Sidang Pendahuluan perkara pengujian UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU), Selasa (18/7)
JAKARTA ,18 Juli 2017, 18:53 -Sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa . Pemohon perkara Nomor 35/PUU-XV/2017 tersebut adalah Anita Rahayu.
Pemohon menilai Pasal 1 angka 5 UU TPPU telah menentukan jenis-jenis transaksi yang dapat dikategorikan sebagai transaksi yang mencurigakan, namun ternyata nilai nominal minimum agar suatu transaksi dapat dikategorikan sebagai transaksi yang mencurigakan tidak diatur dalam pasal tersebut.
Dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a jo huruf b UU TPPU, terdapat suatu pedoman mengenai besar nilai nominal minimum dari suatu transaksi yang dapat dikategorikan sebagai “transaksi yang mencurigakan”. Nilai tersebut sebesar Rp500.000.000. Namun menurut Pemohon, nilai tersebut hanya secara samar dinyatakan karena yang diatur adalah suatu kewajiban yang dibebankan ke penyedia jasa keuangan untuk membuat laporan ke pihak otoritas, yakni Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Dijelaskan Pemohon, hakikat dibentuknya UU TPPU untuk menjaring para pelaku kejahatan, khususnya pelaku kejahatan kelas kakap. Sehingga harus terdapat suatu batasan nilai nominal tertentu dari suatu tindak pidana asal, agar dapat dikategorikan sebagai “tindak pidana pencucian uang”.
Menurut Pemohon, patut dan wajar apabila dipertegas suatu batasan dalam bentuk nilai nominal transaksi minimum untuk dapat dikategorikan sebagai “transaksi yang mencurigakan” vide Pasal 23 ayat 1 huruf a jo huruf b, yakni sebesar Rp500.000.000. Sebab, “transaksi yang mencurigakan” akan dapat berfungsi sebagai “bukti permulaan” atas dugaan terjadinya tindak pidana pencucian uang.
“Berdasarkan Pasal 69 UU TPPU untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana pencucian uang, maka tindak pidana asal tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu,” ujar Artha Dewi.
Lebih lanjut, menurut Pemohon, seharusnya dipahami bahwa yang dimaksud dengan “tidak wajib dibuktikan terlebih dulu” adalah tidak wajib adanya putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht).
“Tindak pidana pencucian uang merupakan follow up crime karena tindak pidana pencucian uang tidak dapat berdiri sendiri dan harus didahului oleh tindak pidana asal dan sesungguhnya tergolong ke dalam perbarengan tindak pidana. Meskipun tindak pidana asal, tidak harus dibuktikan terlebih dahulu,” imbuh Artha.
Ketidakjelasan dari Pasal 69 UU TPPU, menurutnya, akan berakibat terciptanya asumsi, persepsi kesimpulan dari para aparat penegak hukum yakni tidak perlu adanya tindak pidana asal. Padahal yang dimaksud Pasal 69 tersebut adalah sebatas mengenai waktu pembuktiannya saja, yaitu untuk membuktikan perkara TPPU tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya.
Nasihat Hakim
Menanggapi dalil-dalil yang disampaikan Pemohon, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menyarankan Pemohon agar menguraikan hak-hak konstitusional yang dirugikan dengan berlakunya ketentuan dari undang-undang yang diujikan.
“Kerugian konstitusional itu ada yang bersifat faktual dan potensial. Kerugian faktual adalah kerugian itu sudah terjadi. Sedangkan kerugian potensial adalah kerugian yang menurut penalaran yang wajar dipastikan akan terjadi. Itu ada kausalitasnya antara kerugian dengan norma yang diujikan. Logika itu harus Saudara jelaskan dalam permohonan Saudara,” papar Palguna.
Selain itu, Palguna menyarankan Pemohon untuk membangun argumentasi sebaik-baiknya mengapa norma yang diujikan bertentangan dengan UUD 1945. “Saya pribadi belum melihat dalam permohonan Saudara adanya argumentasi Saudara,” tandas Palguna.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Saldi Isra menilai struktur permohonan Pemohon belum memenuhi persyaratan. “Format permohonan Pemohon tidak lazim seperti yang biasa digunakan untuk mengajukan permohonan di Mahkamah Konstitusi. Saudara harus melihat format-format permohonan yang biasa digunakan di Mahkamah Konstitusi,” ungkap Saldi.
Hal lain, Saldi tidak menemukan argumentasi yang komprehensif soal perlunya penambahan huruf dan atau ayat pada pasal-pasal UU TPPU yang diujikan Pemohon, seperti disebutkan dalam petitum Pemohon.
(NTA/lul) MHI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar