HTML

HTML

Sabtu, 19 Januari 2019

BKN : Dari 2.357 PNS Terpidana Korupsi (Incracht) Baru 393 Orang Yang Mendapat (SK PTDH)

JAKARTA , MHI – Berdasarkan data Kedeputian Bidang Pengawasan dan Pengendalian Kepegawaian (Wasdapeg) Badan Kepegawaian Negara (BKN), tercatat dari 2.357 Pegawai Negara Sipil (PNS) terpidana korupsi yang telah memperoleh putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap (incracht) hingga 14 Januari 2019, baru 393 orang yang sudah ditetapkan Surat Keputusan Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (SK PTDH) oleh masing-masing Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK).
“Sebanyak 393 PNS yang sudah ditetapkan SK PTDH itu, sebanyak 42 orang berasal dari Instansi Pusat, dan 351 lainnya berasal dari Instansi Daerah,” kata Kepala Biro Hubungan Masyarakat (Humas) BKN, Mohammad Ridwan, dalam siaran persnya Senin (14/1) sore.
Terkait hal itu, Ridwan menegaskan, bahwa BKN akan terus mengawal proses penyikapan terhadap kasus PNS/ASN terpidana korupsi yang telah memperoleh putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap (incracht) tersebut.
Sebagaimana diketahui sesuai Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB), dan Kepala BKN Nomor: 181/6597/SJ, Nomor 15 Tahun 2018, dan Nomor: 153/KEP/2018 tanggal 13 September 2018, PNS terpidana korupsi yang sudah memperoleh putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap (incracht) itu seharusnya sudah diberhentikan paling lama akhir tahun 2018 lalu.
Di luar data yang menyangkut 2.357 PNS itu, Kepala Biro Humas BKN Mohammad Ridwan mengemukakan, hingga 14 Januari 2019, terdapat pula 498 PNS yang sudah ditetapkan SK PTDH. Dari jumlah tersebut sebanyak 57 PNS berasal dari Intsansi Pusat, dan sisanya 441 PNS berasal dari Instansi Daerah.
“Jadi, secara keseluruhan hingga 14 Januari 2019, terdapat 891 PNS kasus Tipikor yang sudah ditetapkan SK PT DH-nya,” jelas Mohammad Ridwan.
(EN/JL/ES/IR) MHI Hasil gambar untuk media hukum indonesia
Sumber:Humas BKN

Jumat, 18 Januari 2019

Djamhur : MA Harus Bertanggung Jawab Atas Kekisruhan Organisasi Advokat

Djamhur selaku saksi yang dihadirkan pihak terkait memberikan kesaksian dalam sidang perkara pengujian UU Advokat.
JAKARTA,MHI – Keputusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 73/KMA/HK.01/IX/2015 berakibat pada menjamurnya organisasi advokat yang baru tanpa terkendali. Oleh karena itu, Mahkamah Agung harus bertanggung jawab atas kekisruhan organisasi advokat saat ini. Keterangan ini disampaikan Djamhur selaku saksi yang dihadirkan KAI Tjoetjoe Sandjaja (Pihak Terkait) dalam sidang lanjutan uji Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) di Ruang Sidang Pleno MK,Kamis (10/1).
Lebih lanjut, Djamhur mengisahkan bahwa terhadap perkara yang teregistrasi Nomor 35/PUU-XVI/2018 ini, yang terkait dengan persoalan organisasi advokat yang semakin kacau dan tidak jelas harus diselesaikan melalui pembentukan UU Advokat yang baru dan bukan melalui uji undang-undang ke MK. “Apalagi UU ini sudah 20 kali diujikan di MK. Jadi, hanya sia-sia saja dan tidak mungkin lagi berulang kali diuji di MK, kecuali harus dibentuk UU Advokat yang baru. Itu baru tepat,” terang Djamhur menanggapi permohonan yang diajukan oleh sejumlah Advokat yang terdiri atas Bahrul Ilmi Yakup, Shalil Mangara Sitompul, Gunadi Handoko, Rynaldo P. Batubara, Ismail Nganggon, dan perseorangan warga negara calon advokat atas nama Iwan Kurniawan.
Wadah Tunggal Sementara
Hasil gambar untuk Abwar Dalam Sidang Lanjutan Uji UU Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat
Dalam sidang tersebut, Abdul Rahim Hasibuan yang hadir sebagai saksi Pihak Terkait dari KAI Siti Jamaliah memberikan keterangan bahwa Peradi adalah nama organisasi wadah tunggal sementara sampai digelar Munas para advokat yang terdiri atas delapan organisasi advokat yaitu Ikadin, AAI, IPHI, HAPI, SPI, AKHI, HKHPM, dan APSI. Namun dalam perjalanannya, terjadi perbedaan untuk pelaksanaan musyawarah nasional guna menentukan organisasi tunggal advokat. Akibatnya terjadi perpecahan yang berujung beberapa organisasi advokat mengundurkan diri dari Peradi dan membentuk kepanitiaan Munas para advokat pada 30 Mei 2008.
“Munas inilah yang hasilnya kemudian sesuai dengan amanat Pasal 28 ayat (2) UU Advokat dan melahirkan organisasi advokat yang diberi nama Kongres Advokat Indonesia,” ujar Abdul yang pernah menjabat sebagai Sekjen Ikatan Penasihat Hukum Indonesia di hadapan sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman.
Amanat UU Advokat
Hasil gambar untuk Abwar Dalam Sidang Lanjutan Uji UU Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat
Sementara itu, John Richard Latuihamallo selaku saksi Pihak Terkait dari KAI Siti Jamaliah pun memberikan keterangan bahwa KAI adalah organisasi yang dibentuk melalui kongres seluruh advokat Indonesia sesuai amanat UU Advokat. Dalam musyawarah nasional pada Mei 2008, tambah John, seluruh advokat melakukan musyawarah secara langsung dengan menggunakan one man one vote. Sehingga melahirkan KAI yang legitimasinya sesuai amanat UU Advokat. “KAI-lah yang telah melaksanakan amanat UU Advokat, sedangkan Peradi tidak melaksanakan amanah UU Advokat,” sampai John yang telah berprofesi sebagai advokat sejak 1996.
Pada sidang terdahulu para Pemohon menyatakan tidak mendapat kepastian hukum akan organisasi advokat yang sah dan konstitusional untuk melaksanakan wewenang yang diatur dalam UU Advokat. Para Pemohon mendalilkan norma frasa “organisasi advokat” yang diatur dalam Undang-Undang Advokat saat ini bersifat multitafsir yang memungkinkan pihak-pihak tertentu seperti Kongres Advokat Indonesia (KAI), dan Perhimpunan Advokat Republik Indonesia (Peradri), atau Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia memberi tafsiran berbeda atau tafsiran lain yang inkonstitusional  karena tidak sesuai dengan original intent atau tujuan teleologis pembentukan norma frasa “organisasi advokat” yang diatur dalam Undang-Undang Advokat. Hal itu dapat dijelaskan dengan adanya tafsir dari KAI terkait organisasi advokat yang berhak melaksanakan wewenang yang diatur dalam Undang-Undang Advokat adalah “Kongres Advokat Indonesia”. KAI dalam hal ini bermaksud menghimpun para advokat Indonesia dalam wadah tunggal sebagaimanadiamanatkan oleh Undang-Undang Advokat ex Pasal 10 huruf a Akta Pendirian Organisasi Kongres Advokat Indonesia.
Sebelum menutup persidangan Anwar menyampaikan persidangan selanjutnya akan digelar pada Rabu, 23 Januari 2019 pukul 10.00 WIB dengan agenda mendengarkan keterangan dua ahli dan dua saksi Pihak Terkait dari Peradi.
(SP/Lulu/LA) MHI Hasil gambar untuk media hukum indonesia

Debat Pertama Capres-Cawapres 2019

Gambar terkait
JAKARTA , MHI – Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Arief Budiman resmi membuka kegiatan Debat Pertama Calon Presiden-Calon Wakil Presiden pada Pemilu 2019, Arief mengajak masyarakat untuk menikmati jalannya debat yang dapat menjadi ruang bagi masyarakat memahami dan menjadikan paparan debat sebagai referensi saat menggunakan hak pilih , Kamis (17/1).
“Debat ini tidak hanya penting dan strategis bagi pasangan calon presiden dan wakil presiden  tetapi juga pemilih yang berdaulat, pemilih akan memiliki kesempatan yang luas untuk memahami dan menjadikan pemaparan calon presiden dan wakil presiden sebagai salah satu referensi penting saat menggunakan hak konstitusionalnya pada hari pemungutan suara tanggal 17 April 2019,” ucap Arief di Hotel Bidakara Jakarta. 
Sebelumnya Arief mengatakan bahwa pelaksanaan debat kali ini terasa istiwewa karena menjadi sejarah baru dalam perjalanan demokrasi di Indonesia. Yang untuk pertama kalinya menyelenggarakan kampanye debat pasangan calon presiden dan calon wakil presiden bersamaan dengan gegap gempitanya kampanye pemilu legislatif. “Dan masing-masing pasangan calon diberikan kesempatan yang sama untuk memaparkan visi-misi, program mereka secara mendalam tentang Hukum, HAM, Korupsi dan terorisme,” kata Arief.
 
Di akhir sambutan Arief menyebut strategisnya debat bagi cita-cita mewujudkan pemilu yang berintegritas dan berkualitas. “Berdebat itu biasa, perbedaan pendapat adalah keniscayaan dalam demokrasi, debat yang bermanfaat, pemilih berdaulat negara indonesia kuat,” tutupnya.
Hasil gambar untuk debat jokowi vs prabowo 2019/ Gif
Sebagai informasi, debat pertama mengangkat tema Hukum, HAM, Korupsi, dan Terorisme dan berlangsung selama enam segmen mulai dari segmen pertama penyampaian visi dan misi ; segmen kedua pendalaman visi dan misi terkait tema Hukum dan HAM; segmen ketiga pendalaman visi dan misi terkait tema Korupsi dan Terorisme; segmen keempat debat dan saling bertanya tema Hukum dan HAM; segmen kelima debat dan saling bertanya tema Korupsi dan Terorisme; dan segmen terakhir closing statement
Debat berikutnya akan kembali diselenggarakan KPU pada Minggu (17/2/2019) mengangkat tema Energi dan Pangan; Sumber Daya Alam  dan Lingkungan Hidup; serta Infrastruktur.
(Sofiana/Irfan) MHI Hasil gambar untuk media hukum indonesia
Sumber:(humas kpu ri)

Kamis, 17 Januari 2019

MK Gelar Sidang Lanjutan Uji UU Nomor 5 Tahun 2014 Tentang ASN

JAKARTA , MHI – Arteria Dahlan hadir dalam sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) dalam Perkara 91/PUU-XVI/2018  mewakili Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Arteria menanggapi dalil-dalil Pemohon pada sidang terkait dalil para Pemohon agar ketentuan pasal-pasal yang diuji dimaknai “Pegawai Negeri Sipil (PNS) diberhentikan dengan tidak hormat atau tidak diberhentikan diperintahkan dalam amar putusan”. DPR berpandangan hal tersebut tidak tepat mengingat kebijakan untuk mengangkat, memindahkan maupun memberhentikan PNS adalah kewenangan  Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) dan bukan kewenangan dari pengadilan , Selasa (8/1) siang.
“Pelaksanaan pengangkatan, pemindahan maupun pemberhentian PNS merupakan kewenangan PPK sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Justru dengan adanya pemberhentian PNS yang dimasukkan dalam amar putusan dalam putusan pengadilan, dapat bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Khususnya yang berkaitan dengan kepegawaian negara,” urai Arteria kepada Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman.
Terkait dengan upaya banding administrasi terhadap pemberhentian PNS, berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS, bahwa PNS yang tidak puas terhadap hukuman disiplin berupa pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri atau pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS yang dijatuhkan oleh pejabat yang berwenang menghukum, dapat melakukan upaya banding administratif kepada Badan Pertimbangan Kepegawaian.
DPR berpandangan bahwa para Pemohon tidak cermat membaca ketentuan dalam KUHP khususnya Pasal 35 KUHP yang dicantumkan oleh para Pemohon dalam perbaikan permohonan. Pasal 35 ayat (1) KUHP menyebutkan, “Hak-hak terpidana yang dengan putusan hakim dapat dicabut dalam hal-hal yang ditentukan dalam kitab undang-undang ini, atau dalam aturan umum lainnya ialah: 1. hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu; 2. hak memasuki Angkatan Bersenjata; 3. hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum; 4. hak menjadi penasehat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri; 5. hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri; 6. hak menjalankan mata pencarian tertentu.”
Sedangkan Pasal 35 ayat (2) KUHP menyebutkan, “Hakim tidak berwenang memecat seorang pejabat dari jabatannya, jika dalam aturan-aturan khusus ditentukan penguasa lain untuk pemecatan itu.”
Berdasarkan ketentuan Pasal 35 ayat (2) KUHP, menurut DPR, apabila dikaitkan dengan permohonan para Pemohon agar ketentuan pasal-pasal a quo UU ASN dimaknai “PNS diberhentikan dengan tidak hormat atau tidak diberhentikan diperintahkan dalam amar putusan” dikabulkan MK, ini akan menimbulkan disharmoni hukum antara putusan MK yang mengabulkan permohonan pengujian UU ASN dengan KUHP. Khususnya ketentuan Pasal 35 ayat (2) KUHP.
Lebih lanjut, DPR menanggapi dalil para Pemohon soal penghukuman berulang-ulang tidak sejalan dengan ketentuan International Cevenant on Civil and Political Right  yang telah diratifikasi melalui UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, khususnya ketentuan pada Pasal 14 ayat (7) UU Nomor 12/2005.  DPR berpandangan bahwa hal tersebut tidak tepat. Ketentuan Pasal 14 ayat (7) UU Nomor 12/2005 mengatur, “Tidak seorang pun dapat diadili atau dihukum kembali untuk tindak pidana yang pernah dilakukan, untuk mana ia telah dihukum atau dibebaskan sesuai dengan hukum dan hukum acara pidana di masing-masing negara”.
Penerapan Hukum Dengan Rasa Keadilan
Gambar terkait
Sebagaimana diketahui, pengujian UU No. 5 Tahun 2014 ini diuji oleh Novi Valentino bersama empat Pemohon lainnya.  Para Pemohon menguji Pasal 87 ayat (2), Pasal 87 ayat (4) huruf b dan Pasal 87 ayat (4) huruf d UU No. 5/2014. Pemohon I (Novi Valentino) bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil berdasarkan SK Bupati Bengkulu Utara. Pemohon I telah didakwa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi, secara bersama-sama pada Persidangan Tingkat Pertama Negeri Kelas 1A Bengkulu, melalui Putusan Nomor 18/Pid.Sus/TPK/2016/PN.Bgl, tanggal 2 Februari 2016 dan dijatuhi hukuman pidana 1 tahun 3 bulan. Saat ini Pemohon I telah selesai menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas 2B Arga Makmur, pada 30 Mei 2017 sebagaimana Surat Keterangan No. W8.PAS.3.PK.01.01.02-275 tertanggal 24 September 2018 yang ditandatangani Kepala Lembaga Pemasyarakatan.
Sedangkan Pemohon II telah diberhentikan sementara, Surat Keputusan Gubernur Bengkulu Nomor P.635 Tahun 2016. Kemudian Pemohon II juga sudah tidak berstatus sebagai pegawai negeri sipil. Sementara Pemohon III juga telah didakwa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama. Termasuk juga Pemohon IV pada pokoknya juga didakwa secara bersama-sama dengan dakwaan tindak pidana korupsi. Namun Pemohon V yang agak berbeda. Pemohon V ini sudah dijatuhkan pidana penjara dengan dakwaan tindak pidana korupsi, kemudian juga telah diberikan sanksi oleh Gubernur melalui SK Keputusan Gubernur Sumatera Utara.
Para Pemohon mengharapkan penerapan hukum yang tetap berasal pada due process of law dan rasa keadilan. Menurut para Pemohon, upaya pemberantasan tindak korupsi ini seolah-olah menjadi ranah pembantaian bagi para Pemohon dan ASN. Sebab dalam praktik yang dialami oleh para Pemohon apabila peradilan membebaskan para terdakwa (para Pemohon a quo), maka Majelis Hakim yang memeriksa justru yang akan mendapat sorotan dari publik, Komisi Yudisial, opini pers, meskipun secara publik juga tidak mengetahui persis peran dan perbuatan terdakwa secara materiil.
(NTA/ Lulu//LA/JL) MHI Hasil gambar untuk media hukum indonesia

Ratas Peningkatan Kesiagaan Dalam Menghadapi Bencana

Presiden Jokowi didampingi Wapres dan Seskab memasuki ruang Rapat Terbatas, di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (14/1) siang.
JAKARTA , MHI – Presiden Joko Widodo menginstruksikan kepada Kepala Badan Nasional Penanggulangan  Bencana (BNPB) Letjen Doni Monardo agar betul-betul mengawal rehabilitasi yang berkaitan dengan rekonstruksi, baik yang berada di Lombok (NTB), kemudian yang ada di Palu, Donggala (Sulawesi Tengah), dan juga Banten maupun Lampung.
“Dikawal implementasinya agar segera bisa diselesaikan terutama yang di NTB kemudian berlanjut ke Sulawesi Tengah dan baru ke Lampung dan Banten,” kata Presiden Jokowi saat menyampaikan pengantar pada Rapat Terbatas mengenai Peningkatan Kesiagaan Menghadapi Bencana, di Kantor Presiden, Senin (14/1) siang.
Adapun yang berkaitan dengan sistem peringatan dini, Presiden Jokowi meminta agar dievaluasi, dicek di lapangan kemudian pengujian dan juga pengorganisasian sistem peringatan dini ini betul-betul semuanya berada pada posisi yang baik, dan rakyat bisa tahu.
“Sehingga korban yang ada bisa kita hilangkan dan kita minimalkan,” ujar Presiden.
Presiden Joko Widodo menginstruksikan kepada Kepala Badan Nasional Penanggulangan  Bencana (BNPB) Letjen Doni Monardo agar betul-betul mengawal rehabilitasi yang berkaitan dengan rekonstruksi, baik yang berada di Lombok (NTB), kemudian yang ada di Palu, Donggala (Sulawesi Tengah), dan juga Banten maupun Lampung.
“Dikawal implementasinya agar segera bisa diselesaikan terutama yang di NTB kemudian berlanjut ke Sulawesi Tengah dan baru ke Lampung dan Banten,” kata Presiden .
Adapun yang berkaitan dengan sistem peringatan dini, Presiden Jokowi meminta agar dievaluasi, dicek di lapangan kemudian pengujian dan juga pengorganisasian sistem peringatan dini ini betul-betul semuanya berada pada posisi yang baik, dan rakyat bisa tahu.
“Sehingga korban yang ada bisa kita hilangkan dan kita minimalkan,” ujar Presiden.
Dimulai Akhir Bulan Ini
Seskab Pramono Anung berbincang dengan Menkeu dan Mensos sebelum Rapat Terbatas, di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (14/1) siang.
Mengenai  edukasi kebencanaan, Presiden Jokowi menginginkan agar pada akhir bulan ini bisa dimulai, baik di Kementerian Pendidikan Kebudayaan dan juga di masyarakat.
“Saya ingin ini terus digerakkan di semua daerah, terutama di daerah-daerah yang rawan bencana,” tegas Presiden.
Sedangkan mengenai kesiapan manajemen, Presiden Jokowi mengingatkan agar betul-betul koordinasi, sinergi antar lembaga yang terlibat dalam bencana ini betul-betul merespons secara cepat, mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, relawan, PMI, Ormas dan lembaga-lembaga donor.
Selain itu, Presiden Jokowi meminta agar dilakukan simulasi latihan penanganan bencana secara berkala dan berkesinambungan secara rutin.
Kepala BNPB Usul Alat Deteksi Dini Tsunami Diamankan Unsur TNI
Kepala BNPB Letjen TNI Doni Monardo menjawab wartawan usai mengikuti Rapat Terbatas, di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (14/1) sore. 
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen TNI Doni Monardo mengemukakan, sekarang ini banyak alat deteksi dini (early warning system) tsunami yang tidak berfungsi. Sebagian hilang, kemudian ada yang hilangnya itu akinya, ada yang solar cell-nya hilang, sehingga walaupun alat itu secara fisik masih ada tetapi tidak berfungsi.
“Tadi saya laporkan kepada bapak Presiden bahwa kalau boleh, alat-alat deteksi ini dianggap tanda petik sebagai “objek vital nasional”, dan harus diamankan oleh unsur TNI,” kata Doni kepada wartawan usai mengikuti Rapat Terbatas.
Kepala BNPB itu beralasan karena kalau alatnya nggak berfungsi, berarti mata dan telinga masyarakat yang ada di kawasan pesisir pantai itu tidak mendapatkan informasi. Artinya. kalau terjadi sesuatu tsunami maka korbannya sangat banyak, yang bisa melampaui korban tsunami yang sebelumnya.
Mengenai “objek vital nasional” itu, Kepala BNPB mengemukakan, kalau alatnya tidak berfungsi dan tidak ada yang mengamankan, ya sebanyak apapun alat yang digelar itu akan hilang akan rusak baik karena faktor alam maupun karena manusia.
“Nah tadi, Bapak Presiden sudah menugaskan Panglima TNI agar mengeluarkan surat perintah agar alat-alat ini dijaga oleh unsur TNI,” jelas Doni.
Seluruh Daerah Bencana
Menurut Kepala BNPB, Presiden Joko Widodo memberikan arahan agar memasang tanda-tanda peringatan di seluruh kawasan yang rawan bencana.
“Nah bencana disini yang sudah disampaikan oleh para pakar, yang berhubungan dengan tsunami ada 2 tempat. Yang pertama adalah megathrust dari Selat Sunda itu sendiri sampai dengan kawasan bagian timur selatan dari Pulau Jawa. Kemudian yang kedua adalah kawasan megathrust yang ada di bagian barat Pulau Sumatra, termasuk juga sejumlah patahan yang ada di Pulau Jawa yang relatif penduduknya sangat padat,” terang Doni.
BNPB, lanjut Doni, mencoba bekerja sama bersama para pakar untuk kiranya bisa menemukan lokasi yang eksak, lokasi yang pasti. Tentu, BNPB juga harus berkerja sama dengan pemerintah provinsi kabupaten/kota untuk bersama-sama memberikan tanda peringatan tersebut.
Doni menegaskan, tidak ada niat sedikitpun untuk menimbulkan kekhawatiran, tetapi semata-mata untuk menyampaikan kepada semua masyarakat saat ini berada dan hidup di atas cincin api dan di atas patahan lempeng yang setiap saat bisa saja terjadi gempa bumi dan juga tsunami.
Mengenai alat deteksi dini itu, Kepala BNPB Doni Monardo menegaskan, alat yang sudah ada yang bisa diperbaiki akan diperbaiki. Sementara beberapa tempat yang belum terpasang diusulkan akan dipasang berdasarkan data yang dimiliki oleh para pakar.
“Kami sangat berharap ini akan segera berproses, tadi hasil rapat maksimal tiga bulan sudah tergelar alat-alat itu,” ujar Doni.
Mengenai tempat pemasangan alat deteksi dini tsunami itu, Kepala BNPB Doni Monardo mengatakan, tergantung dari hasil masukan dari pakar. Ia menyebutkan, dewan pakar yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu diharapkan bisa berada dalam satu pintu yaitu di bawah koordinasi BNPB sehingga informasi yang disampaikan kepada BNPB dan juga kepada publik bisa sama.
Rapat terbatas itu dihadiri oleh  Menko Polhukam Wiranto, Menko Perekonomian Darmin Nasution, Menko PMK Puan Maharani, Menko Kemaritiman Luhut B. Pandjaitan, Mensesneg Pratikno, Seskab Pramono Anung, KSP Moeldoko, Menkeu Sri Mulyani, Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro, Menteri BUMN Rini Soemarno, Menteri PUPR Basuki Hadimuljono, Menteri ESDM Ignasius Jonan, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi.
Selain itu, turut hadir Menkumham Yasonna Laoly, Menkominfo Rudiantara, Mendikbud Muhadjir Effendy, Menristekdikti M. Nasir, Menkes Nila Moeloek, Menteri LHK Siti Nurbaya, Mensos Agus Gumiwang, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, Kapolri Jenderal Tito Karnavian, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati, Kepala BIG Hasanudin Abidin, Kepala BNPB Letjen Doni Monardo, Kepala Badan Geologi ESDM Ego Syahrial, serta para eselon 1 di Lembaga Kepresidenan dan pakar keilmuan terkait kebencanaan.
(MAY/RSF/JL/EN/JAY/OJI/IR/ES) MHI Hasil gambar untuk media hukum indonesia

Rabu, 16 Januari 2019

Sidang Lanjutan Uji UU Nomor 8 Tahun 2010 Tentang TPPU

Hasil gambar untuk eddy o.s hiariej dalam sidang MK
JAKARTA,MHI – Sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) digelar Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang Perkara Nomor 74/PUU-XVI/2018 tersebut beragendakan mendengarkan keterangan Ahli yang diajukan oleh MK, Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Eddy O.S Hiariej,Senin (7/1) .
Menurut Hiariej, Pasal 74 dan penjelasan Pasal 74 UU TPPU saling bertentangan. Di satu sisi, penyidik tindak pidana asal tidak hanya Polri, melainkan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) lainnya sesuai dengan undang-undang sektoral masing-masing. “Seperti tindak pidana di bidang kehutanan yang mana penyidiknya adalah polisi hutan atau tindak pidana di bidang perikanan yang penyidiknya dari Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Angkatan Laut. Di sisi lain, penjelasan Pasal 74 membatasi penyidik tindak pidana asal hanya Polri, Kejaksaan, KPK, BNN, Ditjen Pajhak dan Ditjen Bea dan Cukai,” jelasnya.
Lebih lanjut Hiariej menguraikan Pasal 74 TPPU yang berbunyi, “Penyidikan tindak pidana asal sesuai dengan ketentuan hukum acara dan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain menurut undang-undang ini.” Sedangkan penjelasan pasal tersebut berbunyi, “Yang dimaksud dengan ‘penyidik tindak pidana asal’ adalah pejabat instansi yang oleh undang-undang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan Narkotika Nasional (BNN) serta Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Republik Indonesia”.
Dikatakan Hiariej, ketentuan Pasal 74 UU TPPU dan penjelasannya tidak hanya persoalan kepastian hukum dalam pengertian ada kontradiksi antara pasal dan penjelasan. Namun lebih dari itu, akan membawa ketidaktertiban dalam penegakan hukum. Sebab secara teknis yuridis jika terjadi kejahatan di bidang kehutanan atau perikanan sebagai tindak pidana asal pencucian uang, penyidikannya dianggap tidak sah jika dilakukan oleh PPNS kedua instansi tersebut karena legalitas mereka sebagai PPNS tidak diakui oleh penjelasan Pasal 74 UU TPPU.
Sementara itu, Hiariej menjelaskan Pasal 2 UU TPPU menyebutkan hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, penyuapan, narkotika, psikotropika, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan migran di bidang perbankan, di bidang pasar modal, di bidang perasuransian, kepabeanan, cukai, perdagangan orang dan seterusnya.
Pada kenyataannya, ungkap Hiariej, tidak semua kejahatan bermotif ekonomi disebut secara expressive verbisdalam pasal a quo. Ketentuan pasal a quo yang tidak limitatif terdapat dalam huruf z yang berbunyi, “Tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih”. Interpretasi historis terhadap angka “4 tahun” semata-mata hanya mengikuti Convention of Transnational Organized Crime yang menjustifikasi bahwa kejahatan yang diancam dengan pidana 4 tahun atau lebih sebagai serious crime.
“Artinya, ukuran 4 tahun tersebut lebih pada keseriusan tingkat kejahatan dan bukan pada motif ekonomi sebagaimana maksud dan tujuan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,” ujar Eddy kepada Majelis Hakim yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman.
Kesaksian
Eddy O.S Hiariej ahli yang dihadirkan MK dalam sidang uji materi UU TPPU.
Dalam persidangan juga dihadirkan sejumlah Saksi Pihak Terkait. Salah seorang saksi adalah Arief Indra Kusuma Adhi Kasubdit Penyidikan Dit. Penanganan Pelanggaran, Ditjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan  Perikanan (PSDKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan.  Dijelaskan Arief, Pasal 2 huruf y UU TPPU menyebutkan salah satu hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana kelautan dan perikanan, namun PPNS Perikanan tidak disebutkan sebagai Penyidik TPPU.
Ditambahkan Arief, Pasal 3, 4 dan 5 UU TPPU juga menyebutkan adanya perbuatan terhadap harta kekayaan hasil tindak pidana di bidang perikanan seperti mentransfer, menempatkan, membelanjakan. Juga adanya perbuatan terdakwa yang bertujuan untuk menyembunyikan atau menyamarkan hasil dari tindak pidana di bidang perikanan.
Hal lainnya, Arief menerangkan soal pendekatan multidoor system di bidang kelautan dan perikanan. Pendekatan multidoor adalah pendekatan penegakan hukum atas rangkaian, gabungan tindak pidana terkait kejahatan di bidang kelautan dan perikanan yang mengandalkan berbagai peraturan perundang-undangan. “Pendekatan multidoor merupakan bentuk terobosan hukum yang mendobrak penggunana rezim hukum tunggal,” tegas Arief.
Sebagaimana diketahui, Lembaga Anti Pencucian Uang Indonesia (LAPI), Yayasan Auriga Nusantara, Charles Simabura, Oce Madril dan Abdul Ficar Hadjar selaku Pemohon menguji Pasal 2 ayat (1) huruf z dan Penjelasan Pasal 74 UU TPPU. Satu pasal dan satu penjelasan dari UU TPPU, menurut Pemohon, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dengan beberapa alasan. Pertama, pertentangan itu timbul karena dalam Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 disebutkan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan, kemajuan, dan kesatuan ekonomi nasional.
(NTA/Lulu/LA) MHI Hasil gambar untuk media hukum indonesia

Selasa, 15 Januari 2019

Kejari Surabaya Bungkus Buronan Mantan Ketua DPRD Dalam Kasus Korupsi Aset BUMD

Gambar terkait
SURABAYA, MHI – Tim Intelijen dan Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Surabaya yang dipimpin langsung oleh Kepala Kejaksaan Negeri Surabaya Mohammad Teguh Darmawan telah melakukan penangkapan terhadap terpidana Ir. H. Wishnu Wardana (mantan karyawan PT. Panca Wira Usaha Jatim/ mantan Ketua DPRD Kota Surabaya 2009-2014).
Hasil gambar untuk Kejari Surabaya Eksekusi Mantan Ketua DPRD Surabaya 2009-2014
Whisnu masuk dalam daftar Pencarian Orang (DPO) pada perkara tindak pidana korupsi pengalihan aset PT. Panca Wira Usaha Jawa Timur (Badan Usaha Milik Daerah /BUMD) yang menelan kerugian keuangan negara kurang lebih senilai Rp. 11 Milyar,Wisnu dibungkus dan digelandang lalu dimasukan dalam keranjang Kejari, Rabu, (9/1) sekitar pukul 06.30 Wib.
Penangkapan terhadap Terpidana Wishnu Wardana tersebut berlokasi di jalan Raya Kenjeran Surabaya, Hal tersebut dilakukan Kejari dalam rangka pelaksanaan Eksekusi untuk menjalani pidana sebagaimana dalam putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1085 K/Pid.sus/2018 tanggal 24 september 2018 , dimana pada amar putusanya menyatakan tegas dengan menjatuhkan pidana penjara selama 6 (enam) tahun dan denda sebesar Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan dan pidana uang pengganti sebesar Rp.1.566.150.733,-  subsidiair 3 (tiga) tahun penjara.
(Mukri) MHI Hasil gambar untuk media hukum indonesia


Postingan Terupdate

Hj Siti Qomariah Gelar Sosialisasi Perda No.5 Th 2023, Sekdes Desak Bupati Atasi Pengangguran Akut di Kabupaten Bekasi

KABUPATEN BEKASI,  MHI - Sosialisasi Perda Nomor 5 Tahun 2023 Tentang "Optimalisasi Penyelenggaraan Perlindungan Tenaga Kerja Melalui J...

Postingan Terkini


Pilihan Redaksi