JAKARTA ,23 Oktober 2017 | 18:15-Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji materiil aturan hak angket DPR dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) yang digelar pada Rabu (11/10). Dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat tersebut, beragendakan mendengar dan menyaksikan rekaman Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi III DPR dengan KPK. Rekaman tersebut diajukan oleh KPK sebagai Pihak Terkait Perkara 36/PUU-XV/2017, 37/PUU-XV/2017, 40/PUU-XV/2017, dan 47/PUU-XV/2017.
Arief memberi izin untuk membuka dan mendengarkan rekaman RDP, yang diungkapkan KPK sebagai pemicu munculnya hak angket DPR terhadap KPK pada sidang sebelumnya. Dalam rekaman yang berdurasi selama 1,5 jam tersebut, terlihat Komisi III DPR yang dipimpin Benny K. Harman, menyampaikan beberapa poin kesimpulan RDP yang berlangsung pada 18-19 April tersebut. Poin pertama, lanjut Benny, Komisi III DPR mendesak KPK untuk segera menyelesaikan konflik internal KPK dan melakukan pengawasan melekat terhadap seluruh pegawai KPK dalam rangka melakukan pembenahan sistem pengendalian internal KPK sesuai dengan peraturan perundang-undangan, guna mencegah pelemahan KPK dalam upaya pemberantasan korupsi. Kedua, Komisi III DPR meminta KPK untuk lebih cermat dan akuntabel dalam penggunaan wewenang-wewenang yang telah diatur dalam ketentuan perundang-undangan guna menciptakan institusi KPK yang kredibel, akuntabel, dan profesional.
Kemudian, Benny selaku Ketua Rapat melanjutkan poin ketiga, yakni Komisi III DPR memandang perlu adanya audit lanjutan BPK terkait kepatuhan KPK terhadap peraturan perundang-undangan sebagai wujud implementasi prinsip transparansi, profesionalisme, dan independensi dalam pelaksanaan tugas KPK. Poin keempat, Komisi III DPR meminta KPK melakukan klarifikasi dengan membuka rekaman BAP atas nama Miryam S. Haryani tentang kebenaran penyebutan sejumlah nama anggota dewan.
Dalam rekaman tersebut, lembaga antirasuah itu menyetujui poin 1, 2, dan 3, namun menyatakan ketidaksetujuan terhadap poin empat terkait permintaan Komisi III DPR agar KPK membuka rekaman BAP atas nama Miryam S. Haryani. KPK yang dalam RDP tersebut diwakili Agus Rahardjo menolak dengan alasan permintaan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Selain itu, KPK menilai rekaman BAP tersebut hanya dapat dibuka dalam proses persidangan.
Terhadap penolakan tersebut, Komisi III DPR menunda RDP selama 10 menit guna menggelar rapat internal. Usai rapat internal, terhadap penolakan KPK tersebut, Komisi III DPR mengusulkan agar dilakukan hak angket terhadap lembaga antirasuah karena dianggap menyalahgunakan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang. Benny mengungkapkan hak angket ini sebetulnya tidak ada bedanya dengan rekomendasi kesimpulan yang ditawarkan Komisi III DPR dalam poin empat. Hanya saja, lanjutnya, ada instrumen paksa yang meminta kepada KPK untuk membuka rekaman BAP Miryam. \\”Hak angket lebih tinggi dari hak tanya. Kami pakai instrumen paksa supaya KPK membuka itu,\\” tandasnya.
Usai mendengarkan keseluruhan rekaman, Arief mengemukakan Majelis Hakim Konstitusi tidak akan memberikan komentar. Ia menyebut rekaman tersebut akan menjadi bahan pertimbangan dalam RPH. Selain itu, ia mengemukakan sidang berikutnya digelar pada Rabu, 25 Oktober 2017 pada pukul 11.00 WIB.
Sebelumnya, sejumlah pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan pengujian terkait tentang hak angket DPR yang meminta keseluruhan Pasal 79 ayat (3) UU MD3 menjadi konstitusional bersyarat (Perkara Nomor 40/PUU-XV/2017). Hal serupa juga diungkapkan oleh Mantan Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Indonesia Corruption Watch (ICW) serta Konfederasi Persatuan buruh Indonesia (KPBI) yang tergabung dalam Tim Advokasi Selamatkan KPK selaku Pemohon Perkara Nomor 47/PUU-XV/2017. Kemudian beberapa Pemohon perseorangan juga mengajukan permohonan serupa yang teregistrasi dengan Nomor 36/PUU-XV/2017 dan 37/PUU-XV/2017.
Ketentuan Pasal 79 ayat (3) UU MD3 dinilai mengandung ketidakjelasan rumusan atau multitafsir sehingga tidak memenuhi asas kejelasan rumusan serta kepastian hukum sebagaimana dimaksud Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Implikasinya timbul beberapa penafsiran berbeda dan berakibat pada kekeliruan DPR dalam menggunakan hak angket terhadap KPK. DPR menafsirkan pasal tersebut dapat digunakan untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi KPK. Sementara para Pemohon, menilai tindakan DPR tersebut merupakan langkah politik yang digunakan untuk melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Tindakan tersebut dilakukan bersamaan dengan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan oleh KPK terhadap beberapa kasus yang diduga melibatkan anggota DPR, di antaranya adalah perkara e-KTP yang saat ini sedang diperiksa oleh lembaga antirasuah tersebut.
(LA) MHI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar