HTML

HTML

Jumat, 09 Februari 2018

Sejumlah Advokat Uji Materiil UU Tipikor KeMK Terkait Penahanan Frederich Yunadi Oleh KPK

lika-liku-fredrich-yunadi-di-pusaran-megakorupsi-e-ktp-FuLJxeJWr5
JAKARTA , 05 Februari 2018, 18:50 – Berkaca terhadap penahanan Frederich Yunadi yang berprofesi sebagai advokat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sejumlah advokat mengajukan uji materiil Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), Senin .
Perkara tersebut terbagi menjadi dua permohonan, yakni Perkara Nomor 7/PUU-XVI/2018 yang dimohonkan Khaeruddin serta Barisan Advokat Bersatu yang merupakan Pemohon Nomor 8/PUU-XVI/2018. Sidang pendahuluan yang digelar di Ruang Sidang Pleno MK dipimpin oleh Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna didampingi Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Aswanto.
Para Pemohon menilai Pasal 21 UU Tipikor yang digunakan KPK dalam menetapkan Frederich Yunadi sebagai Tersangka berpotensi menghalangi hak konstitusionalnya. Pasal 21 UU Tipikor tersebut berbunyi, “Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)”.
Dalam permohonan Nomor 7/PUU-XVI/2018 tersebut, Khaeruddin menegaskan UU Tipikor tersebut tidak memiliki tolok ukur dan multitafsir. Hal ini dikarenakan tidak adanya keseragaman pemaknaan yang jelas lagi pasti terkait tolok ukur seorang advokat dalam melakukan pembelaan kepada klien, khususnya terhadap proses penyidikan yang sedang berjalan.
“Dengan ketiadaan tolok ukur yang jelas tersebut, menyebabkan advokat dalam membela kliennya sewaktu-waktu dapat dianggap dan diduga melakukan perbuatan mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung sehingga pasal a quo merupakan norma yang tidak memiliki kepastian hukum dan dalam waktu yang bersamaan bertentangan pula dengan UUD 1945,” jelas Khaeruddin.
Pasal a quo, lanjut Khaeruddin, membuat profesi advokat terbelengggu guna menegakkan hukum dan keadilan kendati memiliki niat yang mulia untuk menegakkan hukum dan keadilan. “Akan tetapi, niatan mulia yang dimaksud dianggap sebagai tindakan yang menghalangi, merintangi, atau bahkan dianggap sebagai tindakan yang menggagalkan secara langsung atau tidak langsung terhadap proses hukum yang sedang berlangsung,” terang Khaeruddin.
Khaeruddin menambahkan bahwa advokat memiliki hak imunitas tersebut yang juga diatur dalam Pasal 11 UU Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum. Namun demikian, dengan adanya hak tersebut tidak serta merta berarti advokat kebal hukum. Karena apabila advokat melakukan pelanggaran, setidaknya ada proses hukum dari Dewan Kehormatan untuk menentukan benar atau tidaknya pelanggaran yang ditujukan kepada advokat yang bersangkutan. Selain itu, Khaeruddin juga menilai pasal a quo bersifat subjektif yang sangat kontras apabila didasarkan atas suka tidak sukanya penegak hukum kepada advokat yang membela klien dalam hubungan sebagai kuasa hukum. “Bahwa tidak jelasnya ketentuan pasal a quo mengakibatkan pasal tersebut bertentangan dengan prinsip negara hukum,” tegas Khaeruddin.
Merintangi Tugas Advokat
Sementara itu, Para Pemohon perkara Nomor 8/PUU-XVI/2018 melalui Victor Santoso Tandiasa selaku kuasa hukum menyampaikan Pasal 21 UU Tipikor dan Pasal 221 ayat (1) angka 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 29D ayat (1) dan(2), serta Pasal 28G UUD 1945.
Pasal 221 ayat (1) angka 2 KUHP menyatakan,”Barang siapa setelah dilakukan suatu kejahatan dan dengan maksud untuk menutupinya, atau untuk menghalang-halangi atau mempersukar penyidikan atau penuntutannya, menghancurkan, menghilangkan, menyembunyikan benda-benda terhadap mana atau dengan mana kejahatan dilakukan atau bekas-bekas kejahatan lainnya, atau menariknya dari pemeriksaan yang dilakukan oleh pejabat kehakiman atau kepolisian maupun oleh orang llian, yang menurut ketentuan undang-undang terus-menerus atau untuk sementara diserahi menjalankan jabatankepolisian.”
Gambar terkait
Menurut Victor, pasal a quo telah bertentangan secara bersyarat terhadap UUD 1945 karena Indonesia sebagai negara hukum  yang bertujuan mewujudkan tata kehidupan yang aman, tertib, dan berkeadilan. Kemudian kekuasaan kehakiman yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab tersebut memerlukan advokat yang mandiri, bebas, dan bertanggung jawab menegakkan hukum perlu dijamin dan dilindungi oleh UU demi terselenggaranya upaya penegakan supremasi hukum. Terhadap profesi advokat, Victor menyebutkan hal tersebut juga telah secara tegas disampaikan dalam Pasal 5 ayat (1) UU Advokat serta Pasal 16 UU Advokat.
Namun, berdasarkan ketentuan pasal a quo mengakibatkan penafsiran subjektif oleh penegak hukum untuk dapat merintangi atau menggagalkan, baik secara langsung atau tidak langsung tugas seorang advokat dalam menjalankan tugasnya melakukan pembelaan terhadap klien. “Apabila dalam menjalankan tugas profesinya seorang advokat ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh Polisi/Jaksa, maka advokat tidak dapat lagi menjalankan tugasnya dalam membela kliennya,” jelas Victor.
Gambar terkait
Menurut Victor, ketentuan norma pasal a quo juga dapat digunakan kepada advokat yang sedang dalam menjalankan tugasnya, namun tidak pada polisi, jaksa, maupun hakim. “Sehingga dengan adanya perlakuan yang berbeda bentuk diskriminasi hukum yang timbul akibat adanya ketentuan norma pasal a quo jelas bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945,” urai Victor.
Nasihat Hakim
Hasil gambar untuk Hakim Konstitusi Palguna
Terhadap permohonan kedua perkara, Hakim Konstitusi Palguna memberikan catatan perlunya Pemohon Perkara 7/PUU-XVI/2018 untuk memperkuat dasar pada petitum yang menginginkan pasal a quo inkonstitusional. “Saudara mengaitkan dengan proses etik dengan hukum, ini dua hal yang terpisah. Norma etik dan hukum itu hal berbeda. Jadi, dasar petitum inkonstitusional bersyaratnya belum terlihat dasar dalilnya,” jelas Palguna.
Sedangkan terhadap Pemohon Perkara 8/PUU-XVI/2018, Palguna meminta argumentasi yang menguatkan dalil Pemohon yang seolah kontradiktif sehingga perlu dibangun penjelasan yang pasti. “Pasal 21 UU Tipikor dan Pasal 221 ayat (1) angka 2 KUHP, itu ketentuan yang berlaku umum dan bagi seluruh warga negara serta tidak ada kecualinya termasuk bagi advokat. Namun di sini terlihat adanya harapan akan adanya perlakuan khusus bagi advokat dan ada pula dalil diskriminasi. Itu bagaimana penjelasannya? Argumentasinya kenapa minta pengecualian tetapi juga menyampaikan diskriminasi?,” terang Palguna.
Hasil gambar untuk Hakim Konstitusi Aswanto
Hakim Konstitusi Aswanto terhadap Pemohon Perkara 7 meminta agar Pemohon perlu menguraikan keberadaan Dewan Etik beserta tugas-tugasnya sehingga pernyataan adanya Dewan Etik tidak serta merta hadir atau dibunyikan dalam Petitum.
suha.jpg1
Selanjutnya, Hakim Konstitusi Suhartoyo mengapresiasi semangat para Pemohon yang memajukan perkara terkait UU Tipikor dan juga meminta agar Pemohon menegaskan argumentasi mengenai hak imunitas advokat yang dimaksudkan Pemohon dalam permohonannya. “Pasal 16 untuk Advokat terbatas pada advokat melakukan pembelaan klien di dalam pengadilan. Jadi, imunitas itu hanya ada di dalam pengadilan. Meskipun dengan UU bantuan hukum diperluas menjadi, baik di dalam pengadilan maupun di luar. Argumentasi itu dibangun dan cermati lagi, definisi itikad baik itu seperti apa dari yang dimaksudkan itu,” jelas Suhartoyo.
Sebelum mengakhiri persidangan, Palguna mengingatkan bahwa para Pemohon diberikan waktu hingga Senin, 19 Februari 2018 pukul 13.00 WIB untuk memperbaiki permohonan, untuk kemudian diagendakan sidang berikutnya oleh Kepaniteraan MK.
(SP/LA/IR) MHI 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar



Postingan Terupdate

Sidang Perkara No. 14/PUU-XXII/2024, Ahli : Sebagian Besar Notaris Berusia 70 Tahun Masih Kompeten Menjalankan Tugas

JAKARTA, MHI – Sidang permohonan uji materiil Pasal 8 ayat (1) huruf b dan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabata...

Postingan Terkini

Pilihan Redaksi