JAKARTA , 08 Mei 2018 | 19:03 – Mengingkari ketidaktahuan pihak ketiga tentang adanya putusan PTUN sehingga mengakibatkan lewatnya batas waktu 90 hari mengajukan gugatan, sebagaimana tercantum dalam Pasal 55 UU PTUN, berarti mencabut hak yang bersangkutan sebagai warga negara. Hal demikian menunjukkan ciri negara hukum yang menganut sistem pemerintahan absolut atau totaliter.
Keterangan tersebut disampaikan oleh Margarito Kamis selaku Ahli yang dihadirkan Pemohon dalam sidang pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 (UU PTUN). Sidang keempat perkara Nomor 22/PUU-XVI/2018 ini digelar pada Senin di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam keterangannya, pakar hukum tata negara tersebut menjelaskan memberlakukan Pasal 55 UU PTUN kepada pihak yang tidak menerima keputusan TUN karena tidak menjadi subjek yang dituju dalam keputusan TUN, berarti sama hukum dan nilainya dengan menyamakan dua hal hukum yang berbeda dengan satu cara yang sama. Dalam kasus Pemohon, menyamakan hukum atas individu yang menjadi subjek yang dituju oleh keputusan TUN itu dengan subjek yang menjadi subjek dalam keputusan TUN itu. “Memaknai Pasal 55 termasuk dan meliputi mereka yang tidak dituju dalam keputusan TUN itu sama hukumnya dengan menyampingkan hal, meminta hal mustahil dalam kehidupan hukum, menormakan hal mustahil dalam kehidupan hukum,” ujar Margarito di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Terbit dalam Waktu Sehari
Pada sidang yang sama, Boyke Chandra Permana selaku saksi Pemohon menyampaikan proses awal pihak PT Timsco mendapati permasalahan kerugian atas pembagian lahan yang tidak dilakukan pihaknya. Pihaknya mendapati surat keputusan alokasi lahan yang telah dibagi menjadi lima bagian pada tiga perusahaan. Padahal, jelas Boyke, PT Timsco tidak mengetahui dan tidak pernah melakukan peralihan haknya kepada pihak lain. Dalam proses penyelesaian hal yang dirasakan janggal tersebut, lanjut Boyke, pihak PT Timsco melakukan berbagai usaha penelusuran. Namun kemudian pihaknya mendapati surat izin peralihan lahan yang hanya dilakukan dalam satu hari. “Pada hari yang sama terbit surat izin beserta faktur tagihan dari pembagian lahan tersebut,” cerita Boyke.
Sebelumnya, perkara yang dimohonkan Direktur PT Timsco Indonesia S. A. Habibie tersebut melalui permohonannya menyampaikan frasa “90 hari” dalam Pasal 55 UU PTUN merugikan hak konstitusionalnya. Frasa tersebut dinilai menyatakan secara konseptual, tenggang waktu 90 hari dalam hukum acara PTUN termasuk sangat singkat. Apalagi jika dibandingkan dengan ketentuan batas waktu menggugat dalam hukum acara perdata, khususnya ketentuan pasal 835, 1963, dan 1967 KUHPerdata yang tenggang waktunya 30 tahun.
Di samping jangka waktu yang pendek, norma a quo juga dinilai Pemohon, menimbulkan pengeluaran biaya yang banyak dalam mengajukan gugatan kepemilikan atas tanah. Oleh karena itu, batasan tenggang waktu gugatan di PTUN tersebut mutlak diperpanjang seperti yang diatur oleh Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2/1991, yang mengatur perpanjangan masa tenggang waktu menggugat di PTUN.
Lebih lanjut, Pemohon menjelaskan pada kasus yang dialaminya terlihat aturan yang diberlakukan tidak jelas mengenai batas kedaluarsa gugatan, ada aturan yang menyatakan batas waktu 90 hari (berdasarkan Pasal 55 UU PTUN), namun ada lebih dari 4 bulan (Pasal 3 ayat (3) UU PTUN), bahkan ada aturan yang menyebutkan kapan saja bisa mengajukan gugatan selama ada kepentingannya dirugikan (SEMA Nomor 2/1991). Ketidaksinkronan antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan lainnya menimbulkan ketidakpastian hukum.
Pada akhir persidangan, Anwar menyampaikan sidang akan dilanjutkan pada Kamis, 31 Mei 2018 pukul 10.00 WIB dengan agenda mendengarkan keterangan Saksi dan Ahli dari Pemohon.
(SP/LA/NJ/Lulu) MHI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar