HTML

HTML

Kamis, 12 Oktober 2017

Suteki : ‘Perppu Ormas Jadikan Pemerintah Extractive Institution-Mendistorsi Prinsip Negara Hukum!’

JAKARTA,06 Oktober 2017 -Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji materiil Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang  Organisasi Kemasyarakatan (Perppu Ormas), Senin di Ruang Pleno MK. Sidang keenam digelar untuk tujuh permohonan, yaitu perkara Nomor 38, 39, 41, 48, 49, 50 dan 52/PUU-XV/2017 dengan agenda mendengarkan keterangan Ahli dan Pihak Terkait.
Suteki selaku Ahli dari Pemohon Perkara 41/PUU-XV/2017, menyampaikan keterangan lisan dengan judul ‘Perppu Ormas Menjadikan Pemerintah sebagai Extractive Institution dan Mendistorsi Prinsip Negara Hukum’. Menurutnya, Perppu Ormas mengadaptasi asas contrarius actus tanpa mempertimbangkan due process of law. Hal ini berakibat menjadikan Pemerintah sebagai penafsir tunggal aturan yang akan berakibat timbulnya tindakan represif.
“Dengan mengadopsi pemikiran dari hal yang dicontohkan dua penulis ini (Daron Acemoglu dan James A. Robinsonini), Perppu Ormas yang mengusung asas contrarius actus tanpa dueprocess of law telah menegasikan pemerintah sebagai penafsir tunggal. Karakter ini nantinya berpotensi pada terjadinya tindakan represif pemerintah. Seperti pada pasal a quo, perlu dilihat kedudukan Pancasila yang seharusnya ditempatkan sebagai ajaran moral yang imperatif. Namun, apabila Pancasila dijadikan sosok yang dituhankan dan pengkultusannya dilakukan secara membabi buta. Maka, ini akan jadi alat gebuk bagi penguasa,” tegas Suteki di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat tersebut.
Dalam keterangannya, Suteki menyebut kajian kritisnya terkait extractive institution merujuk pada buku yang berjudul “Why Nations Fail?” karya Daron Acemoglu dan James A. Robinson. Buku tersebut mencontohkan Pemerintahan Robert Mugabe di Zimbabwe pada 1980. Ia menuturkan, ‘tangan besi’ Mugabe dengan mudah mengatur pemenang sebuah lotere yang diadakan Bank Negara. Pada intinya, hal yang dilakukan Mugabe adalah salah satu bentuk indikasi dari adanya extractive institution dan represif rezim yang terjadi di Zimbabwe sehingga berdampak pada kolapsnya negara tersebut pada 2008 – 2009.
Suteki menambahkan Perppu Ormas membuka peluang bagi Pemerintah untuk memberikan vonis pada organisasi yang bertentangan dengan Pancasila dan langsung mencabut badan hukum dan membubarkannya. Hal ini dinilainya berbahaya bagi bangsa dan negara.
“Jelas, hal yang dilakukan pemerintah ini membawa negara pada persimpangan jalan dan Perppu ini pun memuat ancaman pidana yang kejam dan berpotensi vandalisme,” terang Suteki yang merupakan Dosen Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.
Terkait Perppu Ormas yang dinilai mendistrosi negara hukum menjadi negara kekuasaan, Suteki pun menegaskan hal tersebut sebagai suatu bentuk kejahatan untuk keamanan bangsa. Baginya, melalui Perppu Ormas, Pemerintah telah menciptakan teror bagi masyarakat karena dengan mudah membubarkan suatu organisasi tanpa proses peradilan. “Dengan demikian, atas teror legal ini perlu ada pertanggungjawaban Presiden dalam sidang DPR yang melibatkan MK untuk memutuskan tindakan presiden tersebut,” jelas Suteki.
Pihak Terkait
Hasil gambar untuk sidang uji materiil Perppu Ormas
Pada sidang tersebut, hadir sejumlah organisasi sebagai Pihak Terkait  untuk Perkara Nomor 38/PUU-XV/2017 dan 39/PUU-XV/2017, yakni ‘Komunitas Advokat Sabang Merauke’, ‘Komunitas Dokter untuk Pancasila’, dan ‘8 untuk NKRI’ memberikan sejumlah keterangan. Komunitas Dokter untuk Pancasila menyampaikan dalil kerugian konstitusional dari Pemohon Perkara 38/PUU-XV/2017 hanya berdasarkan asumsi semata. Pihaknya menilai, penerbitan Perppu Ormas sesuai dengan urgensi dan memenuhi parameter yang juga telah ditegaskan dalam putusan MK. Pasal a quo yang didalilkan pun dinilai Pihak Terkait tidak mengancam hak konstitusional Pemohon.
Sementara itu, terkait Perkara Nomor 58/PUU-XV/2017 yang dimohonkan oleh Eggy Sudjana, dkk., Pemerintah tidak memberikan keterangan tambahan untuk perkara baru tersebut.  Pada akhir persidangan, Arief pun mengumumkan persidangan selanjutnya akan digelar pada Kamis, 12 Oktober 2017 pukul 11.00 WIB dengan agenda mendengarkan keterangan ahli dan saksi dari Pemohon Perkara 48/PUU-XV/2017.
Dalam permohonannya, para Pemohon merasa pemberlakuan Perppu Ormas melanggar hak konstitusional untuk berserikat dan berkumpul sebagaimana dijamin oleh UUD 1945. Menurut Pemohon, Perppu Ormas ini memungkinkan Pemerintah untuk melakukan tindakan sepihak tanpa mempertimbangkan hak jawab dari ormas. Akibatnya ketentuan ini dapat dimanfaatkan secara sewenang-wenang dan pasal ini telah mengambil alih tugas hakim dalam mengadili perkara.
(SP/LA) MHI 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar



Postingan Terupdate

Sidang Perkara No. 14/PUU-XXII/2024, Ahli : Sebagian Besar Notaris Berusia 70 Tahun Masih Kompeten Menjalankan Tugas

JAKARTA, MHI – Sidang permohonan uji materiil Pasal 8 ayat (1) huruf b dan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabata...

Postingan Terkini

Pilihan Redaksi