HTML

HTML

Minggu, 24 September 2017

Ahli: UU Kedokteran Adalah Legal Policy Pemerintah

JAKARTA ,19 September 2017-Sidang lanjutan uji materiil Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU Praktik Kedokteran) dan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Dokter (UU Pendidikan Dokter) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa . Agenda sidang perkara Nomor 10/PUU-XV/2017 tersebut adalah mendengar keterangan ahli dan saksi yang dihadirkan Pihak Terkait, yakni Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Pakar Hukum Administrasi dan Tata Negara Laica Marzuki memandang pasal yang dipermasalahkan Pemohon merupakan jenis legal policy. Artinya, pembuat kebijakan membuat kebijakan berkaitan dengan penerapan amanat UUD 1945. “Modelnya dengan membuat peraturan yang lebih rendah di bawah UUD 1945, dalam hal ini UU Praktik Kedokteran dan UU Pendidikan Dokter,” jelasnya dalam sidang yang dipimpin Wakil Ketua MK Anwar Usman.
Mantan Hakim Konstitusi Periode 2003-2008 tersebut menjelaskan perlunya standardisasi yang tinggi dalam dunia kedokteran. Menurutnya, seseorang perlu lulus uji kompetensi sebelum diangkat sumpah menjadi dokter ataupun dokter gigi. Hal seperti itulah yang diatur dalam dua undang-undang tersebut.
“Hal tersebut sesuai dengan alinea ke 4 Pembukaan Konstitusi, juga sejalan dengan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 tentang Pelayanan Kesehatan,” tegasnya.
Berdasarkan hal tersebut, menurut Laica, salah jika Pemohon menganggap pasal yang diujikan sebagai pengujian norma. Di sisi lain, ia juga menyinggung Putusan MK Nomor 88/PUU-XIII/2015 tentang uji materiil Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan. Putusan tersebut menyatakan hanya perlu satu wadah organisasi profesi untuk satu jenis tenaga kesehatan. Hal tersebut bertujuan agar mudah dalam pengawasan tenaga kesehatan. “Artinya, organisasi profesi kedokteran hanyalah IDI semata,” imbuhnya.
Hasil gambar untuk Ahli: UU Kedokteran Adalah Legal Policy Pemerintah
Sementara, Mantan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Idrus A. Paturusi menjelaskan perlu ada satu kesatuan dalam dunia praktik kedokteran. Hal tersebut agar terjamin kualitas para dokter dari hulu hingga hilir. Terpisahnya organisasi profesi (IDI) dengan organisasi pendidikan dokter (Kolegium Kedokteran Indonesia – KKI), menurut Idrus, membuat proses mekanisme penjagaan kualitas dokter menjadi lebih sulit.
“Saya tekankan Kolegium bersifat otonom. Organisasi profesi dalam praktiknya tidak dapat mencampuri urusan pendidikan. Kedua lembaga ini bekerja secara koordinatif dan bertanggung jawab pada Muktamar,” tegasnya selaku ahli yang dihadirkan IDI.
Senada dengan itu, Saksi David S. Perdanakusuma turut hadir menjelaskan hubungan organisasi KKI dengan IDI. Menurutnya, keduanya merupakan satu kesatuan, namun KKI yang berhimpun di tingkat pusat sebagai Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI) sifatnya otonom. “Namun dengan IDI, Kita saling mendukung untuk meningkatkan keselamatan dan pengembangan profesi dokter di Indonesia,” jelas ketua MKKI itu.
Adapun Pakar Public Relation Miranty Abidin menyinggung tentang persepsi masyarakat terkait adanya permohonan di MK. Baginya, hal tersebut menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat. “Masyarakat perlu organisasi kedokteran yang tunggal sifatnya informatif dan dapat dipercaya,” tegasnya.
Miranty menyebut profesi kedokteran memiliki tanggung jawab yang berat. Sebab, berkutat dengan nyawa dan kesehatan masyarakat luas. Artinya, dengan banyaknya organisasi profesi kedokteran membuat mutu dan kualitas kesehatan menjadi sulit diseragamkan.
Pemohon adalah yakni tiga orang dokter, yakni Judilherry Justam, Nurdadi Saleh, dan Pradana Soewondo. Para Pemohon menguji ketentuan Pasal 1 angka 4, angka 12, angka 13, serta Pasal 14 ayat (1) huruf a, Pasal 29 ayat (3) huruf d, dan Pasal 38 ayat (1) huruf c UU Praktik Kedokteran. Pemohon juga menguji ketentuan Pasal 24 ayat (1), Pasal 36 ayat (3), dan Pasal 39 ayat (2) UU Pendidikan Dokter.
Menurut para Pemohon, kewenangan IDI dalam penerbitan sertifikat kompetensi dan rekomendasi izin praktik dokter menjadikan IDI super body dan super power. Hal tersebut dinilai dapat menciptakan perilaku sewenang-wenang tanpa memerdulikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selain itu, Pemohon memandang tak perlu ada sertifikat kompetensi dari Kolegium Dokter Indonesia yang dibentuk IDI. Sebab, setiap lulusan Fakultas Kedokteran yang telah melalui uji kompetensi sesuai Pasal 36 ayat (3) UU Pendidikan Kedokteran akan mendapat sertifikat profesi berupa ijazah dokter.
(ars/lul) MHI 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar



Postingan Terupdate

Sidang Perkara No. 14/PUU-XXII/2024, Ahli : Sebagian Besar Notaris Berusia 70 Tahun Masih Kompeten Menjalankan Tugas

JAKARTA, MHI – Sidang permohonan uji materiil Pasal 8 ayat (1) huruf b dan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabata...

Postingan Terkini

Pilihan Redaksi