JAKARTA ,18 Oktober 2017 | 18:41-Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana uji materiil Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Rabu (4/10). Emir Moesi yang merupakan mantan Anggota DPR periode 2004-2009 mempermasalahkan aturan terkait keterangan saksi yang tidak dihadirkan dalam persidangan.
Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP yang diuji secara materiil berbunyi:
“ Ayat (1) : Jika saksi sesudah memberi keterangan dalam penyidikan meninggal dunia atau karena halangan yang sah tidak dapat hadir di sidang atau tidak dipanggil karena jauh tempat kediaman atau tempat tinggalnya atau karena sebab lain yang berhubungan dengan kepentingan negara, maka keterangan yang telah diberikannya itu dibacakan.
Ayat (2): Jika keterangan itu sebelumnya telah diberikan di bawah sumpah, maka keterangan itu disamakan nilainya dengan keterangan saksi di bawah sumpah yang diucapkan di sidang.”
Dalam permohonannya, Yusril Ihza Mahendra selaku kuasa hukum, mengatakan pasal tersebut bertentangan dengan asas kepastian hukum dan keadilan seperti yang dicantumkan dalam Pasal 28D UUD 1945. “Ketentuan ini menghilangkan hak konstitusional Pemohon untuk memperoleh proses penegakan hukum pidana yang benar dan adil,\\” jelasnya dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra tersebut.
Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP menyebut seorang saksi boleh tidak hadir di persidangan dan cukup menyampaikan keterangannya secara tertulis. Namun, keterangannya itu sama nilainya dengan saksi yang hadir di persidangan. Menurut Yusril, ketentuan itu berpotensi menghilangkan hak konstitusional seorang terdakwa.
“Ini rentan diselewengkan oleh jaksa penuntut umum, sebab keterangan saksi tersebut tidak bisa dibantah oleh saksi-saksi yang lain, tidak bisa dikonfrontir dengan keterangan yang lain, tidak bisa ditanya oleh terdakwa. Bahkan hakim pun tidak bisa bertanya dan melihat ekspresi ketika orang tersebut memberikan kesaksiannya,” ujarnya membacakan Permohonan Perkara Nomor 74/PUU-XV/2017.
Tidak Relevan
Di sisi lain, Yusril menambahkan pasal tersebut tidak lagi relevan. Pemohon menilai teknologi sudah berkembang pesat, jika pun ada seorang saksi tidak bisa datang ke persidangan karena alasan sesuai dengan pasal tersebut, maka dapat dilakukan via komunikasi visual.
\”Jadi pertanyaan kami apakah pasal-pasal ini perlu dipertahankan apa tidak? Dengan kemajuan teknologi informasi, ada teleconference, segala macam. Semestinya bisa dipanggil orangnya, didengarkan melalui teleconference,\” terangnya.
Dalam sidang, Yusril juga menceritakan kasus konkret yang menimpa Pemohon akibat penerapan pasal tersebut. Pemohon menjadi terdakwa dalam kasus dugaan suap Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Tarahan, Lampung, pada 2004 lalu. Saat itu, Pemohon berkali-kali meminta jaksa penuntut umum dan majelis hakim menghadirkan Presiden Direktur Pacific Resources Pirooz Muhammad Sharafih yang berkewarganegaraan asing, namun tidak pernah didatangkan.
\”Dia diperiksa di Amerika Serikat, bukan di Kedutaan Indonesia. Dia tidak datang di persidangan, tapi dibacakan keterangannya dalam BAP (berita acara pemeriksaan), diterima oleh majelis hakim, lalu Pak Emir dipidana,\” kata Yusril.
Padahal, sambung Yusril, dari sejumlah saksi yang bisa dihadirkan tidak ada satu pun yang keterangannya justru memberatkan Pemohon. Belakang diketahui bahwa tanda tangan dalam surat keterangan tersebut adalah palsu.
\”Jadi saat dibawa ke Bareskrim, diperiksa dan itu memang palsu. Tapi tatkala lab forensik mau dilakukan minta aslinya, tidak ada, diminta ke pengadilan tidak ada, diminta ke KPK juga tidak ada,\” jelasnya.
Atas kasus yang menjeratnya itu, Pemohon divonis 3 tahun penjara dan denda Rp150 juta subsider 3 bulan penjara, meski saat ini, Pemohon sudah bebas dari hukuman. Akan tetapi, Pemohon meminta agar Majelis Hakim membatalkan pasal-pasal tersebut.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati yang juga hadir sebagai Panel Hakim memberikan saran perbaikan. Maria menegaskan MK tak bisa mengadili kasus konkret. “Bisa saja memakai kasus konkret, tapi syaratnya itu sebatas pintu masuk ke arah pelanggaran norma. Pemohon harus memastikan hal ini,” jelasnya.
Sementara Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul menyebut meminta agar Pemohon mengelaborasi penerapan pasal tersebut dalam konteks kekinian. Terutama, lanjutnya, terkait teknologi video conference dapat menjadi alternatif jika saksi tak dapat hadir di persidangan. “Ini sudah diterapkan di MK. Namun untuk pengadilan umum memang belum ada aturannya,” jelasnya.
Manahan mengingatkan jika Pemohon meminta pasal yang ada dibatalkan, maka akan terjadi kekosongan hukum. Selain itu, lanjutnya, penggunaan video conference menjadi tak boleh digunakan di pengadilan umum. Sebab tak memberikan kesempatan tafsir alternatif bagi pasal a quo. Artinya, tafsirannya saksi wajib hadir di pengadilan tanpa kecuali.
“Jadi coba diurai kembali petitumnya untuk tafsir alternatif. Jangan sampai jika pasal ini dibatalkan akan terjadi dampak besar bagi dunia hukum secara global. Sudut pandangnya jangan sampai sebatas terkait peristiwa hukum yang merugikan Pemohon,” tandasnya.
(ARS/LA) MHI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar