JAKARTA , MHI – Arteria Dahlan hadir dalam sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) dalam Perkara 91/PUU-XVI/2018 mewakili Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Arteria menanggapi dalil-dalil Pemohon pada sidang terkait dalil para Pemohon agar ketentuan pasal-pasal yang diuji dimaknai “Pegawai Negeri Sipil (PNS) diberhentikan dengan tidak hormat atau tidak diberhentikan diperintahkan dalam amar putusan”. DPR berpandangan hal tersebut tidak tepat mengingat kebijakan untuk mengangkat, memindahkan maupun memberhentikan PNS adalah kewenangan Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) dan bukan kewenangan dari pengadilan , Selasa (8/1) siang.
“Pelaksanaan pengangkatan, pemindahan maupun pemberhentian PNS merupakan kewenangan PPK sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Justru dengan adanya pemberhentian PNS yang dimasukkan dalam amar putusan dalam putusan pengadilan, dapat bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Khususnya yang berkaitan dengan kepegawaian negara,” urai Arteria kepada Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman.
Terkait dengan upaya banding administrasi terhadap pemberhentian PNS, berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS, bahwa PNS yang tidak puas terhadap hukuman disiplin berupa pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri atau pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS yang dijatuhkan oleh pejabat yang berwenang menghukum, dapat melakukan upaya banding administratif kepada Badan Pertimbangan Kepegawaian.
DPR berpandangan bahwa para Pemohon tidak cermat membaca ketentuan dalam KUHP khususnya Pasal 35 KUHP yang dicantumkan oleh para Pemohon dalam perbaikan permohonan. Pasal 35 ayat (1) KUHP menyebutkan, “Hak-hak terpidana yang dengan putusan hakim dapat dicabut dalam hal-hal yang ditentukan dalam kitab undang-undang ini, atau dalam aturan umum lainnya ialah: 1. hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu; 2. hak memasuki Angkatan Bersenjata; 3. hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum; 4. hak menjadi penasehat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri; 5. hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri; 6. hak menjalankan mata pencarian tertentu.”
Sedangkan Pasal 35 ayat (2) KUHP menyebutkan, “Hakim tidak berwenang memecat seorang pejabat dari jabatannya, jika dalam aturan-aturan khusus ditentukan penguasa lain untuk pemecatan itu.”
Berdasarkan ketentuan Pasal 35 ayat (2) KUHP, menurut DPR, apabila dikaitkan dengan permohonan para Pemohon agar ketentuan pasal-pasal a quo UU ASN dimaknai “PNS diberhentikan dengan tidak hormat atau tidak diberhentikan diperintahkan dalam amar putusan” dikabulkan MK, ini akan menimbulkan disharmoni hukum antara putusan MK yang mengabulkan permohonan pengujian UU ASN dengan KUHP. Khususnya ketentuan Pasal 35 ayat (2) KUHP.
Lebih lanjut, DPR menanggapi dalil para Pemohon soal penghukuman berulang-ulang tidak sejalan dengan ketentuan International Cevenant on Civil and Political Right yang telah diratifikasi melalui UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, khususnya ketentuan pada Pasal 14 ayat (7) UU Nomor 12/2005. DPR berpandangan bahwa hal tersebut tidak tepat. Ketentuan Pasal 14 ayat (7) UU Nomor 12/2005 mengatur, “Tidak seorang pun dapat diadili atau dihukum kembali untuk tindak pidana yang pernah dilakukan, untuk mana ia telah dihukum atau dibebaskan sesuai dengan hukum dan hukum acara pidana di masing-masing negara”.
Penerapan Hukum Dengan Rasa Keadilan
Sebagaimana diketahui, pengujian UU No. 5 Tahun 2014 ini diuji oleh Novi Valentino bersama empat Pemohon lainnya. Para Pemohon menguji Pasal 87 ayat (2), Pasal 87 ayat (4) huruf b dan Pasal 87 ayat (4) huruf d UU No. 5/2014. Pemohon I (Novi Valentino) bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil berdasarkan SK Bupati Bengkulu Utara. Pemohon I telah didakwa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi, secara bersama-sama pada Persidangan Tingkat Pertama Negeri Kelas 1A Bengkulu, melalui Putusan Nomor 18/Pid.Sus/TPK/2016/PN.Bgl, tanggal 2 Februari 2016 dan dijatuhi hukuman pidana 1 tahun 3 bulan. Saat ini Pemohon I telah selesai menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas 2B Arga Makmur, pada 30 Mei 2017 sebagaimana Surat Keterangan No. W8.PAS.3.PK.01.01.02-275 tertanggal 24 September 2018 yang ditandatangani Kepala Lembaga Pemasyarakatan.
Sedangkan Pemohon II telah diberhentikan sementara, Surat Keputusan Gubernur Bengkulu Nomor P.635 Tahun 2016. Kemudian Pemohon II juga sudah tidak berstatus sebagai pegawai negeri sipil. Sementara Pemohon III juga telah didakwa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama. Termasuk juga Pemohon IV pada pokoknya juga didakwa secara bersama-sama dengan dakwaan tindak pidana korupsi. Namun Pemohon V yang agak berbeda. Pemohon V ini sudah dijatuhkan pidana penjara dengan dakwaan tindak pidana korupsi, kemudian juga telah diberikan sanksi oleh Gubernur melalui SK Keputusan Gubernur Sumatera Utara.
Para Pemohon mengharapkan penerapan hukum yang tetap berasal pada due process of law dan rasa keadilan. Menurut para Pemohon, upaya pemberantasan tindak korupsi ini seolah-olah menjadi ranah pembantaian bagi para Pemohon dan ASN. Sebab dalam praktik yang dialami oleh para Pemohon apabila peradilan membebaskan para terdakwa (para Pemohon a quo), maka Majelis Hakim yang memeriksa justru yang akan mendapat sorotan dari publik, Komisi Yudisial, opini pers, meskipun secara publik juga tidak mengetahui persis peran dan perbuatan terdakwa secara materiil.
(NTA/ Lulu//LA/JL) MHI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar