JAKARTA ,01 Feb 2018 -Keberadaan taksi aplikasi berbasis teknologi yang masih belum memiliki landasan hukum dinilai tidak memberikan kepastian. Hal ini disampaikan Muhammad Rullyandi dalam sidang lanjutan pengujian Pasal 151 huruf a UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ).
Dijelaskan Rullyandi selaku Ahli Pemohon, keberadaan taksi aplikasi berbasis online tumbuh secara masif di beberapa daerah di seluruh Indonesia. Hal ini memerlukan instrumen peraturan yang berlaku dalam lingkup nasional melalui undang-undang untuk mengurangi potensi gejolak yang terjadi sesama angkutan taksi konvensional dan taksi aplikasi berbasis online yang menganggu ketertiban umum dan kenyamanan masyarakat luas.
“Dengan demikian terhadap ketentuan Pasal 151 huruf a undang-undang a quo perlu ditafsirkan sepanjang dimaknai angkutan orang dengan menggunakan taksi dan taksi aplikasi berbasis teknologi demi memberikan kepastian hukum pada pengendara taksi aplikasi berbasis teknologi,” tegas Rullyandi kepada Majelis Hakim yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat.
Rullyandi pun menerangkan UU LLAJ tidak menegaskan jenis angkutan taksi yang dimaksud, tanpa menjustifikasi legitimasi keberadaan taksi aplikasi berbasis teknologi. Hal ini, lanjutnya, menimbulkan rumusan norma tersebut mengandung ketidakpastian hukum (onrechtzekerheid).
“Apakah mengandung norma yang bersifat kebolehan atau suatu norma yang bersifat larangan sehingga hak konstitusional Pemohon sebagaimana Pasal 27 ayat (2) juncto Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tidak terakomodir dalam lintasan undang-undang organik tersebut,” ujar Pakar Hukum Tata Negara tersebut dalam sidang lanjutan pengujian UU LLAJ pada Senin siang.
Sementara itu, Refly Harun selaku Ahli Pemerintah menyampaikan terkait taksi berbasis aplikasi telah diatur secara tidak langsung dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan, khususnya Pasal 41 sampai dengan Pasal 46. “Dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 108 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek, khususnya Pasal 26, Pasal 29,” jelas Pengamat Politik sekaligus Pakar Hukum Tata Negara tersebut.
Refly pun menyimpulkan meskipun tidak secara eksplisit disebut dalam UU LLAJ, taksi berbasis aplikasisesungguhnya telah diakomodasi dalam aturan pelaksana undang-undang dimaksud. Menurutnya, bila suatu saat taksi berbasis aplikasi ingin disebut secara eksplisit dalam undang-undang, maka hal tersebut dapat dilakukan dengan merevisi UU LLAJ. “Hal ini merupakan kewenangan pembentuk undang-undang dalam hal ini DPR dan Pemerintah,” tandas Refly.
Beri Kepastian Hukum
Dalam sidang Perkara Nomor 97/PUU-XV/2017 tersebut, Nurhasan Ismail selaku Ahli Pemerintah menjelaskan Pasal 151 huruf a UU LLAJ sudah memberikan kepastian hukum tentang pilihan usaha angkutan umum yang boleh dimasuki oleh siapa pun.
“Dengan kata lain, Pasal 151 UU LLAJ itu harus ditempatkan sebagai penjabaran dari Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Yang kedua, ada kesempatan bagi siapa pun untuk bekerja, berusaha di sektor angkutan umum. Jadi, Pasal 151 tidak menutup adanya pihak-pihak yang kemudian muncul untuk berusaha, untuk bekerja di sektor angkutan umum,” ucap Nurhasan.
Dikatakan Nurhasan, siapa pun yang berusaha di sektor angkutan umum, ada empat pilihan jika angkutan umum tidak termasuk dalam trayek. Pilihan itulah, sambungnya, yang harus diambil oleh siapa pun yang akan berusaha atau bekerja di sektor angkutan umum. Dengan kata lain, tidak tepat kalau dikatakan Pasal 151 huruf a menutup adanya orang memasuki kegiatan usaha di sektor angkutan umum. Ada kesesuaian dengan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (2) dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
“Bahwa apa pun pilihan kegiatan usaha di bidang angkutan umum, entah baik itu dalam trayek maupun tidak dalam trayek, semua angkutan umum itu harus memenuhi persyaratan yang ditentukan di dalam Undang-Undang LLAJ,” tandas Nurhasan selaku Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) tersebut.
Sebagaimana diketahui, Pemohon adalah Etty Afiyati Hentihu, Agung Prastio Wibowo, Mahestu Hari Nugroho, dkk. Para Pemohon berprofesi sebagai pengemudi taksi online mempersoalkan Pasal 151 huruf a UU LLAJ menyatakan bahwa salah satu angkutan umum tidak dalam trayek yang legal adalah taksi.
Pasal 151 huruf a UU LLAJ menyebutkan,”Pelayanan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum tidak dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 huruf b terdiri atas: a. angkutan orang dengan menggunakan taksi …”
Dalam permohonannya, para Pemohon menjelaskan ketentuan a quo belum mengakomodasi taksi online sebagai salah satu penyedia jasa angkutan. Hal ini dinilai merugikan para Pemohon karena dengan tidak dicantumkannya taksi online dalam ketentuan a quo.
(NTA/LA/IR) MHI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar