JAKARTA ,07 April 2018 – Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3) kembali diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh sejumlah pihak. Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) beserta perseorangan mengajukan uji materiil Pasal 73 ayat (3), ayat (4) huruf a dan c, dan ayat (5), Pasal 122 huruf (k), Pasal 245 ayat (1) tercatat sebagai Pemohon Nomor 26/PUU-XVI/2018. Sementara, Presidium Rakyat Menggugat yang tercatat sebagai Pemohon Nomor 28/PUU-XVI/2018 menguji Pasal 73 ayat (3) dan ayat (4) huruf a dan c, Pasal 122 huruf k dan Pasal 245 ayat (1) UU MD3.
Kuasa Hukum PMKRI Bernadus Barat Daya menyatakan Pasal 73 Ayat (3), Ayat 4 Huruf a dan Huruf c, dan Ayat (5) UU MD3 membatasi hak warga negara untuk mengajukan atau mengeluarkan pikiran, pendapat serta aspirasinya kepada lembaga legislatif (MPR, DPR, DPRD, DPD). Pemohon memandang kewenangan “panggilan paksa” dalam pasal-pasal tersebut bertentangan dengan asas-asas hukum yang berlaku sah di Indonesia dan bertentangan dengan KUHAP dan UU Otonomi Daerah.
“Pasal tersebut selain mengacaukan garis ketatanegaraan yang diatur dalam UUD 1945 juga merupakan pasal anti demokrasi serta mengancam kebebasan berpendapat warga,” tegasnya dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra tersebut.
Pemohon juga mendalilkan frasa “wajib” dalam hal pemanggilan paksa oleh DPR masih pula diikuti oleh tindakan “menyandera” sebagaimana diatur dalam Pasal 73 ayat (6) UU MD3. Menurut Pemohon, DPR berusaha membentengi diri dari kritikan rakyat dengan menjadikan pasal tersebut sebagai alat untuk memproteksi diri dari ancaman hukuman. Hal tersebut tidak hanya berakibat DPR yang bersikap tidak fair dalam menyikapi kritikan masyarakat, namun juga sengaja mengabaikan prinsip dan asas hukum equality before the law (kesamaan derajat di depan hukum).
Sebagai salah satu lembaga tinggi negara, lanjut Bernadus, DPR tidak boleh mendominasi kewenangan yang ada pada lembaga tinggi negara lainnya yakni eksekutif maupun yudikatif. Dalam konteks UU MD3, DPR telah menambahkan ‘kekuasaan’ atau kewenangan besar yang memungkinkannya dapat menghegemoni kewenangan dari lembaga tinggi negara lainnya secara berlebihan tanpa dapat dikontrol yang berpotensi menimbulkan penyimpangan atau abuse of power.
Di sisi lain, lanjut Bernadus, Pasal 122 Huruf k UU MD3 berpotensi menimbulkan multitafsir dalam penerapannya mengingat frasa “merendahkan kehormatan”, bersifat relatif, tentatif dan sangat subjektif. “Terminologi ‘merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR’ dapat diterapkan secara sewenang-wenang sesuai interpretasi subjektif atau sesuai kepentingan politik para anggota DPR. Pasal ini berpotensi menyeret siapa saja ke ranah hukum jika dianggap melakukan perbuatan yang diduga merendahkan martabat dan kehormatan DPR dan anggota DPR,” jelasnya.
Terakhir, Pasal 245 ayat (1) UU MD3 yang mengatur tentang pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan, baginya tidak sesuai dengan asas persamaan derajat di depan hukum. Sebab telah menghilangkan hak konstitusional dari jajaran penegak hukum yang akan melakukan tindakan hukum seperti penyelidikan, penyidikan dan upaya penegakan hukum lainnya terhadap anggota DPR.
Sementara itu, Rinto Wardana selaku kuasa hukum Presidium Rakyat Menggugat memandang UU MD3 akan mematikan kontrol warga negara pada kinerja legislatif. Di sisi lain, UU MD3 juga menimbulkan ketakutan karena seseorang yang menyampaikan pendapat dapat diperkarakan oleh anggota DPR. “Hak DPR untuk memanggil untuk memanggil secara paksa dengan kewenangan dan kuasa aparat dapat menimbulkan pelanggaran HAM dan menciderai kebebasan berpendapat,” jelasnya.
Untuk itulah, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar pasal-pasal yang diajukan dibatalkan keberlakuannya dan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
Masukan Hakim
Menanggapi permohonan Pemohon, Hakim Konstitusi Suhartoyo meminta agar Pemohon memperjelas kedudukan hukum (legal standing). Hal ini dikarenakan Pemohon perkara Nomor 28/PUU-XVI/2018 adalah PMKRI cabang Jakarta Timur, Jakarta Utara, Jakarta Selatan, serta Jakarta Barat. Ia menilai Pemohon harus menjelaskan PMKRI yang berhak mewakili organisasi sesuai AD/ART organisasi. “Kalau ini tidak jelas dapat menghilangkan legal standingPemohon,” jelasnya.
Sedangkan, Hakim Konstitusi Saldi Isra meminta Pemohon perkara Nomor 28/PUU-XVI/2018 untuk mengecek surat kuasa khusus. Sebab ada Pemohon yang tercantum dalam surat kuasa khusus, namun tidak tercantum dalam permohonan.
Terlalu Berlebihan dan Kewenangan Tidak Terbatas
Sebelumnya perkara yang teregistrasi dengan Nomor 25/PUU-XVI/2018 diajukan oleh Muhammad Hafidz (Pemohon I) dan Abda Khair Mufti (Pemohon II). Kedua Pemohon berkeberatan dengan keberlakuan Pasal 122 huruf I dan Pasal 245 ayat (1) UU MD3 yang dianggap melanggar hak konstitusionalnya. Pasal 122 huruf l UU MD3 menyatakan, “Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121A, Mahkamah Kehormatan Dewan bertugas: l. “Mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan Anggota DPR”.
Pasal 245 ayat (1) menyatakan, “Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada Anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 4 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan”.
Dalam persidangan, Abda Khair Mufti mengungkapkan rumusan dalam Pasal 122 huruf l Undang-Undang MD3 sepanjang frasa tindakan hukum telah berlebihan dan sesungguhnya tidak saja hanya bersifat penegasan serta memperlihatkan adanya standar ganda dari hak-hak setiap orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya, termasuk Pemohon I sebagai penyelenggara usaha pers. “Sebagaimana telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tetapi juga seolah-oleh memberikan kewenangan lain yang tidak terbatas kepada Majelis Kehormatan Dewan atau MKD DPR dengan adanya rumusan norma tindakan lain dalam pasal a quo,” ujar Abda.
Selain itu, lanjut Abda, dengan mempertimbangkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XII/2014 tanggal 20 September 2015, telah menyatakan frasa persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan dalam Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘persetujuan tertulis dari presiden.’ Dengan demikian, maka secara mutatis mutandis menjadi bahan pertimbangan hukum dalam permohonan a quo. Muhammad Hafidz yang juga hadir dalam persidangan tersebut menjelaskan Pasal 245 UU MD3 telah menghilangkan pengaturan batasan waktu penerbitan persetujuan tertulis dari Presiden, sebagaimana telah pernah diatur dalam Pasal 245 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014.
Pengaturan batasan waktu bagi Presiden untuk menerbitkan persetujuan tertulis bagi pemeriksaan anggota DPR karena adanya dugaan tindak pidana selain tindak pidana khusus, menjadi amat penting. “Karena secara subjektif tidak menutup kemungkinan bagi Presiden untuk tidak memberikan atau menggantung persetujuan tertulisnya. Oleh karenanya sangat relevan dan diperlukan untuk tetap melekatkan batasan waktu pemberian persetujuan tertulis atas pemeriksaan anggota DPR,” imbuhnya.
Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menanggapi dalil permohonan yang menegaskan Pemohon I adalah pengelola situs buruh-online.com yang berisi berita hukum serta politik ketenagakerjaan yang di antaranya juga menyajikan informasi, dan pandangan, atau pendapat terhadap kinerja wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat atas proses legislasi yang berkait dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan. “Kalau ada buktinya mengenai hal ini, dilampirkan tentang apa namanya, jenis kegiatan yang misalnya mengelola informasi itu kalau ada yang berkait dengan ini. Karena Anda mengatakan telah menyajikan informasi, dan pandangan, atau pendapat terhadap wakil rakyat itu kan? Kalau itu sudah ada intinya, dijadikan bukti saja sehingga lebih meyakinkan kami dalam menilai kerugian konstitusional yang berkait dengan kedudukan hukum atau legal standing Saudara,” ujar Palguna.
Sedangkan Hakim Konstitusi Saldi Isra memberikan saran dan catatan kepada Pemohon terkait kedudukan hukum yang dimiliki Pemohon. Misalnya, lanjutnya, jika bertindak sebagai badan hukum privat, harus ditunjukkan pihak yang berhak mewakili badan hukum sesuai anggaran dasar.
PB PMII Tambahkan Petitum Uji UU MD3
Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII) memperbaiki permohonan terkait pengujian Pasal 73 ayat (3) dan ayat (4) huruf a dan huruf c Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3). Sidang perbaikan perkara Nomor 21/PUU-XVI/2018 ini
Rusdi Sanmas selaku kuasa hukum Pemohon menjelaskan Pemohon telah memperbaiki permohonan sesuai dengan saran panel hakim dalam sidang sebelumnya. Pemohon menjelaskan telah memperbaiki petitum permohonan. “Pasal 73 ayat (3) dan ayat (4) huruf a dan huruf c Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” jelas Rusdi membacakan perbaikan petitum.
Selanjutnya, terhadap perkara yang dimohonkan Agus Mulyono Herlambang selaku Ketua Umum Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII) ini, Rusdi menyampaikan Pasal 122 huruf i serta Pasal 245 ayat (1) UU MD3 bertentangan dengan UUD negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
“Memerintahkan pemuatan putusan ini di dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan seadil-adilnya,” jelas Rusdi di hadapan sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo.
Sebelumnya, dalam permohonan Pemohon menilai alasan pemanggilan paksa bertentangan dengan peran dan fungsi DPR, yaitu memenuhi aspirasi dan kepentingan seluruh rakyat. Pemohon menilai langkah hukum yang dapat diambil oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) berpotensi membungkam suara rakyat. Selain itu, Pemohon beranggapan jaminan kepastian hukum adalah hak setiap warga negarasehingga aturan tentang hak imunitas anggota DPR pada dasarnya inkonstitusional. Oleh karena itu, Pemohon meminta penafsiran Pasal 73 ayat (3), Pasal 73 ayat (4), Pasal 122 huruf k dan Pasal 245 ayat (1) UU MD3 yang mengatur hak imunitas tersebut.
(ARS/LA/IR/SP/JL) MHI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar