HTML

HTML

Rabu, 06 September 2017

Pemerintah: Perppu Ormas Tak Hilangkan Kebebasan Berserikat dan Berkumpul

Hasil gambar untuk Advokat Gugat UU Ormas
JAKARTA ,04 September 2017 |Sidang pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu Ormas) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu . Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan Presiden dan Pihak Terkait, yakni Forum Advokat Pengawal Pancasila (FAPP) dan Sekretariat Nasional Advokat Indonesia (Seknas Advokat). Sidang digelar untuk tujuh perkara, yakni perkara Nomor 38, 39, 41, 48, 49, 50, dan 52/PUU-XV/2017.
Dalam keterangannya, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mewakili Pemerintah menjawab frasa “menganut” pada Pasal 59 Ayat (4) huruf c Perppu Ormas yang didalilkan Ismail Yusanto (Pemohon Nomor 39). Pemerintah menyatakan sepakat dengan Pemohon karena “menganut” yang tertuju pada pemikiran tidak dapat dikriminalisasi. Namun demikian, Pemerintah menilai “menganut” juga bermakna perihal konkret, mulai dari mengembangkan ajaran dalam wujud tertulis, lisan, maupun AD/ART ormas itu sendiri. Pemerintah menyatakan tidak melarang untuk menganut dan mengajarkan paham tertentu, tetapi membatasi hal-hal yang bertentangan dengan Pancasila. Pasalnya, Pemerintah wajib menjaga utuhnya negara dan bangsa serta menciptakan ketertiban umum. Terkait dengan frasa yang ada pada Perppu Ormas tersebut, Pemerintah pun menilai bahwa pasal a quo tidak bisa berdiri sendiri sehingga pemaknaan tekstual pun tidak bisa dilakukan dengan serta-merta.
Dalam penyampaiannya, Tjahjo menambahkan berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, pilihan Pemerintah menggunakan frasa “menganut”, yang diartikan sebagai ‘menurut pada paham’, adalah tepat. Pada perkembangannya, banyak ormas mengembangkan ajaran yang bertentangan dengan Pancasila. “Cepatnya perkembangan paham dan ideologi yang bertentangan dengan Pancasila yang dibawa oleh ormas akan berpotensi mengganggu dan bahkan berdampak pada integrasi bangsa. Untuk itu, adanya pelanggaran atas asas yang bertentangan tersebut adalah perbuatan yang sangat tercela. Oleh karenanya, harus diberikan sanksi tegas, yakni sanksi administrasi, peringatan tertulis, dan pembubaran ormas,” terang Tjahjo di hadapan sidang yang juga dihadiri Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly.
Terkait dengan dalil Aliansi Nusantara (Pemohon Nomor 41) yang menyatakan Perppu tersebut telah membatasi hak asasi manusia yang dilindungi Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, Pemerintah berpendapat bahwa tidak ada kebebasan berserikat dan berkumpul yang dihalangi, baik selaku individu maupun kolektif. Dengan adanya Perppu Ormas tersebut, lanjutnya, Pemerintah justru memberikan kepastian hukum pada masyarakat yang berkeinginan membentuk ormas untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan negara berdasarkan UUD 1945 dan Pancasila.
“Berkumpul dan mengeluarkan pendapat merupakan hak warga negara yang dijamin oleh UUD 1945 dan Pancasila. Eksistensi keberadaan ormas adalah partisipasi masyarakat dan potensi kolektif masyarakat. Untuk itu, negara berkewajiban mengakui dan menjamin keberlangsungannya dan setiap warga negara berkewajiban menghormati dan negara harus mengatur keselarasan antara hak dan kebebasan individu dan hak kolektif warga negara tersebut,” terang Tjahjo dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat.
Tidak Ada Kerugian Konstitusional
Selain itu, Pemerintah menyampaikan bahwa negara yang menyatakan diri sebagai negara hukum demokratis harus mengatur keselarasan antara hak dan kebebasan individu maupun kolektif. Pemenuhan moral harus sesuai untuk menjaga keutuhan negara dan bangsa. Untuk itu, pemerintah  wajib menjaga aktivitas ormas pada koridor hukum yang berlaku.
“Demi menciptakan hubungan yang harmonis antara setiap pihak, Pemerintah harus melaksanakan prinsip negara hukum secara demokratis dan rakyat harus sadar akan hak dan kewajibannya. Pembatasan yang dimaksudkan hanyalah tertentu dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap warga negara harus taat pada ketetapan untuk menjaga hak orang lain,” urai Tjahjo.
Terkait dengan pengaturan eksistensi ormas, Tjahjo menyampaikan penilaian Pemerintah bahwa hal tersebut bukanlah suatu bentuk diskriminasi. Pada tiap pasal a quo tidak bersifat disriminatif karena di dalamnya tidak membeda-bedakan orang berdasarkan jenis kelamin, agama, pendidikan, politik, bahasa, dan lainnya. “Sifat demikian tidak terdapat dalam Perppu tersebut,” tandasnya.
Terhadap materi yang dimohonkan para Pemohon mengenai hak kebebasan berkumpul merupakan hak asasi manusia, Pemerintah menyampaikan bahwa ormas adalah potensi masyarakat kolektif yang harus dikelola. Untuk itu, negara berkewajiban mengakui keberadaannya, mulai dari tata kelola, AD/ART, dan kontribusi ormas yang harus berakar pada nilia-nilai Pancasila.
Keadaan Mendesak
Dinamika ormas mengalami metamorfosis sehingga cakupan, sektor, cara beraktivitas, dan relasi yang awalnya pada lingkup sosial dapat berkembang pada ideologi, politik, dan lainnya. Pemerintah mencatat jumlah ormas besar yang terdata di Indonesia pada 6 Juli 2017 adalah 344.039. Perkembangan yang pesat ini memungkinkan timbulnya permasalahan. Melalui Perppu Ormas, Pemerintah mengakui masih sangat terbatas pada definisi dan prosedur, serta pengenaan sanksinya bagi ormas yang dipandang masih belum efektif. Di samping itu, Tjahjo dalam penyampaiannya pun menyebutkan bahwa kekosongan hukum tersebut tidak bisa dilakukan dengan membuat undang-undang. “Keadaan mendesak itu perlu untuk dapat diselesaikan karena dalam membuat undang-undang dibutuhkan proses yang panjang,” jelasnya.
Menurut Pemerintah, situasi ormas yang ada pada saat ini telah secara terbuka melakukan tindakan yang sifatnya mengganti landasan konstitusional UUD 1945 dan Pancasila dengan yang lainnya. Tindakan ormas itulah yang memaksa Pemerintah untuk mengatur hal tersebut melalui Perppu. “Pemerintah melakukan pengawasan terhadap ormas yang nyata bertentangan dengan Pancasila dan hal itu diputuskan berdasarkan pertimbangan penuh. Jadi, ketika adanya pencabutan ormas, hal ini menunjukkan adanya pelanggaran terhadap Pancasila,” tegas Tjahjo di Ruang Sidang Pleno Gedung MK.
Dalam kesempatan yang sama, Pihak Terkait pun memberikan keterangan terkait tujuh Pemohon yang mendalilkan Perppu Ormas yang bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila. Teguh Samudera dari perwakilan Forum Advokat Pengawal Pancasila (FAPP) menyampaikan bahwa memang ada kebutuhan mendesak untuk mencabut status hukum ormas yang bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila. “Tindakan ini adalah produk hukum yang efektif,” ujar Teguh yang didampingi rekan-rekan advokat dari FAPP.
Pihaknya pun menguraikan bahwa sebelum dikeluarkan Perppu Ormas, secara faktual terdapat asas dari sejumlah ormas yang bertentangan dengan Pancasila, bahkan mengganti Pancasila melalui lisan dan tertulis dengan paham lain. Hal tersebut, menurutnya, menimbulkan kebencian dan tindakan tersebut berpotensi mengakibatkan chaos.
Gambar terkait
Pada akhir persidangan, Arief meminta para pihak untuk membuatkan kesimpulan jika ada keberatan atau hal-hal yang ingin disampaikan terkait persidangan. Sidang mendatang diagendakan pada Rabu, 6 September 2017 pukul 11.00 WIB.
(SP/lul) MHI 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar



Postingan Terupdate

Sidang Perkara No. 14/PUU-XXII/2024, Ahli : Sebagian Besar Notaris Berusia 70 Tahun Masih Kompeten Menjalankan Tugas

JAKARTA, MHI – Sidang permohonan uji materiil Pasal 8 ayat (1) huruf b dan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabata...

Postingan Terkini

Pilihan Redaksi