Menkeu, Sri Mulyani, saat menjawab pertanyaan wartawan.
JAKARTA , 24 Mar 2018 – Terkait banyak diskusi publik yang akhir-akhir ini ramai di media, baik media mainstream maupun media sosial, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati melalui pernyataan tertulisnya Jumat (23/3) memberikan penjelasan lengkap.
Berikut penjelasan yang disampaikan Menkeu tentang kondisi utang negara yang perlu diketahui masyarakat luas:
Pertama, Menkeu menyampaikan bahwa perhatian politisi dan beberapa ekonom mengenai kondisi utang beberapa bulan terakhir sungguh luar biasa. Dikatakan luar biasa, menurut Menkeu, dikarenakan isu ini dibuat dan diperdebatkan seolah-olah Indonesia sudah dalam kondisi krisis utang sehingga masyarakat melalui media sosial juga ikut terpengaruh dan sibuk membicarakannya.
Perhatian elit politik, ekonom, dan masyarakat terhadap utang tentu sangat berguna bagi Menteri Keuangan selaku Pengelola Keuangan Negara untuk terus menjaga kewaspadaan, agar apa yang dikhawatirkan yaitu terjadinya krisis utang tidak menjadi kenyataan.
Namun Menkeu memandang perlu mendudukkan masalah agar masyarakat dan elit politik tidak terjangkit histeria dan kekhawatiran berlebihan yang menyebabkan kondisi masyarakat menjadi tidak produktif.
“Kecuali kalau memang tujuan mereka yang selalu menyoroti masalah utang adalah untuk membuat masyarakat resah, ketakutan, dan menjadi panik, serta untuk kepentingan politik tertentu,” tulis Menkeu seraya menambahkan, bahwa upaya politik destruktif seperti ini sungguh tidak sesuai dengan semangat demokrasi yang baik dan membangun.
Kedua, Menkeu mengajak semua pihak untuk mendudukkan masalah utang dalam konteks seluruh kebijakan ekonomi dan keuangan negara, karena utang adalah salah satu instrumen kebijakan dalam pengelolaan keuangan negara dan perekonomian.
“Utang bukan merupakan tujuan dan bukan pula satu-satunya instrumen kebijakan dalam mengelola perekonomian,” ujar Menkeu seraya mengingatkan, dalam konteks keuangan negara dan neraca keuangan Pemerintah, banyak komponen lain selain utang yang harus juga diperhatikan.
Sebagai contoh, lanjut Menkeu, misalnya sisi aset yang merupakan akumulasi hasil dari hasil belanja Pemerintah pada masa-masa sebelumnya. Ia menambahkan bahwa Nilai aset tahun 2016 (audit BPK) adalah sebesar Rp5.456,88 triliun.
Nilai ini, tambah Menkeu, masih belum termasuk nilai hasil revaluasi yang saat ini masih dalam proses pelaksanaan untuk menunjukkan nilai aktual dari berbagai aset negara mulai dari tanah, gedung, jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit dan lainnya.
Hasil revaluasi aset tahun 2017 terhadap sekitar 40 persen aset negara, lanjut Menkeu, menunjukkan bahwa nilai aktual aset negara telah meningkat sangat signifikan sebesar 239 persen dari Rp781 triliun menjadi Rp2.648 triliun, atau kenaikan sebesar Rp1.867 triliun. Ia menambahkan bahwa tentu nilai ini masih akan diaudit oleh BPK untuk tahun laporan 2017.
Kenaikan kekayaan negara tersebut, Menkeu meminta harus dilihat sebagai pelengkap dalam melihat masalah utang, karena kekayaan negara merupakan pemupukan aset setiap tahun termasuk yang berasal dari utang.
Ketiga, Menkeu menilai, mereka yang membandingkan jumlah nominal utang dengan belanja modal atau bahkan dengan belanja infrastruktur kurang memahami dua hal. Alasan kesatu, Menkeu menyampaikan bahwa belanja modal tidak seluruhnya berada di Kementerian/Lembaga Pemerintah Pusat, namun juga dilakukan oleh Pemerintah Daerah.
“Dana transfer ke daerah yang meningkat sangat besar, dari Rp573,7 triliun pada 2015 menjadi Rp766,2 triliun pada 2018, sebagian yaitu sebesar 25 persen diharuskan merupakan belanja modal, meski belum semua Pemerintah Daerah mematuhinya,” ungkap Menkeu.
Alasan kedua, dalam kategori belanja infrastruktur, lanjut Menkeu, tidak seluruhnya merupakan belanja modal, karena untuk dapat membangun infrastruktur diperlukan institusi dan perencanaan yang dalam kategori belanja adalah masuk dalam belanja barang.
Oleh karena itu, Menkeu Sri Mulyani Indrawati menilai, pernyataan bahwa ‘tambahan utang disebut sebagai tidak produktif karena tidak diikuti jumlah belanja modal yang sama besarnya’ adalah kesimpulan yang salah.
“Ekonom yang baik sangat mengetahui bahwa kualitas institusi yang baik, efisien, dan bersih adalah jenis “soft infrastructure” yang sangat penting bagi kemajuan suatu perekonomian. Belanja institusi ini, dimasukkan dalam kategori belanja barang dalam APBN kita,” terang Menkeu.
Keempat, selain melihat neraca, menurut Menkeu, dalam melihat utang perlu juga melihat keseluruhan APBN dan keseluruhan perekonomian. Ia menyebutkan, bila diukur dari jumlah nominal dan rasio terhadap Produk Domestik Bruto, defisit APBN dan posisi utang Pemerintah terus dikendalikan (jauh) di bawah ketentuan Undang-Undang Keuangan Negara.
Ia menunjukkan, defisit APBN tahun 2016 yang sempat dikhawatirkan akan melebihi 3 persen PDB, dikendalikan dengan pemotongan belanja secara drastis hingga mencapai Rp167 triliun. Demikian juga tahun 2017, tambah Menkeu, defisit APBN yang diperkirakan mencapai 2.92 persen PDB, berhasil diturunkan menjadi sekitar 2.5 persen. Ia juga menambahkan bahwa tahun 2018 ini target defisit Pemerintah kembali menurun menjadi 2.19 persen PDB.
“Pada kurun 2005-2010, saat masa saya menjabat Menteri Keuangan sebelum ini, Indonesia berhasil menurunkan rasio utang terhadap PDB dari 47 persen ke 26 persen, suatu pencapaian yang sangat baik, dan APBN Indonesia menjadi semakin sehat, meski jumlah nominal utang tetap mengalami kenaikan,” sambung Menkeu.
Kelima, demikian juga dengan kekhawatiran mengenai posisi keseimbangan primer. Menurut Menkeu, Pemerintah dalam berbagai penjelasan dan siaran pers, TELAH menyatakan akan menurunkan defisit keseimbangan primer, agar APBN menjadi instrumen yang sehat dan sustainable.
Buktinya, lanjut Menkeu, pada tahun 2015 keseimbangan primer mencapai defisit Rp142,5 triliun, menurun pada tahun 2016 menjadi Rp125,6 triliun, dan kembali menurun pada tahun 2017 sebesar Rp121,5 triliun.
Untuk tahun 2018, menurut Menkeu, Pemerintah menargetkan keseimbangan primer menurun lagi menjadi Rp87,3 triliun. Ia juga menyampaikan bahwa tahun 2019 dan ke depan pemerintah akan terus menurunkan defisit keseimbangan primer untuk mencapai nol atau bahkan mencapai surplus.
Keenam, kebijakan utang dalam APBN, tegas Menkeu Sri Mulyani Indrawati, juga ditujukan untuk membantu membangun pendalaman pasar keuangan dan obligasi di dalam negeri. “Jadi utang tidak hanya sebagai alat menambal defisit belanja Pemerintah, namun juga sebagai alternatif instrumen investasi bagi masyarakat Indonesia,” ujarnya.
Menurut Menkeu, jumlah investor ritel yang membeli Surat Berharga Negara (SBN) meningkat setiap tahun sejak diterbitkannya SBN ritel tahun 2006, yaitu sebesar 16.561 investor ritel dalam negeri, dan mencapai 83.662 investor ritel pada 2016.
Secara jumlah total pada 2018, menurut Menkeu, investor ritel pemegang SBN telah mencapai 501.713. Bahkan investor individual ini, tambah Menkeu, ada yang berusia di bawah 25 tahun (sekitar 3 persen), hingga di atas 55 tahun. Ia juga menambahkan bahwa Ibu rumah tangga juga telah mengenal dan berinvestasi pada SBN yang mencapai sekitar 13-16 persen.
Ketujuh, bagi mereka yang menganjurkan agar Pemerintah berhati-hati dalam menggunakan instrumen utang, Menkeu Sri Mulyani Indrawati mengemukakan, bahwa anjuran itu SUDAH SANGAT SEJALAN dengan yang dilakukan Pemerintah.
Ia menyebutkan, langkah pengelolaan APBN dan penyesuaian memang dilakukan secara bertahap dan hati-hati, agar perekonomian tidak mengalami kejutan (shock) dan mesin ekonomi menjadi melambat.
Pilihan-pilihan kebijakan ini, menurt Menkeu, dievaluasi secara cermat oleh Pemerintah, karena ekonomi Indonesia harus dikelola dengan hati-hati dan seimbang, mengingat tujuan-tujuan yang hendak dicapai sangat beragam, antara lain pengurangan kemiskinan, pengurangan kesenjangan, penciptaan kesempatan kerja, perbaikan program pendidikan dan kesehatan, membantu infrastruktur dasar, dan sebagainya.
Kedelapan, Menkeu menegaskan, setiap langkah penyesuaian untuk mencapai satu tujuan, selalu berakibat pada tujuan yang lain. Ini yang dikenal sebagai “trade-off”. Namun Pemerintah, tambah Menkeu, terus melakukan penyesuaian untuk mencapai tujuan pembangunan dan terus menjaga APBN terap sehat, credible, dan berkelanjutan (sustainable).
Langkah konsisten dan hati-hati dari Pemerintah ini, ungkap Menkeu, telah menghasilkan kepercayaan yang makin kuat terhadap APBN dan perekonomian kita. “Hal ini dikonfirmasi oleh peringkat invetasi dari lima lembaga pemeringkat dunia (S&P, Moodys, Fitch, JCR, dan R&I),” ujarnya.
Menkeu juga mengingatkan, bahwa Indonesia termasuk dalam kelompok negara yang memiliki undang-undang yang menjaga disiplin APBN (fiscal responsibility rules) dan konsisten menjalankannya.
“Disiplin fiskal Pemerintah Indonesia ditunjukkan dengan kepatuhan terhadap besaran defisit dan rasio utang terhadap PDB,” tulis Menkeu seraya menambahkan, perhatian dan keinginan berbagai partai politik dan ekonom agar Indonesia terus menjaga disiplin fiskal adalah positif dan baik bagi reputasi dan kredibilitas ekonomi Indonesia. Saat yang sama, menurut Menkeu,justru Federal Reserve Amerika melakukan kenaikan suku bunga pada akhir Desember 2016, dan dilanjutkan dengan kenaikan suku bunga tiga kali pada tahun 2017.
Kesembilan, disiplin fiskal, menurut Menkeu, tidak berarti semua pihak menjadi ketakutan dan panik atau bahkan menjadi alergi terhadap instrumen utang. “Kita harus tetap menjaga instrumen tersebut sebagai salah satu pilihan kebijakan dalam mencapai tujuan pembangunan. Utang bukan satu-satunya instrumen kebijakan,” ungkap Menkeu, seraya menambahkan ada instrumen lain yang sangat penting seperti pajak dan cukai serta penerimaan bukan pajak, dan sebagainya.
Semua instrumen kebijakan tersebut, menurut Menkeu, sama pentingnya dalam pencapaian tujuan pembangunan, mempengaruhi kesejahteraan masyarakat dan menciptakan keadilan. Ia menambahkan bahwa semua kebijakan ini juga harus sama-sama bekerja secara efektif dan keras untuk mencapai tujuan nasional.
“Oleh karena itu, Pemerintah melakukan reformasi perpajakan dengan serius, karena Pemerintah sadar bahwa pajak merupakan tulang punggung negara,” tulis Menkeu seraya menambahkan, bahwa pemerintah juga serius dalam memperbaiki iklim investasi, agar investasi dan daya kompetisi ekonomi dan ekspor meningkat.
Kesepuluh, banyak langkah-langkah tersebut, termasuk pembangunan infrastruktur dan perbaikan pendidikan dan kesehatan serta jaminan sosial, dijelaskan Menkeu Sri Mulyani Indrawati, baru akan menuai hasil pada jangka menengah.
Karena itu, Menkeu menilai kritikan bahwa banyak yang dilakukan pemerintah tidak memberikan hasil memuaskan saat ini, jelas tidak mempertimbangkan mengenai berapa lama proses suatu kebijakan dan proses konstruksi infrastruktur baru akan menuai hasil.
Namun demikin, Menkeu setuju dengan anjuran bahwa pemerintah perlu meningkatkan efektivitas kebijakan, mempertajam berbagai pilihan dan prioritas kebijakan dan memperbaiki tata kelola serta proses perencanaan, serta terus memerangi korupsi agar setiap instrumen kebijakan dapat menghasilkan dampak positif yang nyata dan cukup cepat.
Kesebelas, untuk itu, hanya menyoroti instrumen utang tanpa melihat konteks besar dan upaya arah kebijakan pemerintah, menurut Menkeu, jelas memberikan kualitas analisis dan masukan yang tidak lengkap dan bahkan dapat menyesatkan.
Keduabelas, sekali lagi, apa yang disampaikan oleh berbagai pihak yang peduli mengenai utang, menurut Sri Mulyani, pada dasarnya TELAH dan SEDANG dilakukan oleh pemerintah.
“Sebagai Menteri Keuangan, saya berterima kasih atas berbagai analisis, masukan dan bahkan kritikan yang bertujuan untuk menjaga kesehatan keuangan negara dan memperbaiki kebijakan pemerintah untuk mencapai tujuan pembangunan sesuai cita-cita kemerdekaan kita,” pungkas Menkeu seraya mengajak semua pihak untuk bersama-sama menjaga keuangan negara secara konstruktif untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat secara berkeadilan.
(IR/JL/EN/ES) MHI
Sumber:(Humas Kemenkeu)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar