HTML

HTML

Kamis, 08 Maret 2018

Muhammad Ilham : Negara Berkewajiban Lindungi Hak Tempat Tinggal Warganya !

Gambar terkait
JAKARTA , 02 Maret 2018|13:00 -Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan pengujian Undang-Undang No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (UU PBB) pada Rabu. Sidang teregistrasi dengan Nomor 3/PUU-XVI/2018 ini dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat.
Hasil gambar untuk Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan pengujian Undang-Undang No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (UU PBB)
Dalam sidang mendengarkan keterangan ahli, Pemohon menghadirkan pakar hukum tata negara Muhammad Ilham  yang menerangkan bahwa ada kewajiban pemerintah untuk melindungi hak bertempat tinggal warga negaranya. Pemerintah bertanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia untuk bertempat tinggal.  “Selain itu pemerintah dapat memberikan kemudahan atau bantuan bidang perumahan. Tidak ada suatu regulasi yang dapat menghambat seseorang untuk mendapatkan tempat tinggal itu sendiri,” kata dosen Universitas Pancasila tersebut.
Ilham juga menyoroti makna tekstual yang menjadi frasa “bertempat tinggal” yang bermakna secara konseptual yaitu memajukan kesejahteraan umum. Bahwa tujuan negara adalah membangun manusia Indonesia seutuhnya untuk kemakmuran lahir dan batin, khususnya dalam hal penyediaan tempat tinggal itu sendiri.
Dikatakan Ilham, untuk memahami makna tekstual dari bertempat tinggal dapat melihat dari tiga turunan Pasal 28 UUD 1945. Turunan pertama terhadap Undang-Undang Bangunan Gedung. “Yang kedua adalah Undang-Undang Kawasan Pemukiman. Sedangkan yang ketiga adalah Undang-Undang Rumah Susun,” ungkap Ilham.
Terkait Pajak Bumi dan Bangunan, Ilham membagi objek terkena pajak. Menurutnya, objek PBB seharusnya terpisah secara horizontal karena ada perbedaan konsep pemilikan tanah dan pemilikan bangunan. “Jadi, ada dua objek. Saya bisa saja mengalihkan bangunan saya tanpa mengalihkan tanah. Artinya, tanah saya tetap ada pada saya, sedangkan bangunannya beralih kepada orang lain yang nanti akan di bangun dengan perjanjian pemanfaatan tanah. Saya menggarisbawahi di sini bahwa objek pajaknya nanti di situ ada dua, yaitu bangunan dan gedungnya, tanah dan bangunannya,” paparnya.
Menurut Ilham, perbedaan konsep antara kepemilikan tanah dan kepemilikan bangunan, karakteristik pemungutan pajak juga harus berbeda-beda. Ia berpendapat pengenaan pajak terhadap kepemilikan tanah hanya dilakukan untuk sekali kepemilikan. Sementara untuk kepemilikan bangunan dapat dikenakan pajak setiap tahun kepemilikan.
“Maka untuk tanah, cukup sekali pembayaran pajaknya, kecuali ada peralihan hak. Yang kedua adalah bahwa bangunan, maka dia akan ada objek pajaknya untuk setiap tahunnya. Saya pikir, dua konsep ini lebih memberikan kemanfaatan bagi masyarakat dengan pengecualian untuk fungsi hunian tidak ada beban pajak yang diberikan kepadanya. Khusus untuk fungsi hunian karena untuk memberikan manfaat kepada masyarakat berpenghasilan rendah,” terangnya.
Hasil gambar untuk Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan pengujian Undang-Undang No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (UU PBB)
Permohonan yang teregistrasi dengan nomor perkara 3/PUU-XVI/2018 ini diajukan oleh Jestin Justian, Ezra Prayoga Manihuruk, Agus Prayogo, dan Nur Hasan. Pada sidang perdana, keempat Pemohon yang terdiri dari dua orang mahasiswa, seorang karyawan swasta dan seorang pensiunan ini menjelaskan kedudukan hukumnya. Jestin Justian, seorang mahasiswa mengaku mengalami kerugian karena kehilangan kesempatan memperoleh satu bidang tanah karena tidak dapat membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Pasalnya, sebagai seorang mahasiswa Jestin belum mempunyai pendapatan untuk membayar pajak tersebut.
Senada dengan Jestin, Ezra Prayoga Manihuruk yang juga masih mahasiswa menyatakan dirinya terlambat membayar uang kuliah karena orang tuanya perlu membayar kewajiban PBB terlebih dahulu sehingga dirinya kena denda dari institusi tempatnya menempa ilmu. Sementara Agus Prayogo karyawan swasta menjelaskan dirinya mengalami kerugian dalam hal menunggak pajak rumah sehingga terakumulasi suatu nominal tunggakan pajak PBB yang besar. Sedangkan Nur Hasan mengeluhkan tidak kuat membayar PBB setiap tahun yang cenderung meningkat, karena dirinya sudah pensiun sehingga tidak punya penghasilan memenuhi kewajiban untuk pajak PBB tersebut.
Hasil gambar untuk Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan pengujian Undang-Undang No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (UU PBB)
Para pemohon menguraikan, dalam UU 12/1985, alasan mempunyai suatu hak dan memperoleh manfaat dijadikan landasan dikenakannya pajak. Sehingga alasan ini sangatlah bertentangan dengan frasa bertempat tinggal yang di dalamnya menjamin adanya hak untuk memiliki dan memperoleh manfaat atas objek yang dimiliki, seperti yang diatur dalam konstitusi UUD 1945. Saat pembelian suatu objek bumi dan bangunan setiap orang atau badan sudah dikenakan BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan), maka menurut para Pemohon, seharusnya setiap tahunnya para Pemohon tidak perlu lagi memiliki kewajiban untuk membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
(ARS/LA/IR) MHI 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar



Postingan Terupdate

Sidang Perkara No. 14/PUU-XXII/2024, Ahli : Sebagian Besar Notaris Berusia 70 Tahun Masih Kompeten Menjalankan Tugas

JAKARTA, MHI – Sidang permohonan uji materiil Pasal 8 ayat (1) huruf b dan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabata...

Postingan Terkini

Pilihan Redaksi