasa ’yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional’ bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Bagi Pemohon setidak-tidaknya mengalami kerugian konstitutional yang aktual dan spesifik dalam beberapa aspek, di antaranya dari sisi profesi dosen Pemohon mempunyai kewajiban untuk mengajarkan ilmu hukum arbitrase kepada mahasiswa secara akurat, baik dari sisi teoretikal ilmu dan juga praktikalnya. Semantara dari sisi profesi sebagai advokat, Pemohon berkewajiban untuk memberikan jasa hukum, baik berupa layanan litigasi maupun nasihat kepada klien.
Dengan adanya ketidakpastian hukum dalam UU AAPS, Pemohon tidak dapat melaksanakan kedua profesi tersebut. Sebab adanya pencampuradukan pengertian konsep teritorial sempit dan luas di dalam UU AAPS. Sehingga Pemohon kesulitan untuk menentukan mana yang tergolong putusan arbitrase nasional dan putusan arbitrase internasional apabila mendasarkan pada ketentuan Pasal 1 ayat (9) UU AAPS.
“Menyatakan frasa ’yang menurut ketentuan hukum republik indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional’ dalam Pasal 1 ayat 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa bertentangan dengan kepastian hukum di Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” ujar Aristo di Ruang Sidang MK.
Kerugian Konstitusional Akibat Ambiguitas
Hakim Konstitusi Arief dalam nasihat Panel Hakim menyebutkan perlu bagi Pemohon untuk menguraikan lebih jelas tentang kedudukan hukum sebagai subjek hukum perorangan sebagai dosen dan arbiter, sehingga terlihat dampak kerugian yang dialami atas keberlakuan norma yang diujkan ini.
“Saya belum dapat gambaran jelas, kerugian ada karena ada ambiguitas antara internasional dan nasional, tetapi pertentangan pasal a quo dan UUD NRI 1945 ini tunjukkan di mana letak ketidakpastian hukum yang. Berakibat pada ketidakadilan. Jika pelrlu dikaitkan dengan bagaimana pengaturan arbitrase ini di negara-negara lain,” jelas Arief.
Sementara Hakim Konstitusi Enny mengatakan syarat-syarat kerugian hak konstitusional sudah dimunculkan, namun perlu ditegaskan beberapa hal di antaranya hak yang diberikan undang-undang dasar; hak yang dirugikan oleh berlakunya norma ini dengan bukti-bukti dari lembaga arbitrase, arbiter, dan sejenisnya; bentuk kerugian yang bersifat aktual tak hanya sebagai arbiter.
“Perlu diuraikan satu per satu yang kemudian sampai pada kesimpulan atas pasal dan frasa yang dikhususkan tersebut pada bagian petitum sebagaimana lazimnya dalam permohonan,” jelas Enny.
Pada akhir persidangan, Hakim Konstitusi Ridwan mengatakan Pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk memperbaiki permohonan.Kemudian selambat-lambatnya naskah perbaikan dapat diberikan pada Selasa, 20 Agustus 2024 pukul 13.00 WIB. Sehingga, Kepaniteraan MK akan menjadwalkan sidang lanjutan untuk perkara ini dengan agenda mendengarkan perbaikan permohonan Pemohon.
(Sri, Lulu, Febrian) MHI