HTML

HTML

Rabu, 30 Agustus 2017

25 Orang Penganut Ahmadiyah Uji UU Penodaan Agama

JAKARTA ,26 Agustus 2017-Aturan pelarangan penyimpangan agama yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (UU Penodaan Agama) diuji secara materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sebanyak 25 orang penganut Ahmadiyah tercatat sebagai Pemohon perkara Nomor 56/PUU-XV/2017 tersebut. Sidang pemeriksaan pendahuluan digelar MK pada Kamis di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam pokok permohonannya, para Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 UU Penodaan Agama. Menurut Para Pemohon, Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat (SKB 3 Menteri) yang disusun berdasarkan ketiga pasal tersebut merugikan para Pemohon.
SKB 3 Menteri tersebut menetapkan bahwa Ahmadiyah merupakan aliran sesat. Para Pemohon terdampak langsung, terbelenggu, dan terkekang bahkan ditindas hak untuk beragama maupun hak untuk melaksanakan ibadah karena SKB 3 Menteri. Banyak efek domino dirasakan dalam kehidupan penganut Ahmadiyah, di antaranya Para Pemohon tidak dapat beribadah di masjid yang dibangunnya karena pembakaran dan penyegelan, pencatatan pernikahan di KUA, hingga pengusiran para Pemohon dari lokasi tempat tinggal. Oleh karena itu, para Pemohon meminta agar permohonan tersebut dikabulkan.
“Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 Undang-Undang P3A dinyatakan secara konstitusionalitas bersyarat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, khususnya Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan (2), Pasal 28I ayat (2), Pasal 28G ayat (1), Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai, dipersangkakan terhadap warga negara di komunitas Ahmadiyah yang hanya beribadah di tempat ibadahnya secara internal dan tidak di muka umum,” ujar Kuasa Hukum Pemohon Fitri Sumarni di hadapan Panel Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams tersebut.
Nasihat Hakim
65b94040-2f61-4ca7-a07d-8fbfc89aa62a_43
Terhadap permohonan tersebut, Panel Hakim yang juga terdiri dari Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna dan Aswanto memberikan saran perbaikan. Palguna meminta agar para Pemohon mengubah kedudukan hukumnya yang semula sebagai perseorangan menjadi Ahmadiyah sebagai salah satu badan hukum. Jika tidak ingin diubah, lanjutnya, para Pemohon harus mengurai kerugian yang rinci karena keberlakuan pasal-pasal yang diuji. Palguna juga menekankan agar para Pemohon tidak hanya mendalilkan kasus faktual yang dialami, namun juga harus menjelaskan kerugian secara normatif.
“Saya ingin menekankan tadi satu hal bahwa kerugian hak konstitusional itu penting untuk diuraikan secara jelas karena itu adalah pintu masuk untuk ke permohonan, ya. Sebab kalau tidak jelas, tentu permohonan jadi kabur, tidak punya legal standing, Mahkamah tidak akan memeriksa pokok permohonannya,” sarannya.
Sementara Aswanto meminta agar para Pemohon mengubah petitum-nya. Ia menegaskan bahwa MK bukan merupakan positive legislator sehingga tidak dapat menambahkan norma seperti yang dimohonkan Pemohon dalam petitum.
“Ini memaksa MK untuk menjadi positive legislator, itu ya. Padahal itu tidak mungkin dilakukan. Artinya, kalau itu tidak diubah, permohonan Saudara kecil kemungkinan untuk dikabulkan karena MK tidak boleh menjadi positive legislator,” ujarnya.
Pemohon diberi waktu selama 14 hari kerja untuk memperbaiki permohonannya. Sidang berikutnya mengagendakan perbaikan permohonan.
(LA/lul) MHI 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar



Postingan Terupdate

Sidang Perkara No. 14/PUU-XXII/2024, Ahli : Sebagian Besar Notaris Berusia 70 Tahun Masih Kompeten Menjalankan Tugas

JAKARTA, MHI – Sidang permohonan uji materiil Pasal 8 ayat (1) huruf b dan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabata...

Postingan Terkini

Pilihan Redaksi