HTML

HTML

Rabu, 07 Februari 2018

Rangkaian MK Gelar Sidang UU No 1 Th 1965 Tentang Penodaan Agama

Abdul Chair Ramadhan selaku Ahli Pihak Dewan Dakwah Islamiyah dalam sidang lanjutan uji materi UU tentang Penodaan Agama, Rabu (31/1) di Ruang Sidang MK.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan, dan/atau Penodaan Agama (UU Penodaan Agama) ditinjau secara filosofis tidaklah bertentangan, bahkan selaras dan sejalan dengan cita-cita hukum dalam Konstitusi.  Hal ini disampaikan Abdul Chair Ramadhan selaku Ahli Pihak Terkait dalam sidang ke-13 Perkara Nomor 56/PUU-XV/2017 yang digelar pada Rabu di Ruang Sidang Pleno MK.
Sebagai Ahli Dewan Dakwah Islamiyah, Abdul menyebut dalam rangka perlindungan terhadap ajaran agama, maka negara memerlukan tindakan atau penetapan terhadap perbuatan yang menyerang kepentingan agama. Oleh karena itu, lanjutnya, negara menetapkan sejumlah norma yang berlaku dalam hukum pidana (ius punale) dan hak untuk memidana (ius puniendi) sebagai bentuk penanganan suatu tindak pidana yang terjadi dalam masyarakat.
Selain itu,  Pakar Hukum Pidana tersebut menjelaskan bahwa perbuatan penyalahgunaan agama sebagaimana dilakukan oleh Ahmadiyah, secara sadar kepastian (dolus directus), dapat menimbulkan perbuatan penodaan terhadap agama. Ketika terjadi penodaan agama, lanjut Abdul, maka derajat penanganannya yang dilakukan adalah berbeda dengan penyalahgunaan agama. Oleh karena itu, diperlukan adanya suatu peringatan keras dalam bentuk SKB terhadap penyalahgunaan agama sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 1 UU Penodaan Agama.
\\”Perlu dimengerti istilah penyalahgunaan agama ini adalah dimaksudkan untuk kodifikasi keberlakuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 untuk kemudian dimasukkan dalam KUHP menjadi Pasal 156A tepatnya pada huruf a. Dengan demikian, penyisipan Pasal 4 Undang-Undang PNPS ini adalah dalam rangka mempertemukan antara pasal sebelumnya, yaitu Pasal 156 dan Pasal 157. Dan sesuai dengan judulnya ada frasa pencegahan, penyalahgunaan, dan/atau penodaan agama. Dengan demikian, penyalahgunaan dapat menimbulkan penodaan, tetapi penodaan dapat berdiri sendiri,\\” tegasnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat tersebut.

UU Penodaan Agama, Bentuk Perlindungan Negara Terhadap Agama

Maneger Nasution selaku Ahli yang dihadirkan MUI dalam persidangan perkara pengujian UU Penodaan Agama, Rabu (23/1) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK.
Setiap orang berhak beragama, tetapi setiap agama berhak memeroleh perlindungan dari negara, dari segala macam bentuk penyimpangan dan penodaan. Hal ini disampaikan oleh Maneger Nasution selaku Ahli yang dihadirkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam sidang lanjutan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan, dan/atau Penodaan Agama (UU Penodaan Agama). Sidang kedua belas Perkara Nomor 56/PUU-XV/2017 ini digelar Rabu .
Sebagai Ahli Pihak Terkait, Maneger menjelaskan negara tetap harus hadir guna mencegah adanya penodaan maupun penyimpangan terhadap sebuah agama. Menurutnya, UU Penodaan Agama merupakan bentuk kehadiran negara untuk mengatur relasi antarumat beragama di Indonesia. Ia juga memaparkan terkait hak asasi manusia dalam beragama tetap harus diatur dalam sebuah undang-undang.
“Jika negara tidak hadir ketika terjadi relasi yang tidak baik, maka tentu akan lebih bagus ada undang-undang daripada tidak ada undang-undang. Menurut hemat saya, rezim HAM di Indonesia, itu rezim HAM yang memang tidak mutlak, tetapi ia bisa dibatasi dengan undang-undang,” jelas Mantan Anggota Komnas HAM periode 2012 – 2017 tersebut.
Maneger juga menyebut jika negara membiarkan adanya penodaan dan penyimpangan terhadap sebuah agama, hal ini akan berdampak pada moralitas masyarakat. Oleh karena itu, lanjutnya, negara wajib hadir melalui keberadaan UU Penodaan Agama.
“Negara harus hadir. Karena kalau itu dibiarkan, justru merusak moralitas publik. Kalau negara tidak hadir, negara bisa dituntut sebagai negara yang tidak hadir atau melakukan apa yang disebut dengan by omission, membiarkan terjadi kerusakan moralitas publik,” ujar Maneger dalam sidang yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Anwar Usman tersebut.

Hak Konstitusional Terlanggar Oleh SKB 3 Menteri 

Hasil gambar untuk SKB 3 Menteri Terhadap Ahmadiyah Langgar Hak Warga Negara
Sebelumnya, para Pemohon yang merupakan penganut Ahmadiyah mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 UU Penodaan Agama. Menurut Para Pemohon, Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat (SKB 3 Menteri) yang disusun berdasarkan ketiga pasal tersebut merugikan Para Pemohon. SKB 3 Menteri tersebut menetapkan bahwa Ahmadiyah merupakan aliran sesat.
Hasil gambar untuk SKB 3 Menteri Terhadap Ahmadiyah Langgar Hak Warga Negara
Para Pemohon terdampak langsung, terbelenggu, dan terkekang bahkan ditindas hak untuk beragama maupun hak untuk melaksanakan ibadah karena SKB 3 Menteri. Banyak efek domino dirasakan dalam kehidupan penganut Ahmadiyah, di antaranya Para Pemohon tidak dapat beribadah di masjid yang dibangunnya karena pembakaran dan penyegelan, pencatatan pernikahan di KUA, hingga pengusiran Para Pemohon dari lokasi tempat tinggal.
Hasil gambar untuk Ahli: UU Penodaan Agama, Bentuk Perlindungan Negara Terhadap Agama
Untuk itu, Para Pemohon meminta Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 UU Penodaan Agama dinyatakan secara konstitusionalitas bersyarat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, khususnya Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan (2), Pasal 28I ayat (2), Pasal 28G ayat (1), Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai, dipersangkakan terhadap warga negara di komunitas Ahmadiyah yang hanya beribadah di tempat ibadahnya secara internal dan tidak di muka umum.

Berlakunya UU Penodaan Agama Akibatkan Penelantaran Agama Minoritas

Hasil gambar untuk Berlakunya UU Penodaan Agama Akibatkan Penelantaran Agama Minoritas
Akibat berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan, dan/atau Penodaan Agama (UU Penodaan Agama) telah terjadi eksklusi, diskriminasi, dan penelantaran atas agama minoritas. Hal ini disampaikan oleh Agus Sudibyo selaku Ahli Pihak Terkait dalam sidang uji materiil UU Penodaan Agama yang diajukan oleh Komunitas Ahmadiyah. Sidang kesebelas Perkara Nomor 56/PUU-XV/2017 tersebut digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (17/1) di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam keterangannya sebagai Ahli yang dihadirkan Komnas Perempuan, Agus menyebut meski UU Penodaan Agama tidak dimaksudkan untuk mengeksklusi atau menelantarkan kelompok minoritas, namun fakta menunjukkan terdapat dampak yang timbul dari pemberlakuan UU tersebut. “Peraturan tersebut berdampak pada peniadaan atau pembatasan hak konstitusional warga minoritas yang terkait dengan hak untuk beragama dan menjalankan kepercayaan masing-masing, hak untuk terbebas dari kekerasan dan ketakutan, hak untuk mempertahankan hidup dan kehidupan, hak atas perlindungan pribadi dan keluarga, hak untuk terbebas dari perlakuan diskriminatif, dan lain-lain,” terang Ketua Presidium Jaringan Wartawan Anti-Hoax (JAWAH) tersebut.
Menurut Agus, peninjauan kembali UU Penodaan Agama melalui judicial review seperti yang dilakukan para Pemohon, merupakan langkah penting untuk merehabilitasi hak dan rasa keadilan warga minoritas yang telah terdampak oleh pemberlakuan undang-undang tersebut.
Peninjauan kembali, lanjutnya, juga mendesak untuk menginklusi kembali posisi kelompok minoritas sebagai bagian dari warga negara Indonesia tanpa hierarki dan diskriminasi. Tidak Sejalan UUD 1945 Sementara itu, Ahli Pihak Terkait lainnya, yakni Muktiono menyebut UU Penodaan Agama tidak sejalan dengan maksud dan arti dari Ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang membolehkan agama sebagai dasar atau alasan untuk membentuk hukum sebagai instrumen pembatasan suatu hak. Menurut Muktiono, ajaran agama yang dijadikan dasar atau sumber acuan bagi pengaturan pembatasan harusnya bersifat inklusif atau terbuka.
Hal ini agar aturan tersebut dapat secara adil mengakomodasi nilai atau ajaran agama dari komunitas agama yang beragam dan tidak bias relasi kuasa atau power relations. “Pada kenyataannya, UU P3A (UU Penodaan Agama) dengan kategorisasi agama dan politik hukum pengakuan resmi negara, dengan sendirinya mempunyai karakter yang eksklusif yang berakibat pada terpinggirkannya prinsip kesetaraan di hadapan hukum dan pemerintahan sebagaimana diatur di dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) Konstitusi (UUD 1945),” paparnya.

Kelompok Minoritas Rentan Diskriminasi

Kelompok minoritas seperti Ahmadiyah rentan mengalami diskriminasi dalam pelayanan publik. Hal ini disampaikan oleh Anggota Ombudsman Ahmad Suaedy selaku Ahli Pihak Terkait dalam sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (UU Penodaan Agama) yang diajukan oleh Komunitas Ahmadiyah. Sidang kesepuluh Perkara Nomor 56/PUU-XV/2017 tersebut digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (10/1) di Ruang Sidang MK.
Hasil gambar untuk Anggota Ombudsman Ahmad Suaedy selaku Ahli Pihak Terkait dalam sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965
Suaedy yang dihadirkan oleh Komnas Perempuan menerangkan diskriminasi tersebut terjadi akibat multitafsir terhadap suatu undang-undang. Ketiadaan pembatasan pengertian yang jelas dan spesifik di dalam undang-undang tersebut diungkap Suaedy sebagai pemicu multitafsir tersebut. Menurut Suaedy, seharusnya kesetaraan dalam pelayanan publik harus didasarkan pada amanah Undang-Undang Dasar Tahun 1945. “Pelayanan publik dalam suatu negara merdeka, berdaulat, dan demokrasi seperti Indonesia tidak bisa dikecualikan hanya karena minoritas yang berbeda dengan mayoritas,” ujarnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat tersebut.
Kemudian Suaedy menegaskan perlunya Pemerintah melindungi pihak yang lemah dan membatasi pihak yang menyerang agar tidak terjadi kekerasan. Apalagi, lanjutnya, Pemerintah harus memberikan pelayanan kepada semua rakyat Indonesia tanpa pandang bulu, sebagai mandat konstitusi. “Dalam banyak kasus, aksi kekerasan, penyegelan masjid Ahmadiyah misalnya, dilakukan bukan hanya oleh sekelompok orang yang tidak setuju dan beda pendapat dengan Ahmadiyah, melainkan oleh aparat pemerintah, seperti Satpol PP. Tentu mereka atas Pemerintah pemimpin di atasnya. Maka, Pemerintah perlu ada UU yang tidak bisa ditafsir meluas untuk melakukan perlindungan terhadap Ahmadiyah dan kelompok lemah yang lain,” paparnya.

Penodaan Agama Merupakan Persoalan Serius

Hasil gambar untuk Ahli: UU Penodaan Agama, Bentuk Perlindungan Negara Terhadap Agama
Adanya Undang-Undang PNPS Nomor 1 Tahun 1965 tentang pencegahan, penyalahgunaan, dan/atau penodaan agama hendaklah dipahami bahwa tindakan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama merupakan persoalan yang serius. Demikian disampaikan oleh M. Ridwan Lubis selaku Ahli Pemerintah dalam sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (UU Penodaan Agama) yang diajukan oleh Komunitas Ahmadiyah. Sidang kesembilan Perkara Nomor 56/PUU-XV/2017 digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (19/12) di Ruang Sidang MK.
Hasil gambar untuk Ahli Pemerintah: Penodaan Agama Merupakan Persoalan Serius
Ridwan menjelaskan UU Penodaan Agama tetap diperlukan guna memelihara kesatuan kebijakan nasional dalam menangani adanya penyimpangan terhadap makna luhur dari kebebasan beragama. Sebagai upaya memelihara kerukunan nasional dan ketinggian martabat umat manusia, maka keberadaan UU Penodaan Agama perlu lebih dipertegas lagi dengan merumuskan ketentuan yang lebih konkret tentang makna penyalahgunaan dan/atau penodaan agama.
“Sehingga aparatur Pemerintah dan masyarakat memiliki kriteria yang terukur agar tidak menimbulkan sikap yang multitafsir,” jelasnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat tersebut.
Menurut Ridwan, adanya UU Penodaan Agama tidak mempunyai korelasi dengan pembatasan kebebasan beragama. Hal ini karena kebebasan beragama termasuk memilih dan menghayati suatu keyakinan agama adalah hak setiap orang yang dijamin oleh undang-undang. Oleh karena itu, lanjutnya, ketika seorang berbicara terhadap dirinya berkenaan dengan penghayatan keyakinan agamanya, maka hal tersebut telah hak asasi yang dijamin oleh perundang-undangan.
“Namun, ketika kebebasan personal itu dibawa dirinya, maka pada saat itu telah terjadinya pembatasan agar tetap terpilihara kerukunan dan ketertiban masyarakat agar tidak bersinggungan dengan kebebasan yang juga dimiliki oleh orang lain. Dengan demikian, Undang-Undang PNPS Nomor 1 Tahun 1965 semata-mata hanya berbicara tentang tata laku ketika seorang berbicara dengan orang lain di luar dirinya,” tegas Guru Besar Ilmu Perbandingan Agama UIN Syarif Hidayatullah. Para Pemohon terdampak langsung, terbelenggu, dan terkekang bahkan ditindas hak untuk beragama maupun hak untuk melaksanakan ibadah karena SKB 3 Menteri.
Banyak efek domino dirasakan dalam kehidupan penganut Ahmadiyah, di antaranya Para Pemohon tidak dapat beribadah di masjid yang dibangunnya karena pembakaran dan penyegelan, pencatatan pernikahan di KUA, hingga pengusiran Para Pemohon dari lokasi tempat tinggal. Untuk itu, Para Pemohon meminta Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 UU Penodaan Agama dinyatakan secara konstitusionalitas bersyarat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, khususnya Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan (2), Pasal 28I ayat (2), Pasal 28G ayat (1), Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai, dipersangkakan terhadap warga negara di komunitas Ahmadiyah yang hanya beribadah di tempat ibadahnya secara internal dan tidak di muka umum.
(LA/IR) MHI 
Sumber:Mahkamah Konstitusi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar



Postingan Terupdate

Sidang Perkara No. 14/PUU-XXII/2024, Ahli : Sebagian Besar Notaris Berusia 70 Tahun Masih Kompeten Menjalankan Tugas

JAKARTA, MHI – Sidang permohonan uji materiil Pasal 8 ayat (1) huruf b dan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabata...

Postingan Terkini

Pilihan Redaksi