
JAKARTA ,25 Juli 2017 -Sidang perkara uji materiil UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis. Agenda sidang perkara Nomor 5/PUU-XV/2017 tersebut adalah mendengar keterangan DPR dan Ahli yang dihadirkan Indonesia Halal Watch (IHW) sebagai Pihak Terkait.
Ahli Pihak Terkait, M Yanis Musdja, menjelaskan tentang tren produk halal di dunia. Menurutnya, banyak negara, misalnya Thailand, Jepang, dan Amerika Serikat, semakin sadar akan pentingnya produk halal. Negara-negara tersebut lebih peduli pada produk halal meski umat Islamnya minoritas.

“Indonesia untuk kategori halal food tidak masuk sepuluh besar dunia. Padahal jumlah penduduk Muslimnya sekitar 200 juta,” ujar Ketua Yayasan Produk Halal Indonesia (YPHI) tersebut dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat.
Fakta tersebut, imbuhnya, menjadi peluang bagi Indonesia yang merupakan negara mayoritas Islam. “Ini peluang yang dapat dimanfaatkan Indonesia untuk menjadi pusat halal dunia,” tuturnya.

Senada dengan itu, Guru Besar Farmasi Universitas Gadjah Mada Abdul Rokhman, menyebut sertfikasi halal sudah diakui secara global. Dalam perdagangan internasional, logo halal bahkan sudah masuk codex alimentarius. “Codex alimentarius adalah kumpulan kode praktik, panduan yang berhubungan dengan makanan, produksi pangan dan keamanan pangan. Organisasi dunia juga sudah menerapkan logo halal, seperti World Health Organization (WHO) dan juga World Trade Organization (WTO),” jelasnya.
Ahli yang juga dihadirkan IHW itu juga menekankan sertifikasi produk halal penting untuk meningkatkan daya saing. “Fakta fakta tersebut membuat Indonesia tak boleh abai pada sertifikasi halal. Jika tidak peduli, akan membuat bangsa ini tertinggal dalam persaingan internasional,” tegasnya.

Terakhir, Direktur Pelaksana LPPOM MUI Lukmanul Hakim menyebut sertifikasi produk halal merupakan mandatory informasi halal. Sertifikasi halal merupakan upaya pemberian informasi ke umat Islam bahwa suatu produk halal dikonsumsi. “Ini instrumen untuk mendukung umat Islam menerapkan kepercayaannya,” jelas ahli yang juga dihadirkan IHW tersebut.
Kondisi saat ini, imbuhnya, umat Islam sulit untuk mengidentifikasi halal tidaknya makanan yang tidak ada logo halalnya. “(Makanan) yang rawan adalah makanan olahan yang komposisinya sulit terlacak, maka diperlukan kepastian kehalalannya,” ujarnya.
Menurutnya, untuk makanan yang jelas-jelas haram, seperti minuman keras atau babi bukan masalah. Sebab secara kasat mata sudah jelas keharamannya. Dirinya juga menepis kekhawatiran Pemohon yang menyatakan dengan sertifikasi halal makanan haram tidak dapat beredar. “Hakikat sertifikasi halal adalah pemberian informasi halal haramnya suatu produk makanan atau minuman, bukan pelarangan produk haram,” imbuh Lukmanul.
Lindungi Umat Islam

Adapun Anggota Komisi III DPR Muslim Ayub menyebut UU JPH bertujuan untuk melindungi kepercayaan umat Islam di Indonesia. Meski demikian, hal tersebut bukan berarti menciderai umat selain Islam. Sebab, makanan non halal tetap boleh beredar. “Umat Islam perlu informasi utuh terkait apa yang dimakan dan diminumnya. Supaya merasa aman dan tidak was was,” jelasnya.
Sebelumnya, Paustinus Siburian yang berprofesi advokat menilai UU JPH tidak memberikan pembatasan-pembatasan mengenai halal tidaknya suatu produk, baik menyangkut bahan maupun proses produksi. Pemohon yang mengajukan uji materiil Diktum huruf b, Pasal 1 ayat (1) dan (2), Pasal 3 huruf a, Pasal 4, dan Pasal 18 ayat (2) UU JPH merasa tidak tepat jika pembentuk undang-undang menyusun undang-undang tersebut untuk masyarakat. Sebab, Pemohon adalah anggota masyarakat yang tidak diwajibkan untuk mendapatkan jaminan produk halal.
Seharusnya, kata dia, undang-undang menyebutkan dengan tegas yang menjadi sasarannya, yaitu umat Islam atau konsumen muslim seperti dalam Fatwa MUI Nomor 12 Tahun 2009 tentang Standar Sertifikasi Penyembelihan Halal.

Selanjutnya, ia menjelaskan ketentuan yang diujikan menyatakan produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan harus bersertifikat halal (sudah dinyatakan halal sesuai syariat Islam, red). Pengertian yang demikian, menurutnya, akan berdampak suatu produk yang dibeli di luar negeri untuk penggunaan akhir di Indonesia tidak perlu bersertifikat halal karena tidak beredar dan diperdagangkan. Selain itu, menurutnya, dapat juga ditafsirkan pemesanan secara online untuk penggunaan akhir tidak wajib bersertifikat halal.
Selain itu, kewajiban sertifikasi halal dalam Pasal 4 UU JPH, menurutnya, akan menyebabkan kenaikan biaya yang tidak perlu dan membebankan konsumen. Dengan demikian, dalam petitum-nya, Pemohon meminta ketentuan tersebut dinyatakam bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
(ARS/lul) MHI 

Tidak ada komentar:
Posting Komentar