JAKARTA , 16 Desember 2017 | 10:33- Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (UU Penodaan Agama) yang diajukan oleh Komunitas Ahmadiyah. Sidang kedelapan Perkara Nomor 56/PUU-XV/2017 digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (7/12)di Ruang Sidang MK.
Sidang yang semula dijadwalkan untuk mendengarkan Ahli Pemerintah terpaksa ditunda. Hal tersebut karena Pengurus Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) Kementerian Agama Soefyanto selaku Ahli Pemerintah baru menyerahkan makalah yang berisi keterangan tertulis pada hari ini. Wakil Ketua MK Anwar Usman menjelaskan makalah yang berisi keterangan tertulis Ahli seharusnya diserahkan maksimal dua hari sebelum persidangan.
“Agenda persidangan hari ini memang untuk mendengar keterangan DPR dan ahli dari Presiden. Dan ternyata makalah atau keterangan tertulis dari ahli Pemerintah itu baru diterima hari ini. Nah, aturan yang sudah dipraktikan beberapa kali dan selalu diumumkan dalam setiap persidangan menjelang sidang ditutup, supaya keterangan tertulis disampaikan paling tidak dua hari sebelum hari sidang. Jadi, Ahli dari Pemerintah atas nama Pak Dr. Soefyanto belum bisa didengar hari ini, ya, nanti tunggu agenda atau jadwal persidangan berikutnya,” ujar Anwar.
Sebelumnya, para Pemohon yang merupakan penganut Ahmadiyah mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 UU Penodaan Agama. Menurut Para Pemohon, Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat (SKB 3 Menteri) yang disusun berdasarkan ketiga pasal tersebut merugikan Para Pemohon. SKB 3 Menteri tersebut menetapkan bahwa Ahmadiyah merupakan aliran sesat.
Para Pemohon terdampak langsung, terbelenggu, dan terkekang bahkan ditindas hak untuk beragama maupun hak untuk melaksanakan ibadah karena SKB 3 Menteri. Banyak efek domino dirasakan dalam kehidupan penganut Ahmadiyah, di antaranya Para Pemohon tidak dapat beribadah di masjid yang dibangunnya karena pembakaran dan penyegelan, pencatatan pernikahan di KUA, hingga pengusiran Para Pemohon dari lokasi tempat tinggal. Untuk itu, Para Pemohon meminta Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 UU Penodaan Agama dinyatakan secara konstitusionalitas bersyarat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, khususnya Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan (2), Pasal 28I ayat (2), Pasal 28G ayat (1), Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai, dipersangkakan terhadap warga negara di komunitas Ahmadiyah yang hanya beribadah di tempat ibadahnya secara internal dan tidak di muka umum.
(LA) MHI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar