JAKARTA, MHI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang kedua untuk pengujian materiil Pasal I angka 4 yang memuat perubahan Pasal 6 ayat (1) huruf j dan Pasal I angka 26 yang memuat perubahan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sidang Perkara Nomor 77/PUU-XXII/2024 yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih bersama dengan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah dan Hakim Konstitusi Arsul Sani ini dilaksanakan di Ruang Sidang Pleno MK pada Selasa (6/8/2024).
Agenda sidang yaitu pemeriksaan perbaikan permohonan. Rega Felix (Pemohon) yang berprofesi sebagai Advokat sekaligus Dosen ini menjabarkan pokok-pokok perbaikan permohonan, di antaranya tentang tidak digunakannya konsep diskriminasi dalam permohonan ini. Pemohon justru mempertajam dengan hanya mendalilkan Pasal 6 ayat (1) UU Minerba, khususnya pada klausul “menggunakan IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus) secara prioritas”. Sehingga atas dalil ini pula, Pemohon mendasarkannya pada konstitusionalitas norma yang termuat pada Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945.
“Dengan perubahan ini, jumlah halaman menjadi semakin banyak karena Pemohon fokus pada konsep tentang prioritas. Di mana perbaikan banyak menjelaskan makna dari kata prioritas. Pendalaman ini lebih tepatnya menjabarkan tentang pertanyaan pokok “siapa subjek prioritas” ini dan tafsirnya dalam dunia pertambangan, termasuk dengan badan usaha ormas adalah milik swasta dan bukan negara maka tidak dapat dimaknai sama dengan negara dan tidak bisa menggunakan mekanisme prioritas,” jelas Rega.
Selain itu, Pemohon juga memperjelas kedudukan hukum Pemohon sebagai Pendidik atau Dosen. Bahwa Dosen termasuk pada golongan berpenghasilan rendah dan tingkat kesejahteraan yang masih rendah.
"Sehingga," tegas Rega Felix," Makna keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tidak hanya buat golongan tertentu.Dengan demikian. Kami memiliki kedudukan hukum yang sama sebagai warga negara Indonesia yang lainnya serta berhak pula mendapatkan kesejahteraan dan keadilan sosial sebagaimana yang diberlakukan kepada ormas tersebut."
Prioritas Pengelolaan Tambang ke Ormas Dipertanyakan
Sebelumnya, dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Rabu (24/7/2024) Rega Felix mengatakan bahwa kebijakan penawaran Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) secara prioritas kepada ormas keagamaan tidak memenuhi parameter untuk dapat diterapkan sebagai kebijakan afirmatif berdasarkan UUD 1945.
"Sejatinya Pemerintah masih dapat melaksanakan penawaran secara prioritas sepanjang tidak menggunakan pertimbangan berdasaran suku, agama, ras, dan antargolongan," katanya.
Lanjutnya," Jika prioritas tersebut diberikan berdasarkan pertimbangan tersebut, maka telah jelas bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Karena makna “prioritas” dalam norma pasal yang diuji tidak jelas batasannya dan dapat menciptakan self-reference norm kepada presiden," tandas Rega Felix.
Dalam petitum, Pemohon meminta MK menyatakan frasa “melaksanakan penawaran WIUPK secara prioritas” dalam Pasal 6 Ayat (1) huruf j sebagaimana telah dirubah berdasarkan Pasal I angka 4 UU Minerba bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “melaksanakan penawaran WIUPK secara prioritas tanpa didasari kepada pertimbangan berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan”.
Kemudian meminta klausul “Usaha pertambangan dilaksanakan berdasarkan perizinan berusaha dari pemerintah pusat” dalam Pasal 35 Ayat (1) sebagaimana telah dirubah berdasarkan Pasal I angka 26 UU Minerba bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Usaha pertambangan dilaksanakan berdasarkan perizinan berusaha dari pemerintah pusat tanpa didasari kepada pertimbangan berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan”.
(Sri Pujianti, Lulu, Najwa) MHI
(Sri Pujianti, Lulu, Najwa) MHI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar