JAKARTA ,03 Mei 2018 | 11:39 – Perusahaan yang sahamnya dilepas oleh pemerintah menjadi sebuah holding perusahaan akan berakibat pada kerugian langsung bagi negara. Demikian keterangan Dosen Ilmu Ekonomi Universitas Surakarta R. Agus Trihatmoko selaku Ahli yang dihadirkan Pemohon perkara nomor 14/PUU-XVI/2018 dalam sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada Rabu di Ruang Sidang Pleno MK.
Menurut Agus, kerugian tersebut diakibatkan karena negara kehilangan keuntungan ekonomi secara langsung karena nilai dari aset telah berpindah ke sebuah holding. “Bahkan pada suatu kasus, sebuah holding dapat saja melakukan kamuflase strategis dengan menjual aset ataupun kepemilikan sahamnya ke pihak lain guna penampilan nilai keuntungan perusahaan,” terang Agus.
Selain itu, Agus menyebut manajemen pemerintah terhadap BUMN bersifat kapitalis karena terseret sistem ekonomi liberalis akibat dari diterapkannya UU BUMN sehingga norma a quomenyimpang dari substansi konstitusi ekonomi Indonesia. Ia menyampaikan dalam paradigma ekonomi, Pasal 2 ayat 1 huruf a UU BUMN pada frasa “penerimaan negara pada khususnya” tersebut, bermakna negara memiliki orientasi untuk mengekploitasi ekonomi melalui peran BUMN. Hal ini, jelas Agus, mengindikasikan adanya pertentangan dengan sifat emansipasi dan partisipasi tiap elemen pelaku ekonomi masyarakat secara filosofis pada asas kekeluargaan dan kebersamaan. Sedangkan Pasal 2 ayat 1 huruf b UU BUMN pada frasa “mengejar keuntungan”, Agus menjelaskan bermakna BUMN lebih mengutamakan orientasi pada keuntungan atas pemodalan kapitalistik melalui kepemilikan bisnis kelompok pemerintah.
“Jadi, benar adanya bahwa Pemerintah menjadi kelompok penguasa bisnis BUMN secara kapitalisme tanpa partisipasi masyarakat sebagai tumpuan ekonomi untuk ikut berdaulat. Sehingga pasal a quo telah menyimpang dari substansi filosofi Konstitusi Ekonomi Indonesia yang berparadigma kooperatisme sesuai Pasal 33 UUD 1945,” jelas Agus di hadapan sidang yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman.
Merugikan Hak Konstitusional
Sebelumnya, Albertus Magnus Putut Prabantoro, dkk., selaku Pemohon mendalilkan dua pasal dalam UU BUMN tersebut merugikan hak konstitusionalnya karena keberadaan pasal-pasal tersebut telah diselewengkan secara normatif dan menyebabkan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2017 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke dalam Modal Saham Perusahaan Persero. Dalam PP yang juga dikenal dengan PP Holding BUMN Tambang tersebut, terdapat tiga BUMN yang dialihkan sahamnya kepada PT Indonesia Asahan Aluminium Persero (Inalum).Adapun tiga BUMN yang dimaksud yakni Perusahaan Perseroan (Persero) PT Aneka Tambang Tbk, Perusahaan Perseroan (Persero) PT Timah Tbk, serta Perusahaan Perseroan (Persero) PT Bukit Asam Tbk.Selain itu, Pemohon menilai implimentasi dari UU BUMN tersebut juga telah menunjukkan akibat dari penyertaan modal negara pada BUMN lain sehingga BUMN tersebut menjadi anak perusahaan BUMN lainnya. Akibatnya, ketentuan initelah menghilangkan BUMN dan dapat dikategorikan sebagai privatisasi model baru karena adanya transformasi bentuk BUMN menjadi anak perusahaan BUMN tanpa melalui mekanisme APBN dan persetujuan DPR RI.
Holdingisasi BUMN Harus Penuhi Syarat
Holdingisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) harus memenuhi syarat, yaitu pemerintah harus memilah sektor hajat hidup orang banyak, sektor komersial, dan sektor kuasi. Demikian disampaikan pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy sebagai ahli Pemohon dalam sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN). Sidang kelima perkara Nomor 12/PUU-XVI/2018 tersebut digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (11/4) di Ruang Sidang Pleno MK. “Holdingisasi berlatar belakang pentingnya pemerintah melakukan pemilahan sektor-hajat hidup orang banyak, sektor komersial, serta sektor kuasi. Bahkan kalau terminologi lebih panjang bisa dibagi lima, bukan bisa dibagi tiga,” kata Ichsanuddin kepada Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman tersebut. Atas dasar itulah, sambung Ichsanuddin, memang harus dilakukan holdingisasi yang artinya terjadi penggabungan. “Digabung sedemikian rupa, sehingga pengelolaan ini sedemikian efisien dan efektif dalam sebagai entitas bisnis. Syarat kedua adalah selain posisi seperti itu, ini latar belakanganya. Entitas bisnis ini tidak disentuh dalam pendekatan politik praktis. Sampai dengan periode reformasi, gagasan saya tentang tidak sentuhan entitas politik dan pemilahan sektor itu tidak terjadi,” ujar Ichsanuddin. Mengenai fungsi pengawasan oleh negara dijelaskan pakar ekonomi F.X. Sugiyanto, yang juga sebagai Ahli Pemerintah. Menurut Sugiyanto, fungsi pengawasan oleh negara dilakukan oleh negara. Dalam hal ini pemerintah, dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas cabang produksi yang penting dan atau menguasai hajat hidup orang banyak benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat. “Pengendalian usaha tersebut termasuk di dalamnya bukan hanya dalam hal produksi, melainkan juga dalam hal distribusi barang dan atau jasa. Apabila individu, kelompok individu, atau negara menguasai produksi suatu barang dan atau jasa, atau menguasai distribusi termasuk pemasaran, maka individu, kelompok individu, atau negara tersebut akan dapat mengatur harga sesuai dengan harga yang diinginkan. Dalam hal penguasaan oleh negara melalui BUMN tersebut, harga yang diinginkan adalah harga yang wajar dan terjangkau oleh masyarakat dalam rangka melindungi masyarakat demi menciptakan keadilan,” papar Sugiyanto. Sementara itu Ahli Pemerintah, Refly Harun menyampaikan bahwa dengan mengamati ketentuan dalam Undang-Undang BUMN dapat disimpulkan dalam menjalankan penyelenggaraan korporasi dan pengelolaan keuangan, BUMN tidak bersifat bebas tanpa pengawasan. Pengawasan terhadap BUMN bersifat berlapis, baik secara internal maupun eksternal. “Namun demikian, terkait dengan independensi BUMN untuk menjalankan kegiatan usahanya, perlu mengingat dengan baik keberadaan Pasal 91 Undang-Undang BUMN yaitu selain organ BUMN, pihak lain manapun dilarang campur tangan dalam pengurusan BUMN,” ungkap Refly sebagai pakar hukum tata negara. Pemohon perkara Nomor 12/PUU-XVI/2018 mendalilkan bila PP Nomor 72 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas adalah salah satu perangkat untuk memprivatisasi BUMN tanpa terkecuali. Menurut Pemohon, BUMN yang produksinya menyangkut orang banyak akan diprivatisasi seperti yang tertuang dalam PP Nomor 39 Tahun 2014 tentang “daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan dibidang penanaman modal”. Pembangkit listrik, transmisi tenaga listrik dan distribusi tenaga listrik swasta dapat memiliki saham hingga 95-100%, yang akan menghilangkan fungsi negara untuk menguasai cabang produksi yang penting bagi Negara yang menyangkut hidup orang banyak. Pemohon beranggapan, adanya Pasal 14 ayat (3) huruf (a), (b), (d), (g), dan (h) UU BUMN, pemerintah yang diwakili menteri bertindak selaku pemegang saham dapat mengubah Anggaran Dasar (AD) perseroan, meliputi unsur penggabungan, peleburan dan pengalihan aktiva, perubahan jumlah modal, perubahan anggaran dasar, pengambilalihan dan pemisahan tanpa pengawasan dari DPR.
(SP/Lulu) MHI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar