HTML

HTML

Rabu, 13 September 2017

Sejumlah WNI dan Parpol Uji UU Pemilu

Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie (tengah) selaku Pemohon Prinsipal berfoto selfie sebelum sidang perdana perkara pengujian UU Pemilu dimulai, Rabu (5/9). di Gedung MK
JAKARTA ,11 September 2017-Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pendahuluan Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), Selasa di Ruang Sidang Pleno Gedung MK. Perkara tersebut dimohonkan para Pemohon dalam sidang untuk empat perkara, yakni perkara Nomor 59, 60, 61, dan 62/PUU-XV/2017.
Pemohon Nomor 59, yakni Dosen Komunikasi Politik UI Effendi Gazali mendalilkan UU Pemilu Pasal 222 dinilai merugikan hak konstitusionalnya. Diwakili Wakil Kamal, Pemohon menyebutkan pasal yang diujikan tersebut cenderung digolongkan sebagai upaya manipulasi terhadap hak memilih warga negara yang dijamin oleh UUD 1945, terutama terkait dengan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil terhadap hasil dari hak memilih warga negara.
“Masalah seriusnya adalah pencampuradukkan hasil hak memilih warga negara yang secara gegabah dimanfaatkan. Dalam mencampuradukkan ini, artinya jika saja Pemohon mengetahui persis siapa-siapa saja anggota-anggota atau fraksi DPR yang tetap mempertahankan hak angket KPK sampai saat permohonan PUU ini dilakukan, maka Pemohon tidak akan memilih anggota DPR sebagaimana yang dipilih Pemohon pada pemilihan legislatif tahun 2014 lalu,” terang Kamal di hadapan Pleno Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna.
Sedangkan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang merupakan Pemohon Nomor 60 menyatakan 3 ayat dari Pasal 173 dalam UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945. Surya Tjandra selaku salah satu kuasa hukum menyampaikan Pasal 173 ayat (1) mengandung muatan diskriminatif bagi parpol baru. Sedangkan terhadap Pasal 173 ayat (2) huruf e, Pemohon menyoroti keterwakilan perempuan yang hanya ada di tingkat pusat dan tidak menyinggung hingga tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Adapun Pasal 173 ayat (3) jo. Pasal 173 ayat (1) khususnya pada frasa ‘… telah ditetapkan/…’ dinilai potensial merugikan Pemohon akibat adanya standar ganda terhadap persyaratan parpol untuk menjadi peserta pemilu.
Di samping itu, Pemohon berpendapat ketentuan a quo mengakibatkan seolah-olah ada parpol yang ‘ditetapkan’ dan ada parpol yang ‘diverifikasi’ oleh KPU untuk parpol yang dapat menjadi parpol peserta Pemilu 2019. Dengan demikian, ketentuan a quo mencampuradukkan antara ‘ditetapkan’ yang adalah masa lalu  peserta Pemilu 2014 dengan ‘diverifikasi’ adalah untuk masa depan bagi parpol baru calon peserta Pemilu 2019.
“Bahwa selanjutnya hasil verifikasi KPU untuk pemilu legislatif tahun 2014 tidaklah dapat digunakan sebagai dasar dalam membebaskan parpol yang telah lulus verifikasi pada pemilu sebelumnya dari kewajiban melakukan verifikasi ulang. Karena verifikasi faktual yang dilaksanakan KPU pada 2014 adalah untuk menjadi peserta pemilu pada tahun tersebut, sedangkan UU Pemilu 2017 terkait dengan peserta Pemilu 2019,” tegas Surya dalam sidang yang juga dihadiri Grace Natalie Lousia selaku Ketua Umum PSI.
Pada kesempatan yang sama, Pemohon Nomor 61, Kautsar dan Samsul Bahri, mendalilkan UU Pemilu Pasal 557 ayat (1) huruf a, b, dan ayat (2) serta Pasal 571 huruf d dinilai merugikan hak konstitusionalnya karena berpotensi menimbulkan ketidakstabilan politik di Aceh yang bermuara pada ketidakpastian hukum pada penyelenggaraan Pemilu 2019 di Aceh.
“Bahwa rakyat Aceh dan Pemohon mempunyai hak untuk hidup aman, damai, dan sejahtera dalam proses menyongsong penyelenggaraan Pemilu 2019 dan apabila pasal-pasal tersebut dipaksakan berlaku dapat dipastikan terjadinya konflik regulasi di Aceh dan menciptakan situasi yang tidak kondusif,” urai Kamaruddin selaku kuasa hukum para Pemohon.
Masih berkaitan dengan permohonan atas pengujian UU Pemilu, Partai Persatuan Indonesia (Perindo) sebagai Pemohon Nomor 62 mendalilkan Pasal 173 ayat (3) berpotensi merugikan hak konstitusional pihaknya sepanjang frasa ‘partai politik yang telah lulus verifikasi’ dan ‘tidak diverifikasi ulang dan ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu’. Dalam hal ini, pasal a quo dinilai tidak jelas maksudnya. Menurut Pemohon, tahapan Pemilu 2019 belum dimulai dan belum pula diketahui partai politik yang akan mendaftar sebagai calon peserta, namun pasal a quo telah menentukan adanya parpol yang dinyatakan lulus verifikasi persyaratan dan ditetapkan sebagai parpol peserta Pemilu 2019.
“Partai Perindo adalah sebuah parpol yang telah jelas dasar pendiriannya dan mendapatkan pengesahan dari Kemenhukumham. Dengan frasa pada pasal a quo ini tidak jelas diberlakukan pada seluruh parpol atau hanya untuk parpol tertentu saja,” sampai Ricky K. Margono selaku salah satu kuasa hukum Pemohon.
Dalam penalaran Pemohon, terdapat pembedaan pada parpol calon peserta Pemilu 2019, yakni parpol 2014 dan non-2014 atau parpol baru. Pengelompokan tersebut, menurut Pemohon, menimbulkan perbedaan atau diskriminasi karena Perindo bukan peserta Pemilu 2014.
Di samping itu, pasal a quo dinilai dapat mengakibatkan parpol baru tidak mendapatkan posisi yang sama di dalam hukum karena persyaratan politiknya pun berbeda dengan parpol yang telah terdaftar Pemilu 2014 .  Hal tersebut, menurutnya, memberikan jalan bagi parpol 2014 untuk melenggang tanpa dilakukan syarat yang diberlakukan KPU.
Nasihat Hakim
65b94040-2f61-4ca7-a07d-8fbfc89aa62a_43
Menanggapi keempat perkara tersebut, Hakim Konstitusi I Gede Dewa Palguna menegaskan pentingnya legal standing yang menjadi pintu gerbang dalam meninjau kerugian hak konstitusional dari para Pemohon.
Legal standing itu cukup hak-hak yang terganggu dan baru di alasan permohonan diuaraikan sedalam dan seluasnya mengapa undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945,” tegas Palguna pada seluruh Pemohon dan kuasanya.
Untuk perkara 59, Palguna meminta agar Pemohon menguraikan legal standing dengan menyertakan rujukan hak-hak konstitusional yang dinilai dirugikan akibat undang-undang yang diujikan tersebut.
Pada Pemohon Nomor 60 dan 62 yang diajukan oleh badan hukum, yakni PSI dan Perindo, Palguna menyarankan untuk menjelaskan legal standing berdasarkan AD/ART partai yang bertindak atas nama partai. Hal tersebut diperlukan agar dapat terlihat hak-hak konstitusional parpol sebagai badan hukum yang dirugikan terhadap pasal a quo.
Pada Pemohon Nomor 61, Palguna mempertanyakan kedudukannya sebagai perseorangan WNI, tetapi pasal yang dipersoalkan tentang KPU. Menurutnya, belum terlihat pada legal standing hak konstitusional selaku perorangan yang dirugikan tersebut.
Hasil gambar untuk Hakim Konstitusi Aswanto
Hakim Konstitusi Aswanto lebih menyoroti permohonan Nomor 59. Menurutnya, argumen teoretik dan konstitusional  belum terlihat sehingga perlu dilakukan dielaborasi lebih dalam. Hal itu untuk meyakinkan Mahkamah bahwa perkara yang diajukan adalah persoalan konstitusional. Sedangkan untuk permohonan Nomor 60 dan 62, Aswanto pun menyarankan para Pemohon untuk memperkuat dalilnya sehingga tidak menjadi mentah.
“Perlu ditegaskan hak konstitusionalnya sehingga argumennya meyakinkan Mahkamah kalau ini tidak fair,” ujar Aswanto.
Para Pemohon diberikan waktu hingga Senin, 18 September 2017 pukul 10.00 WIB untuk menyerahkan perbaikan permohonan sehingga dapat dilakukan sidang pada waktu selanjutnya.
(SP/lul) MHI 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar



Postingan Terupdate

Sidang Perkara No. 14/PUU-XXII/2024, Ahli : Sebagian Besar Notaris Berusia 70 Tahun Masih Kompeten Menjalankan Tugas

JAKARTA, MHI – Sidang permohonan uji materiil Pasal 8 ayat (1) huruf b dan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabata...

Postingan Terkini

Pilihan Redaksi