HTML

HTML

Kamis, 12 Oktober 2017

Laode MS Ungkap Latar Belakang Munculnya Hak Angket DPR Terhadap KPK

JAKARTA , 05/10/2017-Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode Muhammad Syarif mengungkapkan latar belakang munculnya hak angket DPR terhadap KPK. Penyampaikan keterangan ini dilakukan Laode sebagai Pihak Terkait dalam uji aturan hak angket DPR dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) yang digelar pada Kamis (29/9). Sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat tersebut, beragendakan mendengar keterangan KPK sebagai Pihak Terkait Perkara 36/PUU-XV/2017, 37/PUU-XV/2017, 40/PUU-XV/2017, dan 47/PUU-XV/2017.
Laode mengungkapkan munculnya Pansus Hak Angket terhadap KPK bermula dari Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang dilakukan Komisi III DPR bersama KPK pada 18 – 19 April 2017. RDP tersebut membahas mengenai berbagai hal mulai dari soal penyidik independen, manajemen penyidikan sampai dengan laporan Badan Pemeriksa Keuangan yang berjalan dengan lancar. Akan tetapi, lanjut Laode, pada kesimpulan terakhir, Komisi III DPR meminta KPK melakukan klarifikasi dengan membuka rekaman berita acara pemeriksaan atas nama Miryam S. Haryani. Komisi III DPR hendak mengetahui tentang penyebutan sejumlah nama anggota dewan.
“Poin keempat inilah yang oleh pimpinan KPK dan seluruh pegawai KPK yang hadir pada Rapat Dengar Pendapat tersebut menolaknya. Karena kami menganggap itu adalah bukan dalam ranah laporan atau dengar pendapat, tetapi itu adalah ranah pro justitia, sehingga kami tidak bisa menyerahkannya kepada Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat. Komisi III tetap mendesak, serta menyampaikan akan melakukan angket apabila KPK menolak membuka rekaman tersebut,” terang Laode.
Dalam perjalanannya, sambung Laode, Pansus Angket terhadap KPK juga sempat mengirimkan surat untuk menghadirkan Miryam S. Haryani untuk diperiksa, meskipun KPK juga menolak permintaan tersebut. “Jadi, sekali lagi, sulit untuk menangkap secara positif ide di balik Pansus Angket KPK. Karena faktanya, penggunaan hak angket DPR terhadap KPK adalah karena Pimpinan KPK menolak untuk memutarkan rekaman dan menghadirkan Miryam S. Haryani karena saat itu yang bersangkutan tengah menjalani proses hukum di KPK,” tuturnya.
Persoalan Menjadi Bias
Selain itu, Laode juga menyebut penggunaan angket oleh DPR terhadap KPK menjadi tidak proporsional dan kehilangan kebijakan rasionalitasnya. Menurutnya, menjadi bias apabila substansi yang terkait dengan penegakan hukum, apalagi yang berkaitan dengan perkara pidana yang seharusnya diproses dalam area hukum melalui sistem peradilan pidana, kemudian dibawa ke ranah politik seperti yang terjadi saat ini.
“Penggunaan hak angket DPR terhadap KPK sebagai lembaga independen akan menjadi catatan sejarah penting dalam penegakan hukum dan sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia. Kami meyakini, jika penggunaan hak angket DPR terhadap KPK sebagai lembaga penegak hukum yang independen tidak dihentikan, maka peristiwa ini akan menjadi pintu masuk bagi kekuasan politik untuk terus mencampuri kerja-kerja penegakan hukum di Indonesia, baik di KPK maupun di luar KPK,” tegasnya.
Sebelumnya, sejumlah pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan pengujian terkait tentang hak angket DPR yang meminta keseluruhan Pasal 79 ayat (3) UU MD3 menjadi konstitusional bersyarat (Perkara Nomor 40/PUU-XV/2017). Hal serupa juga diungkapkan oleh Mantan Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Indonesia Corruption Watch (ICW)  serta Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) yang tergabung dalam Tim Advokasi Selamatkan KPK selaku Pemohon Perkara Nomor 47/PUU-XV/2017. Kemudian beberapa Pemohon perseorangan juga mengajukan permohonan serupa yang teregistrasi dengan Nomor 36/PUU-XV/2017 dan 37/PUU-XV/2017.
Para Pemohon menyoal Pasal 79 ayat (3) UU MD3 yang mengatur sebagai berikut;“3) Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.\”
Ketentuan Pasal 79 ayat (3) UU MD3 dinilai mengandung ketidakjelasan rumusan atau multitafsir sehingga tidak memenuhi asas kejelasan rumusan serta kepastian hukum sebagaimana dimaksud Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Implikasinya timbul beberapa penafsiran berbeda dan berakibat pada kekeliruan DPR dalam menggunakan hak angket terhadap KPK. DPR menafsirkan pasal tersebut dapat digunakan untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi yang dilakukan oleh lembaga penegak hukum khususnya KPK . Sementara para Pemohon menilai tindakan DPR tersebut merupakan langkah politik yang digunakan untuk melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Tindakan tersebut dilakukan bersamaan dengan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan oleh KPK terhadap beberapa kasus yang diduga melibatkan anggota DPR, di antaranya adalah perkara e-KTP yang saat ini sedang diperiksa oleh KPK.
(LA) MHI 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar



Postingan Terupdate

Sidang Perkara No. 14/PUU-XXII/2024, Ahli : Sebagian Besar Notaris Berusia 70 Tahun Masih Kompeten Menjalankan Tugas

JAKARTA, MHI – Sidang permohonan uji materiil Pasal 8 ayat (1) huruf b dan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabata...

Postingan Terkini

Pilihan Redaksi