Guru Besar Hukum Pidana Universitas Trisaksi Andi Hamzah ahli yang dihadirkan pihak Pemohon dalam sidang perkara pengujian (KUHP), Selasa (1/8)
JAKARTA ,02 Agustus 2017, 07:37-Sidang uji materiil Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terkait frasa “makar” untuk dua permohonan, yakni perkara Nomor 7/PUU-XV/2017 dan Nomor 28/PUU-XV/2017, kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa. Agenda sidang kedua perkara tersebut adalah mendengarkan keterangan ahli dan saksi Pemohon.
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Trisaksi Andi Hamzah mengatakan Indonesia salah dalam mengartikan aanslag sebagai makar. Kata aanslag yang berasal dari bahasa Belanda apabila diterjemahkan ke bahasa Inggris artinya striking atau penyerangan. Berdasarkan hal tersebut, menurut Andi, terdapat konsepsi salah berpikir dengan langsung dimaknai sebagai makar. Padahal, di negara lain tidak ada kata makar untuk mengatur perlindungan pada keamanan negara.
“Di Inggris kejahatan pada kepala negara masuk jenis konspirasi. Sedangkan di Rusia termasuk permufakatan jahat. Saya berpendapat kata makar lebih cocok digantikan tindakan percobaan ” tegas ahli yang dihadirkan Pemohon tersebut.
Menurut Andi, aanslag dimaknai sebagai makar membawa konsekuensi negatif yang lebih banyak. Misal, orang berbicara mau mengganti sistem negara dapat dikatakan makar. Jika tak diiringi dengan tindakan nyata, maka seharusnya tak boleh dipersoalkan. Sebab, hal tersebut masuk dalam hak kebebasan berpendapat. “Jangan justru pasal makar ini berpotensi menghambat kebebasan berpendapat,” jelasnya.
Saat ini, kata Andi, banyak orang ditangkap dengan dalih kata makar. Misalnya, unjuk rasa ke DPR untuk kembali ke UUD1945 dianggap makar. Padahal tidak ada percobaan, tidak ada niat, serta tak ada permulaan pelaksanaan. \”Publik hanya berkoar-koar, tetapi dapat dimaknai sebagai makar,\” imbuhnya.
Ahli lainnya, Eko Riyadi menjelaskan makna kebebasan berpendapat dan kebebasan berekspresi. Kebebasan berpendapat (freedom of opinion), menurutnya, bersifat absolute dan non-dirigible rights. “Basisnya kalau di hukum internasional, itu ada di Pasal 4, kovenan internasional hak sipil dan politik. Dalam situasi emergency saja, kebebasan berpendapat tidak boleh dibatasi,” jelasnya.
Adapun kebebasan berekspresi, imbuhnya, dapat dibatasi. Tetapi tidak serta merta bisa dilakukan secara sewenang-wenang. Menurutnya, ada prosedur yang harus dipenuhi negara untuk melakukan pembatasan tersebut.
\”Nah, penggunaan pasal makar untuk mereka yang berdiskusi tentang situasi ke-Indonesia-an misalnya, adalah tindakan yang tidak proporsional menurut saya. Kalau masyarakat mengkritik kekuasaan, maka harus diberi ruang,” jelas Dosen FH Universitas Islam Indonesia (UII) tersebut.
Tidak Solutif
Sementara saksi Thaha Ahmad menyebut praktik yang tak tepat dalam penggunaan pasal makar di Papua. Menurutnya, pasal tersebut tidak membawa efek positif sama sekali untuk masyarakat di sana. “Sejak tahun 60-an, solusi Pemerintah kalau tidak operasi militer, ya penggunaan pasal makar. Ini membuat masyarakat semakin militan,” kata dia.
Ia menyebut tindakan tersebut tidak solutif. Menurutnya, pasal makar terlalu keras dan menutup mata pada kebudayaan masyarakat Papua. Padahal tindak tanduk di Papua tidak tepat jika selalu dikaitkan dengan makar. Thaha menegaskan terdapat beragam ekspresi kebudayaan Papua yang mesti dipahami lebih dalam.
Pemohon perkara Nomor 28/PUU-XV/2017 adalah Hans Wilson Wader, Meki Elosak, Jemi Yermias Kapanai, dan Pastor John Jonga, serta Yayasan Satu Keadilan dan Gereja Kemah Injil di Papua. Mereka menguji Pasal 104, serta Pasal 106 hingga Pasal 110 KUHP. Menurutnya, ketentuan mengatur soal makar tersebut digunakan Pemerintah untuk mengkriminalisasi Pemohon serta telah merugikan hak konstitusional Pemohon selaku warga negara.
Adapun perkara Nomor 7/PUU-XV/2017 diajukan oleh LSM Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). Para Pemohon menguji Pasal 87, Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 139a, Pasal 139b, dan Pasal 140 KUHP. Pemohon memandang tak ada kejelasan definisi kata aanslag yang diartikan sebagai makar. Padahal makar berasal dari kata Bahasa arab, sementara aanslag lebih tepat diartikan sebagai serangan. Hal tersebut menurut Pemohon mengaburkan makna dasar dari kata aanslag.
(ars/lul) MHI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar