HTML

HTML

Minggu, 03 Februari 2019

MK Gelar Sidang Sengketa Kewenangan Lembaga Negara Internal DPD RI

JAKARTA , MHI – Gusti Kanjeng Ratu Hemas dan Farouk Muhammad yang menjabat sebagai Wakil Ketua DPD RI Periode 2014 – 2019 serta Nurmawati Dewi Bantilan yang menjabat sebagai Anggota DPD RI Periode 2014 – 2019 mengajukan permohonan perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) ke Mahkamah Konstitusi. Perkara yang teregistrasi Nomor 1/SKLN-XVII/2019 ini menjadikan Oesman Sapta selaku Ketua DPD RI Periode April 2017 – September 2019, Nono Sampono selaku Wakil Ketua I DPD RI Periode April 2017 – September 2019, dan Darmawanti Lubis selaku Wakil Ketua II DPD RI Periode April 2017 – September 2019 sebagai Termohon. Sidang perdana SKLN yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Aswanto dengan didampingi Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Saldi Isra ini digelar pada Senin (21/1) di Ruang Sidang Pleno MK.
Hasil gambar untuk MK Gelar Sidang Sengketa Kewenangan Lembaga Negara Antara DPD Periode 2014-2019 Dengan DPD Periode 2017-2019
Irmanputra Sidin selaku kuasa hukum menyampaikan Termohon telah mengambil dan merugikan kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan Pasal 22C ayat (3); Pasal 22D ayat (1), ayat (2), dan ayat (3); Pasal 23 ayat (2); Pasal 23E ayat (2);dan Pasal 23F ayat (1) UUD 1945 yang sedang dijalankan sejak 4 April 2017. Bahwa DPD RI, sambung Irman, adalah lembaga negara yang terdiri dari unsur anggota DPD RI yang telah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum. Melalui proses pemilihan umum tersebut kemudian anggota DPD RI yang terpilih dari tiap provinsi melakukan pemilihan ketua pimpinan dengan mengikuti masa jabatan keanggotaannya sebagaimana diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPD RI Nomor 1 Tahun 2014 yang diperkuat dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 20P/HUM/2017. Selanjutnya, dibentuklah alat kelengkapan lain guna mendukung kinerja pimpinan dalam menjalankan lembaga selama lima tahun.
“Sedangkan Termohon adalah lembaga DPD dengan pimpinan baru dengan masa jabatan 2,5 tahun, yakni April 2017 – September 2019 dan hal tersebut ditetapkan tanggal 4 April 2017 sebagai pimpinan setelah dikeluarkannya Putusan MA 20P/HUM/2017. Artinya, hal inilah merupakan indikator sederhana telah terjadinya pengambilalihan kewenangan kekuasaan secara tidak sah,” tegas Irman.
Lebih lanjut, Irman menjabarkan bahwa pengambilalihan ini terkait dengan tidak dapat terpisahkannya antara pimpinan dengan kelembagaan, selama pimpinan belum ditetapkan secara sah, maka lembaga DPD RI pun belum dapat melaksanakan kewenangan konstitusionalnya. Sebagai pimpinan lembaga majemuk, unsur mutlak yang harus dipenuhi adalah pimpinan yang sah secara hukum. Hal ini dikarenakan pimpinan merupakan satu-satunya alat kelengkapan yang bisa memimpin sidang DPD RI dan menyimpulkan hasil sidang untuk diambil keputusan serta menyampaikan laporan kinerja dalam sidang paripurna DPD RI sesuai Pasal 261 UU MD3. Akibat munculnya Termohon, telah terjadi dua lembaga negara atau kloning sehingga berujung pada sengketa dalam melaksanakan kewenangan antara Termohon dan Pemohon.
“Oleh karenanya, permasalahan legalitas pimpinan lembaga negara parlemen bersifat mutatis mutandis dengan legalitas kelembagaan itu sendiri. Akibatnya,hasil pengambilalihan kewenangan dari satu lembaga negara akan menimbulkandualisme kelembagaan dan tentunya merugikan kewenangan konstitusional lembaga negara yang sah yakni lembaga DPD RI Periode 2014 – 2019 atau Pemohon,” jelas Irman.
Selain itu, Irman menjabarkan bahwa jika kemudian muncul pimpinan lain selain pimpinan yang sah, maka kelembagaan itu otomatis akan terkloning. Masing-masing pimpinan dapat membawa gerbong keanggotaan kelembagaan untuk melaksanakan kewenangan lembaga yang dapat menentukan barisan terlegitimasi politik diantara kedua kubu pimpinan. Bagi pimpinan yang berhasil terlegitimasi, maka pimpinan tersebutlah yang akan menjalankan kewenangan konstitusional DPD RI meskipun kursi pimpinan diperolehnya dengan cara yang tidak sah.
Berdasarkan dalil yang dimohonkan, pada petitum, para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan sah para Pemohon sebagai Pimpinan DPD RI Periode 2014 – 2019. Selain itu, Pemohon meminta agar Mahkamah memulihkan hak-hak para Pemohon selaku ketua dan anggota dalam kedudukan dan harkat martabatnya dalam keadaan semula. “Menyatakan Termohon tidak memiliki kewenangan konstitusional untuk menjalankan kewenangan DPD RI serta menyatakan tidak sah dan batal demi hukum Termohon sebagai Pimpinan DPD RI Periode April 2017 – September 2019,” ujar Irman.
Legitimasi Kepemimpinan
Hasil gambar untuk Hakim Konstitusi Arief Hidayat dalam Sidang Sengketa Kewenangan Lembaga Negara
Menanggapi permohonan ini, Wakil Ketua MK Aswanto mencermati permohonan yang diajukan lebih pada legitimasi kepemimpinan pada DPD RI. Untuk itu, Pemohon perlu membangun argumentasi yang meyakinkan bahwa hal ini bukanlah permasalahan personal, tetapi kewenangan lembaga. “Jadi ini bukan hanya mempertanyakan pimpinan yang sah. Apakah Pemohon atau Termohon? Jadi, pertegas bahwa ini adalah kewenangan dari lembaga negara,” saran Aswanto.
Adapun Hakim Konstitusi Saldi Isra melihat sengketa kewenangan lembaga negara yang diajukan pada Mahkamah ini, perlu bagi para Pemohon menekankan dirinya adalah lembaga negara. Dikarenakan dalam permohonan juga terdapat pernyataan bahwa Termohon juga merepresentasikan dirinya sebagai lembaga negara.
“Untuk itu, perlu ada tambahan argumentasi kapan seorang pimpinan itu merepresentasikan dirinya sebagai perwakilan lembanganya? Apakah dapat bertindak sendiri atau ada mekanisme yang harus dilalui atau dipenuhi. Hal ini penting untuk kejelasan Pemohon adalah benar-benar merupakan lembaga dan itu harus diperkuat argumentasinya,” jelas Saldi.
Sengketa Internal Lembaga
Hasil gambar untuk Hakim Konstitusi Arief Hidayat dalam Sidang Sengketa Kewenangan Lembaga Negara
Sedangkan Hakim Konstitusi Arief Hidayat melihat permohonan Pemohon ini mempunyai nuansa teoretik baru. Berdasarkan PMK telah disampaikan mengenai adanya pembatasan sengketa lembaga negara, namun dalam perkara ini terlihat Pemohon menyajikan teoretik baru dengan melakukan perluasan makna dari sengketa lembaga negara yang dimaksud. “Jadi belum mencerminkan Pasal 1 angka 7 PMK. Bagaimana membangun narasi dari dalil ini yang kemudian dapat menggugurkan batasan itu! Sehingga perluasan itu dapat diterima sebagai suatu yang perlu dipertimbangkan,” jelas Arief.
Selain itu, Arief juga meminta pada  para Pemohon agar dicarikan narasi baru berupa contoh berupanegara lain yang memiliki Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan sengketa intern lembaga yang tidak dapat diselesaikan sendiri lagi oleh lembaga negara yang bersangkutan, seperti yang diajukan dalam permohonan a quo. “Ini persoalan baru secara teoretik, maka MK butuh ditunjukkan contoh yang memang dapat menguatkan pandangan Mahkamah dalam melihat sengketa ini,” terang Arief.
Sebelum menutup sidang, Aswanto menyampaikan bahwa Pemohon dapat menyerahkan perbaikan permohonan selambat-lambatnya pada  Senin, 4 Februari 2019 pukul 10.00 WIB ke Kepaniteraan MK.
(SP/IR/JL/LA) MHI Hasil gambar untuk media hukum indonesia

1 komentar:



Postingan Terupdate

Sidang Perkara No. 14/PUU-XXII/2024, Ahli : Sebagian Besar Notaris Berusia 70 Tahun Masih Kompeten Menjalankan Tugas

JAKARTA, MHI – Sidang permohonan uji materiil Pasal 8 ayat (1) huruf b dan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabata...

Postingan Terkini

Pilihan Redaksi