JAKARTA , 23 Maret 2018 – Pensiunan pegawai negeri sipil Abas Tasimin bersama dua Pemohon lainnya mengajukan permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (UU PBB). Sidang perdana perkara Nomor 19/PUU-XVI/2018 tersebut digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu siang.
Pemohon mempersoalkan Pasal 6 ayat (1) UU PBB mengenai dasar pengenaan pajak adalah nilai jual objek pajak dan Pasal 6 ayat (2) UU a quo mengenai besarnya nilai jual objek pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan setiap 3 tahun oleh Menteri Keuangan, kecuali untuk daerah tertentu ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan daerahnya.
“Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan tahun 2014 yang bervariasi dari 57,7% sampai 350% sesuai data yang disajikan tersebut, (II) telah mengganggu kehidupan lahir batin Pemohon karena merasa berat untuk membayar tagihan Pajak Bumi dan Bangunan tahun 2014. Oleh karena itu, kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan tahun 2014 tersebut bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945,” kata Abas Tasimin.
Sebagai bukti keresahan akibat kenaikan pajak, ungkap Abas, masyarakat lingkungan Kelurahan Cempaka Putih Timur, Kecamatan Cempaka Putih telah mengirim Surat No. 008/RW01 – 08/Pajak/VIII/2014 tanggal 21 Agustus 2014 kepada Gubernur dan Ketua DPRD DKI Jakarta. Pemohon menilai keputusan menaikkan tarif pajak, kemudian bangunan tahun 2014 untuk bumi dan bangunan yang tidak dijual oleh pemiliknya atas dasar perkiraan nilai jual objek pajak bertentangan dengan pertimbangan huruf a dan huruf b UU PBB karena tidak sesuai dengan kemampuan pemilik. Kemampuan pemilik hanya pada saat nilai perolehan awal objek pajak dan pemilik pada 2014, pun pemilik tidak menerima manfaat dan kenikmatan berupa uang yang sebagian bisa diserahkan kepada negara sebagai Pajak Bumi dan Bangunan.
Abas pun menuturkan Forum Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) Kelurahan Cempaka Putih Timur, Kecamatan Cempaka Putih, Jakarta Pusat mengirim Surat No. 005/RT RW CPT/12/2016 kepada Soni Soemarsono selaku Plt. Gubernur DKI Jakarta pada 2016. Surat tersebut berisi permohonan penurunan tarif PBB tahun 2014, 2015, 2016 yang besarnya 3 kali lipat besarnya PBB tahun 2013.
“Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, menurut Pemohon terdapat kerugian hak konstitusional Pemohon dengan berlakunya Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan. Dengan demikian, Pemohon memenuhi syarat kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo,” urai Abas.
Ubah Kedudukan Hukum
Terhadap dalil-dalil yang disampaikan Pemohon, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams selaku Ketua Panel menyoroti kedudukan hukum Pemohon, disebutkan permohonan bertindak perorangan. “Ternyata bukan mewakili kelompok orang yang disebut Forum RT dan RW Masyarakat Lingkungan Kelurahan Cempaka Putih Timur, Kecamatan Cempaka Putih,” kata Wahiduddin.
Kemudian Wahiduddin mencermati sistematika Permohonan yang belum tersusun dengan baik. “Sebetulnya bisa dilihat saja nanti format penulisan permohonan di website Mahkamah Konstitusi ya Pak. Selain itu dalil Pemohon yang mengaitkan pembayaran pajak dengan hak hidup sejahtera lahir dan batin, itu nanti coba dielaborasi,” ucap Wahiduddin.
Sementara itu, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menyoroti pokok permohonan Pemohon mengenai penghitungan pajak. Menurutnya, hal tersebut bukanlah terkait masalah konstitusionalitas norma. “Berarti cara penghitungan itu yang Bapak persoalkan? Kalau cara penghitungannya itu yang dipersoalkan, maka persoalannya ini menjadi persoalan penerapan undang-undang. Karena hak negara untuk memungut pajak tetap ada, hanya saja cara berhitungnya kenapa begini? Jadi, persoalannya adalah bukan soal pertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945,” ujar Palguna.
Untuk itu, Palguna meminta agar Pemohon lebih menguraikan kerugian konstitusional terkait keberlakuan pasal yang diujikan. “Kalau Bapak tetap bertahan pada anggapan bahwa pengaturan norma yang demikian itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, harus ada uraian yang lebih banyak dari ini, Pak. Mengapa bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945? Nah, itu tidak cukup hanya sumir seperti ini, enggak cukup,” tandas Palguna.
Ahli: Pengenaan Pajak Bumi Bangunan Cukup Sekali
Sedangkan Pada Sidang terkait Sebelumnya menurut Keterangan ahli ” Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) seharusnya cukup sekali pada saat membeli membeli tanah untuk keperluan rumah tinggal atau rumah tinggal untuk kepemilikan. Jika PBB ditagih setiap tahun, maka menghilangkan hak rakyat secara utuh atas tanah yang dimilikinya sebagai warga negara yang dilindungi oleh Undang-Undang Dasar Tahun 1945″, Demikian disampaikan pakar hukum agraria Aartje Tehupeiory selaku ahli Pemohon pada sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (UU PBB) yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa .
Selain itu, dalam keterangannya, Aatje memaparkan perlu adanya pengecualian pengenaan PBB untuk bangunan yang dipergunakan sebagai tempat tinggal. Hal ini dilakukan untuk menjamin hak warga negara.
“Memberikan pengecualian tentang objek pajak yang tidak dikenakan pajak bumi dan bangunan adalah objek pajak yang digunakan untuk rumah tinggal atau bertempat tinggal yang wajar sehingga memudahkan bagi masyarakat untuk memperoleh hak atas tanah melalui kantor wilayah pertanahan di mana rumah tinggal itu berada untuk menjamin kepastian hukum dan kepastian haknya serta memberikan manfaat kepada masyarakat tersebut,” ujar Aartje di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati.
Aartje juga menerangkan mengenai esensi Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) UU PBB yang menurutnya merupakan jaminan akses negara bagi rakyatnya untuk mendapat tempat tinggal. “Esensi pengujian pasal-pasal tersebut mengenai jaminan terhadap akses untuk bertempat tinggal sangat erat kaitannya dengan hak asasi manusia. Secara implisit UUD 1945 mengakui hak bertempat tinggal sebagai hal yang bersifat asasi,” terang Aartje dalam sidang perkara Nomor 3/PUU-XVI/2018 tersebut.
Selain itu, Aartje menambahkan hak yang bersifat asasi merupakan hak yang harus ada pada setiap orang untuk dapat hidup secara wajar sebagai individu yang sekaligus juga sebagai anggota masyarakat, selaras dengan harkat dan martabatnya sebagai pribadi yang terhormat. “Dengan demikian hak yang bersifat asasi ialah hak yang dipunyai setiap orang yang pada hakikatnya tidak boleh diganggu gugat oleh siapa pun dengan alasan apa pun,” tegas Aartje.
Hal itulah, ujar Aartje, menunjukkan bahwa UUD 1945 yang mengatur tentang perlindungan hak untuk bertempat tinggal ternyata terabaikan. Oleh karena itu diperlukan perlindungan hak untuk setiap orang mengenai hak dan kewajibannya sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) bahwa kepentingan umum dan kepentingan perseorangan harus saling mengimbangi dan memperhatikan asas-asas yang berlaku mengenai penguasaan dan pemilikan tanah serta perlindungan yang diberikan oleh hukum tanah nasional kepada para pemegang hak tanah dan rumah tinggal.
“Berdasarkan asas tersebut dapat saja diwajibkan setiap individu membayar pajak menurut ketentuan yang berlaku. Misalnya pada saat membeli tanah untuk keperluan rumah tinggal dikenakan pajak bumi. Sedangkan pajak bangunan pemberlakuannya untuk warga yang menghuni rumahnya sendiri,” papar Aartje.
Biayai Pembangunan
Sementara itu, DPR yang diwakili oleh Anggota Komisi III Arteria menjelaskan UU PBB merupakan bentuk pelaksanaan ketentuan Pasal 23A UUD 1945 dan telah sesuai dengan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Ia menyebut bahwa pajak merupakan salah satu sumber pendanaan pembangunan. Jika sumber pendanaan tersebut tidak tersedia, maka pembangunan tidak dapat atau sulit untuk dijalankan.
“Kesulitan pendanaan pembangunan akan mengakibatkan upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat sulit diwujudkan. Oleh karena itu, wajar apabila kepada wajib pajak diwajibkan memberikan sebagian dari manfaat yang diperolehnya kepada negara melalui pajak. Pemenuhan pajak yang disampaikan juga merupakan perwujudan peran serta dan kegotongroyongan masyarakat di bidang pembiayaan pembangunan nasional,” paparnya.
Arteria juga menyebut pembayaran pajak bumi dan bangunan merupakan salah satu sarana perwujudan kegotongroyongan nasional dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Sehingga, lanjutnya, dalam pengenaannya harus memperhatikan prinsip kepastian hukum, keadilan, dan kesederhanaan serta ditunjang oleh sistem administrasi perpajakan yang memudahkan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban pembayaran perpajakan.
Permohonan yang teregistrasi dengan nomor perkara 3/PUU-XVI/2018 ini diajukan oleh Jestin Justian, Ezra Prayoga Manihuruk, Agus Prayogo, dan Nur Hasan. Pemohon merasa berkeberatan dengan kewajiban pembayaran pajak bumi dan bangunan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) UU PBB. Menurut Pemohon, pasal a quo bertentangan dengan frasa ‘bertempat tinggal’ sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 UUD 1945. Dari sini, pihaknya meminta pasal tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dan dibatalkan MK.
(NTA/LA/JL) MHI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar