BANDA ACEH ,27 Maret 2018 17:58:04 – Perbaikan sektor ekonomi dan demokrasi, pelayanan publik dan pembangunan infrastruktur adalah bukti keberhasilan perdamaian Aceh, yang telah berjalan 13 tahun. Namun untuk merawat perdamaian, masih ada pekerjaan besar yang harus diselesaikan. Salah satunnya adalah pengungkapan kebenaran atas kasus–kasus pelanggaran HAM di masa lalu.
Hal tersebut disampaikan oleh Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, dalam sambutan tertulisnya yang dibacakan oleh Kepala Biro Humas dan Protokol Setda Aceh, Mulyadi Nurdin, pada acara silaturrahmi dengan peserta Diskusi Dua Dekade Keadilan Transisional di Asia, di Meuligoe Gubernur Aceh, Selasa malam.
“Tahun ini masa perdamaian Aceh akan memasuki tahun ke 13. Tak bisa dipungkiri sudah banyak kemajuan yang telah kita capai. Namun, kita jangan langsung berpuas diri karena masih ada beberapa pekerjaan rumah yang harus dituntaskan untuk merawat perdamaian ini. Salah satunnya adalah pengungkapan kebenaran atas kasus pelanggaran HAM masa lalu,” ujar Gubernur.
Gubernur menambahkan, dalam sebuah proses transisi keadilan, pengungkapan kebenaran ini adalah sebuah hal yang mutlak karena sejarah akan terus berjalan berdasarkan logika waktu dan alamiah. Dalam perjalanan sejarah itu, ada potensi untuk terjadinya pengulangan atas peristiwa yang terjadi di masa lalu kalau masalah tersebut tidak dituntaskan dengan seadil-adilnya.
“Oleh sebab itu membongkar masa lalu merupakan sebuah keniscayaan untuk menjaga dan merawat masa depan yang lebih baik. Dengan memahami masa lalu, kita semakin berhati-hati melangkah ke depan demi menjaga agar sejarah buruk itu tidak terulang kembali,” sambung Irwandi.
Meski demikian, dalam konteks pengungkapan kasus pelanggaran masa lalu, Aceh masih harus banyak belajar dari beberapa negara lain dan dari para akademisi yang berpengalaman dalam kerja-kerja demokrasi di berbagai negara.
“Benar bahwa di Aceh telah hadir Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang bertugas mengungkap kebenaran di masa lalu. Meski demikian KKR Aceh sama sekali belum berpengalaman dalam melakukan tugas-tugas ini,” imbuh Gubernur.
Di samping itu, sambung Gubernur, berbagai tantangan lain juga banyak dihadapi para petugas KKR Aceh, antara lain, daya ingat masyarakat yang lemah, pengungkapan bukti, dan proses klarifikasi fakta.
“Namun semua itu tidak boleh membuat KKR Aceh menyerah. Lembaga ini harus terus bekerja secara maksimal, sehingga tugas dan tanggungjawabnya dapat dijalankan dengan baik, sehingga hasilnya mampu memberikan rasa keadilan kepada masyarakat.”
Gubernur menyadari, bahwa tugas dan tanggungjawab Komisioner KKR Aceh sangat berat, sebab isu yang ditanganinya merupakan isu yang sangat sensitif di masyarakat. Apalagi kasus-kasus pelanggaran HAM ini sangat erat kaitannya dengan hukum dan keadilan.
Oleh sebab itu, Gubernur mengajak semua pihak untuk terus memberikan dukungan kepada KKR Aceh agar lembaga ini dapat bekerja dengan baik. Selain itu, partisipasi para pegiat demokrasi Aceh dan dukungan dari seluruh pegiat demokrasi dan HAM terhadap KKR Aceh tentu akan disambut dengan tangan terbuka.
“Kita juga cukup bangga, sebab banyak negara lain yang menjadikan Aceh sebagai model perdamaian yang layak mereka adopsi. Mereka telah berkunjung ke Aceh dan mempelajari setiap tahap perdamaian yang berlangsung di daerah ini,” tambah Gubernur.
Sebagaimana diketahui, banyak negara-negara yang saat ini sedang berkonflik datang dan belajar konsep perdamaian Aceh. selain itu, Banyak pula peneliti asing yang menjadikan Aceh sebagai laboratorium untuk mempel ajari cara-cara penyelesaian konflik yang damai.
“Semoga berbagai kegiatan ilmiah, dan pertukaran pengalaman yang telah berlangsung selama ini dapat mendorong semangat KKR Aceh, sehingga upaya pengungkapan kebenaran sebagai bagian dari sistem Keadilan Transisi dapat berjalan baik, sehingga perdamaian Aceh dapat kita andalkan sebagai model bagi perdamaian dunia,” pungkas Gubernur Aceh.
Untuk diketahui bersama, puluhan praktisi, akademisi dan para komisioner Komisi Keadilan Transisi atau Komisi Kebenaran di tingkat regional yang terdiri atas Filipina, Thailand, Sri Lanka, Nepal, Kamboja, Bangladesh, Myanmar, Timor Leste dan Indonesia yang tergabung dalam Transitional Justice Asia Network berkumpul di Aceh untuk berbagi pengalaman.
Dalam pertemuan silaturrahmi ini, para peserta juga menggelar diskusi dengan juru runding Gerakan Aceh Merdeka, Bahtiar Abdullah dan Munawar Liza Zainal. Kegiatan ini diprakarsai oleh Asia Justice and Rights (AJAR), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh dan LBH Banda Aceh.
(Ngah/Cut) MHI
Sumber :Puspen Kemendagri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar