JAKARTA 18 Apr 2018 – Pemerintah melalui tim gabungan yang terdiri dari TNI AL, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dan penyidik POLRI di bawah koordinasi Satgas 115 telah melakukan pemeriksaan terhadap 20 orang ABK STS-50 berkebangsaan Indonesia. Dibantu oleh International Organization of Migration (IOM), tim gabungan mengidentifikasi dugaan perdagangan manusia dan perbudakan terhadap ABK Indonesia. Tim gabungan juga mendapatkan bantuan dari BNN untuk memeriksa kemungkinan kapal membawa narkotika.
Melalui wawancara, diketahui ABK STS-50 berasal dari Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan. Berdasarkan pengakuan para ABK, mereka tidak mengetahui bahwa kapal STS-50 adalah kapal ikan asing ilegal. Mereka juga mengaku mendapatkan perlakuan yang masih layak di atas kapal, namun mendapatkan perlakuan tidak adil oleh agen penyalur dengan nama PT GSJ.
Agen penyalur ini diduga mengetahui sejarah operasi ilegal kapal STS-50. Sebelum para ABK diberangkatkan, mereka diwajibkan menandatangani Perjanjian Kerja Laut (PKL) yang menggunakan Bahasa Indonesia dan Inggris. Namun mereka tidak diizinkan membaca seutuhnya isi dari PKL tersebut dan diminta untuk segera menandatanganinya. Selain itu, PT GSJ tidak memberikan informasi secara benar kepada para ABK karena sebelumnya dijanjikan akan dikirim ke kapal Korea, namun pada kenyataannya dikirim ke kapal tidak berkebangsaan (stateless vessel).
20 orang ABK STS-50 tersebut diduga merupakan korban perdagangan manusia. Mereka dikirimkan oleh agen penyalur melalui 3 kelompok. Kelompok pertama dikirim pada 25 Mei 2017 sebanyak 4 orang diberangkatkan ke Vietnam. Disusul kelompok kedua pada 5 Agustus 2017 yang memberangkatkan 10 orang ke Vietnam. Terakhir, kelompok ketiga yang berjumlah 6 orang diberangkatkan ke Tiongkok pada 12 Desember 2017.
Hal ini diungkapkan dalam konferensi pers yang dipimpin langsung Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, Wakil Kepala Staf TNI AL Achmad Taufiqoerrochman, Plt. Dirjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Nilanto Perbowo, Koordinator Staf Khusus Satgas 115 Mas Achmad Santosa, dan Direktur Operasi Satgas 115 Wahyudi HD, di Kantor KKP, Jakarta, Rabu .
Sebelumnya saat diwawancarai, para ABK menyampaikan bahwa sewaktu tiba di Lotus Port, Vietnam, mereka langsung dinaikan ke atas Kapal AYDA (nama STS-50 sebelumnya) dan menemukan palka kapal sudah berisi ikan dengan estimasi volume sebesar 250 ton. Mereka melakukan bongkar muat untuk dikirim ke buyer. Namun, ikan-ikan tersebut dikembalikan oleh buyer dengan dugaan ikan tidak dilengkapi oleh sertifikat atau izin penangkapan.
Mereka juga mengungkapkan bahwa kapal STS-50 ingin melakukan operasi penangkapan di Antartika dan telah melewati berbagai negara sepanjang perjalanannya. Di awali di Vietnam, kapal ini kemudian berlayar ke Filipina, Tiongkok, Korea, Rusia, Malaysia, Madagascar, Mozambik, dan Indonesia.
STS-50 Sudah Sering Lakukan Pelanggaran di Negara Lain
Kapal STS-50 sebelumnya pernah ditahan dan diperiksa oleh Pemerintah Tiongkok di Dalian Port pada tanggal 22 Oktober 2017 sebelum melarikan diri pada hari yang sama. Berdasarkan keterangan dari ABK, dokumen para awak kapal seperti paspor dan buku pelaut serta dokumen kapal diambil oleh petugas pemeriksa di Tiongkok, dan kapal STS-50 melarikan diri tanpa membawa dokumen apapun. Kapal sempat bersandar di Tiongkok pada tanggal 12 Desember 2017 untuk mengambil 6 orang ABK Indonesia (kelompok ketiga), dokumen kapal, dan dokumen perjalanan para awak kapal. Setelah mendapatkan dokumen baru, kapal STS-50 kembali melanjutkan operasinya. Dokumen-dokumen tersebut diduga merupakan dokumen palsu.
Pada tanggal 18 Februari 2018, STS-50 ditahan dan diperiksa oleh Pemerintah Mozambik di Maputo Port sebelum kembali melarikan diri di hari yang sama. Dengan demikian, kapal ini telah 2 kali melarikan diri dari dua pemerintah yang berbeda. Saat pemeriksaan, dokumen seperti paspor dan buku pelaut yang dimiliki ABK diambil oleh petugas. Kapal STS-50 kembali melarikan diri tanpa membawa dokumen perjalanan apapun.
Semenjak kapal ini tertangkap pertama kali dan saat paspor serta buku pelaut disita, ABK sudah meminta pulang dan melakukan mogok kerja. Para ABK juga sempat menghubungi PT GSJ selaku agen penyalur untuk dipulangkan, namun ditolak dan diancam pembayaran denda pembatalan kontrak sebesar Rp. 6 juta untuk tiap ABK. Kapten kapal juga mengatakan bahwa apabila para ABK menolak bekerja, maka status mereka berubah menjadi penumpang dan harus membayar US$ 25 per hari selama tinggal dan berada di atas kapal.
Ketidakadilan yang dialami oleh ABK dirasakan pada penerimaan gaji. Nominal gaji ditentukan berdasarkan pengalaman atau lama kontrak kerja senilai USD 350 atau USD 380. Meskipun demikian, gaji para ABK selama 2 (dua) bulan pertama ditahan sebagai jaminan penyelesaian kontrak. Selain itu, jumlah rupiah yang diterima oleh keluarga ABK per bulan beragam mulai dari Rp. 4,1 – 4,5 juta. Ketika ada tangkapan, ABK dapat bekerja 20-22 jam per hari yang terbagi dalam 2 shift. Bila tidak bekerja di atas kapal, ABK diancam potong gaji hingga USD 20-30. Selain penahanan gaji selama 2 (dua) bulan pertama, para ABK juga dikenakan biaya administrasi sebesar Rp. 2,5 juta yang dibayarkan selama 5 (lima) bulan atau potongan sebesar Rp. 500.000 per bulan. Meskipun begitu, ABK tidak ada yang mengalami kekerasan fisik ataupun kekerasan seksual.
kasus Perbudakan Masuk IUU Fishing
“IUU Fishing tidak lagi sekadar penangkapan ikan, tetapi juga soal kasus perbudakan yang marak terjadi. Mirisnya, banyak warga negara Indonesia yang menjadi korban,” ungkap Menteri Susi dalam konferensi pers.
“Kami akan terus menginvestigasi bekerja sama dengan IOM untuk menelusuri dugaan praktik perdagangan manusia dan perbudakan terhadap 20 orang ABK indonesia yang bekerja di Kapal STS-50. Apabila ditemukan indikasi praktik perdagangan manusia, kami akan memproses secara hukum agen penyalur PT GSJ berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” lanjut Menteri Susi.
Perlu diketahui, kapal STS-50 merupakan kapal tanpa bendera kebangsaan (stateless). STS-50 menggunakan 8 (delapan) bendera, yaitu Sierra Leone, Togo, Kamboja, Korea Selatan, Jepang, Mikronesia, Filipina, dan Namibia. Selain melakukan illegal fishing, kapal STS-50 diduga melakukan pemalsuan dokumen kebangsaan kapal untuk menghindari pengawasan dan penegakan hukum.
STS-50 diduga telah melakukan kejahatan lintas negara terorganisir dalam waktu yang cukup lama. Selain dengan menggunakan kapal asing, Menteri Susi mengimbau agar masyarakat mewaspadai modus baru pencurian ikan terorganisir yang banyak memanfaatkan kapal lokal yang terafiliasi perusahaan-perusahaan pemilik kapal berbendera asing.
“Sekarang modusnya berganti, bukan lagi kapal asing nangkap (ikan di Indonesia) tapi kapal Indonesia terafiliasi dengan kapal asing yang melakukan penangkapan (ikan) di Indonesia dan melakukantranshipment (bongkar muat ikan di tengah laut),” ungkap Menteri Susi pada konferensi pers Sabtu (7/4) lalu.
Tim gabungan KKP, TNI AL, Polri, dan Satgas 115 akan terus berkoordinasi dengan mitra internasional kami, yaitu INTERPOL, Australia, New Zealand, Togo, Tiongkok, dan Mozambik untuk menelusuri mastermind dan beneficial owner dari kapal STS-50. Mengingat STS-50 merupakan stateless vessel, sebagaimana diatur dalam Pasal 92 UNCLOS, sangat mungkin kapal ini akan dirampas untuk negara.
(LAP/IRM) MHI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar