JAKARTA ,16 Oktober 2017-Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang Pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) di Ruang Sidang Panel MK, Rabu (4/10). Perkara teregistrasi dengan Nomor 76/PUU-XV/2017 dimohonkan Habiburokhman yang berprofesi sebagai advokat. Pemohon dan melakukan uji materiil Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2) UU ITE terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3), dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.
Dalam pokok permohonannya melalui Ahmad Leksono, Pemohon mendalilkan pasal a quomerugikan hak konstitusionalnya karena berpotensi dijadikan alat untuk mengkriminalisasi Pemohon. Hal tersebut karena dalam mengeluarkan pendapat terdapat ketidakjelasan definisi pada kata ‘antargolongan’.
Pasal 28 ayat (2) UU ITE berbunyi, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakattertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).”
Adapun Pasal 45A ayat (2) UU ITE berbunyi, “Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarluaskan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara selama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Menurut Pemohon, adanya istilah ‘antargolongan’ pada UU ITE justru menimbulkan ketidakjelasan. Dalam penerapannya, pasal tersebut bisa diartikan sangat luas menjadi kelompok apapun yang ada dalam masyarakat, baik yang bersifat formal maupun nonformal. “Karena ketidakjelasan batasan antargolongan dan juga ketidakjelasan mengapa identitas antargolongan disejajarkan dan disederajatkan dengan istilah suku, agama, dan ras sebagaimana diatur dalam pasal a quo,” urai Ahmad didampingi Tim Advokat Cinta Tanah Air(ACTA).
Ahmad pun menyebutkan penyebaran informasi elektronik yang menimbulkan kebencian berdasarkan suku dan ras harus dihukum dengan kriteria berat, yaitu di atas lima tahun sebagaimana diatur pada pasal a quo karena suku dan ras adalah dua identitas kodrati manusia yang melekat sejak lahir. Kebencian yang ditimbulkan kedua hal tersebut memiliki daya rusak yang luar biasa dibandingkan kebencian yang ditimbulkan alasan-alasan pribadi. Mengenai hal tersebut, telah disebutkan dalam UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Senada dengan itu, Ahmad pun menyampaikan identitas agama juga harus dilindungi dari tindakan penyebaran informasi yang menimbulkan kebencian. “Jadi, amat wajar jika penyebaran informasi yang menimbulkan kebencian berdasarkan agama pun harus dihukum berat,” tegas Ahmad di hadapan Hakim Konstitusi Suhartoyo yang didampingi Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul dan Saldi Isra.
Nasihat Hakim
Usai mendengar penjelasan Pemohon, Suhartoyo memberikan beberapa saran perbaikan untuk kesempurnaan permohonan. Saran tersebut di antaranya mengenai pokok permohonan yang belum menegaskan hak konstitusional yang dilanggar karena berlakunya pasal a quo. Pada permohonan, Pemohon lebih banyak menyebutkan contoh kasus konkret yang dihadapi oleh orang lain yang terjaring UU ITE. Untuk itu, Suhartoyo mengharapkan agar Pemohon lebih menguraikan kerugian konstitusional yang dialami sendiri atas pemberlakuan pasal a quo.
Manahan pun memberikan catatan terkait kedudukan hukum Pemohon yang merupakan advokat yang tergabung dalam ACTA. Namun demikian, dalam kedudukan hukum, Pemohon belum mempertegas dirinya dalam organisasi tersebut. “Legal standing Pemohon dalam ACTA sebagai apa karena kedudukan hukum memengaruhi kerugian hak konstitusionalnya sebagai warga negara atau sebagai pejabat di organisasi ACTA. Ini perlu dipertegas,” ucapnya.
Selain itu, Manahan pun meminta agar Pemohon memperkuat argumentasinya terkait dampak dari pasal a quo yang juga dihadapkan oleh Pemohon dengan KUHP. “Secara substansi, ada dua UU yang dihadapkan, ada UU ITE dan KUHP, Pemohon melihat ada penafsiran yang tidak sinkron. Jadi, argumentasinya diperkuat sehingga dalam UU itu ada dua penafsiran yang berbeda ‘antargolongan’ itu sehingga tampak nantinya penafsiran ‘antargolongan’ inilah yang menjadi penyebab atau bermasalah yang mengakibatkan kerugian hak konstitusional Pemohon,” terang Manahan.
Sementara itu, Saldi menambahkan pada nasihatnya agar Pemohon memperkuat kedudukan hukum dengan hal yang benar-benar dialami langsung. Di samping itu, Saldi mengharapkan agar Pemohon mempelajari Putusan MK Nomor 52/PUU-XI/2013 yang pernah memutus tentang UU ITE. “Karena pengujian Pasal 28 ayat (2) ini sudah pernah diputus oleh Mahkamah dalam Putusan Nomor 52/PUU-XI/2013. Artinya, harus ada basis argumen tambahan antara permohonan ini dengan permohonan yang pernah ada sebelumnya. Ini penting,” saran Saldi.
Pada akhir persidangan, Suhartoyo menyampaikan bahwa Pemohon diberikan waktu untuk memperbaiki permohonan hingga Selasa, 17 Oktober 2017 pukul 10.00 WIB.
(SP/LA) MHI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar