HTML

HTML

Rabu, 16 Januari 2019

Sidang Lanjutan Uji UU Nomor 8 Tahun 2010 Tentang TPPU

Hasil gambar untuk eddy o.s hiariej dalam sidang MK
JAKARTA,MHI – Sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) digelar Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang Perkara Nomor 74/PUU-XVI/2018 tersebut beragendakan mendengarkan keterangan Ahli yang diajukan oleh MK, Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Eddy O.S Hiariej,Senin (7/1) .
Menurut Hiariej, Pasal 74 dan penjelasan Pasal 74 UU TPPU saling bertentangan. Di satu sisi, penyidik tindak pidana asal tidak hanya Polri, melainkan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) lainnya sesuai dengan undang-undang sektoral masing-masing. “Seperti tindak pidana di bidang kehutanan yang mana penyidiknya adalah polisi hutan atau tindak pidana di bidang perikanan yang penyidiknya dari Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Angkatan Laut. Di sisi lain, penjelasan Pasal 74 membatasi penyidik tindak pidana asal hanya Polri, Kejaksaan, KPK, BNN, Ditjen Pajhak dan Ditjen Bea dan Cukai,” jelasnya.
Lebih lanjut Hiariej menguraikan Pasal 74 TPPU yang berbunyi, “Penyidikan tindak pidana asal sesuai dengan ketentuan hukum acara dan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain menurut undang-undang ini.” Sedangkan penjelasan pasal tersebut berbunyi, “Yang dimaksud dengan ‘penyidik tindak pidana asal’ adalah pejabat instansi yang oleh undang-undang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan Narkotika Nasional (BNN) serta Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Republik Indonesia”.
Dikatakan Hiariej, ketentuan Pasal 74 UU TPPU dan penjelasannya tidak hanya persoalan kepastian hukum dalam pengertian ada kontradiksi antara pasal dan penjelasan. Namun lebih dari itu, akan membawa ketidaktertiban dalam penegakan hukum. Sebab secara teknis yuridis jika terjadi kejahatan di bidang kehutanan atau perikanan sebagai tindak pidana asal pencucian uang, penyidikannya dianggap tidak sah jika dilakukan oleh PPNS kedua instansi tersebut karena legalitas mereka sebagai PPNS tidak diakui oleh penjelasan Pasal 74 UU TPPU.
Sementara itu, Hiariej menjelaskan Pasal 2 UU TPPU menyebutkan hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, penyuapan, narkotika, psikotropika, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan migran di bidang perbankan, di bidang pasar modal, di bidang perasuransian, kepabeanan, cukai, perdagangan orang dan seterusnya.
Pada kenyataannya, ungkap Hiariej, tidak semua kejahatan bermotif ekonomi disebut secara expressive verbisdalam pasal a quo. Ketentuan pasal a quo yang tidak limitatif terdapat dalam huruf z yang berbunyi, “Tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih”. Interpretasi historis terhadap angka “4 tahun” semata-mata hanya mengikuti Convention of Transnational Organized Crime yang menjustifikasi bahwa kejahatan yang diancam dengan pidana 4 tahun atau lebih sebagai serious crime.
“Artinya, ukuran 4 tahun tersebut lebih pada keseriusan tingkat kejahatan dan bukan pada motif ekonomi sebagaimana maksud dan tujuan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,” ujar Eddy kepada Majelis Hakim yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman.
Kesaksian
Eddy O.S Hiariej ahli yang dihadirkan MK dalam sidang uji materi UU TPPU.
Dalam persidangan juga dihadirkan sejumlah Saksi Pihak Terkait. Salah seorang saksi adalah Arief Indra Kusuma Adhi Kasubdit Penyidikan Dit. Penanganan Pelanggaran, Ditjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan  Perikanan (PSDKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan.  Dijelaskan Arief, Pasal 2 huruf y UU TPPU menyebutkan salah satu hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana kelautan dan perikanan, namun PPNS Perikanan tidak disebutkan sebagai Penyidik TPPU.
Ditambahkan Arief, Pasal 3, 4 dan 5 UU TPPU juga menyebutkan adanya perbuatan terhadap harta kekayaan hasil tindak pidana di bidang perikanan seperti mentransfer, menempatkan, membelanjakan. Juga adanya perbuatan terdakwa yang bertujuan untuk menyembunyikan atau menyamarkan hasil dari tindak pidana di bidang perikanan.
Hal lainnya, Arief menerangkan soal pendekatan multidoor system di bidang kelautan dan perikanan. Pendekatan multidoor adalah pendekatan penegakan hukum atas rangkaian, gabungan tindak pidana terkait kejahatan di bidang kelautan dan perikanan yang mengandalkan berbagai peraturan perundang-undangan. “Pendekatan multidoor merupakan bentuk terobosan hukum yang mendobrak penggunana rezim hukum tunggal,” tegas Arief.
Sebagaimana diketahui, Lembaga Anti Pencucian Uang Indonesia (LAPI), Yayasan Auriga Nusantara, Charles Simabura, Oce Madril dan Abdul Ficar Hadjar selaku Pemohon menguji Pasal 2 ayat (1) huruf z dan Penjelasan Pasal 74 UU TPPU. Satu pasal dan satu penjelasan dari UU TPPU, menurut Pemohon, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dengan beberapa alasan. Pertama, pertentangan itu timbul karena dalam Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 disebutkan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan, kemajuan, dan kesatuan ekonomi nasional.
(NTA/Lulu/LA) MHI Hasil gambar untuk media hukum indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar



Postingan Terupdate

Sidang Perkara No..527/Bth/2023, Pembantah Ajukan Dua Bukti, Turut Terbantah Klaim Autentik, Terbantah Lari Dari Konfirmasi

JAKARTA, MHI - Sidang pembuktian lanjutan kasus sengketa tanah Perkara Perdata Nomor. 527/Bth/2023 kembali di gelar Pengadilan Negeri 1A Jak...

Postingan Terkini


Pilihan Redaksi