JAKARTA ,29 Oktober 2017 23:25:07- Untuk mempermudah akses terhadap pemanfaatan data kependudukan, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dalam hal ini Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil, telah menjalin kerjasama dengan berbagai lembaga, baik pemerintah maupun swasta. Tapi, kemudian muncul kritikan, yang mempertanyakan langkah pemerintah tersebut. Dianggap, pemerintah telah menjual data kependudukan pada pihak ketiga.
“Data kependudukan yang bersumber dari Dukcapil Kemendagri tersebut digunakan untuk perencanaan pembangunan, alokasi anggaran, misalnya untuk penyusunan DAU, DAK, “kata Zudan di Jakarta Minggu .Menanggapi itu, Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Zudan Arif Fakrulloh, mengatakan pemanfaatan data kependudukan untuk penyelenggaraan pembangunan merupakan perintah Pasal 58 UU 24 tahun 2013. Sehingga, kerjasama yang telah dilakukan Kemendagri, dalam rangka melaksanakan perintah UU tersebut.
Bahkan kata Zudan, pemanfaatan data kependudukan juga untuk mendukung konsolidasi demokrasi, misalnya digunakan sebagai basis data Daftar Pemilih Tetap di Pilkada maupun untuk pemilihan legislatif dan pemilihan presiden. Data kependudukan juga untuk mendukung upaya pebegakan hukum. Bahkan bisa dimanfaatkan untuk pencegahan tindak kriminal.
“Misalnya untuk ngecek sidik jari oleh Bereskrim, juga untuk pencegahan terorisme dan untuk pelayanan publik, seperti pembuatan SIM, paspor, polis asuransi, sertifikat tanah, rekening bank, pemberian kredit, perizinan, dan pendaftaran kartu prabayar,” tuturnya.
Jadi kata Zudan, pemanfaatan data kependudukan untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang lebih baik dan transparan. Maka kedepan, semua proses di Indonesia, akan menggunakan data tunggal penduduk berbasis NIK dan KTP elektronik. Ini dalam rangka menuju single identity number.
Zudan juga menegaskan, dalam pemanfaatan data ini, negara tidak pernah menjual data. Sampai saat ini, semuanya gratis. Dan semuanya dilakukan dalam kerangka hukum yang berlaku. Kerangka hukumnya pun sangat jelas, ada dalam Pasal 83 UU Administrasi Kependudukan. Dalam UU itu diamanatkan, bahwa data penduduk yang sudah disimpan dan dilindungi dalam database dapat dimanfaatkan untuk pemerintahan dan pembangunan.
“Lembaga yang akan memanfaatkan memang harus ada ijin dari penyelenggara yaitu Menteri Dalam Negeri,” ujarnya.
Lebih jelasnya lagi, kata Zudan, di dalam Pasal 13 UU Administrasi Kependudukan, diperintahkan agar NIK dijadikan dasar dlm penerbitan dokumen seperti paspor, SIM, NPWP, sertifikat tanah dan lain sebagainya. Untuk mengimplementasikan keseluruhan ide NIK sebagai single identity number maka dirumuskan Pasal 79 UU Nomor 24/13 yang memerinahkan Mendagri untuk dapat memberikan hak akses akses kepada petugas provinsi, kabupaten, kota dan lembaga pengguna untik memanfaatkan NIK dan data penduduk. Namun mereka dilarang menyebarluaskan data yang tidak sesuai kewenangannya.
“Teknis persyaratan ruang lingkup, dan tatacara pemberian hak akses diatur dalam Permendagri 61 tahun 2015,” ujarnya.
Dan kata Zudan, untuk bisa mendapatkan hak akses, harus dibuat dulu nota kesepahaman dan perjanjian kerjasama. Kontruksi hak akses memang haruslah sebatas melihat, dalam hal ini yaitu memverifikasi yang artinya ditutup kemungkinan untuk mengambil dan menyimpan data yang diakses. Selain itu, terkait menjaga kerahasiaan telah diatur dalam setiap perjanjian kerjasama yang ditandatangani dengan pengguna. Tidak hanya itu, secara keamanan dan pertahanan negara, masih banyak penduduk yang melakukan manipulasi data untuk memperoleh pelayanan publik seperti pemalsuan dokumen KK, pemalsuan akta kelahiran, penipuan lewa SMS, hoak, hate speech dan lain-lain.
“Sehingga publik atau pengguna memerlukan bantuan negara untuk mengecek keabsahan data dan dokumen kependudukan,” katanya.
Jadi kata dia, pemanfaatan data tunggal penduduk ini menjadi sangat urgen. Ini agar tidak ada lagi penduduk yang bertransaksi dengan menggunakan data ganda. Ini juga penting untuj keamanan masyarakat dan negara. Sehingga tidak ada lagi aksi penipuan, terorisme, membuka rekening, paspor dengan identitas palsu. Selain itu, secara hukum internasional ketika penduduk melakukan transaksi pelayanan publik dengan mengisi biodata, contohnya di rumah sakit, hotel, perbankan, dan pembelian nomor HP, pada saat itulah penduduk berjanji, menyerahkan dan mempersilahkan penggunaan data dirinya untuk keperluan pelayanan dimaksud.
“Sejak saat itulah hak privasi data dirinya berpindah kepada lembaga pengguna namun hanya untuk kepentingan layanan publik dimaksud,” kata dia.
(Sofiana) MHI
Sumber :Puspen Kemendagri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar