JAKARTA ,18 Juli 2017. 18:50-Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana uji materiil Pasal 35 ayat (4) huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), Selasa. Permohonan yang teregistrasi Nomor 34/PUU-XV/2017 tersebut terkait dengan pembentukan Provinsi Madura.
Para Pemohon adalah sejumlah kepala daerah, yakni Bupati Bangkalan Muhammad Makmun, Wakil Bupati Sampang Fadhilah Budiono, Bupati Pamekasan Achmad Syafii, dan Bupati Sumenep Busyro Karim sebagai Pemohon I. Selain itu, Pemohon I juga terdiri dari Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dari sejumlah kabupaten, yakni Ketua DPRD Kabupaten Bangkalan Imron Rosyadi, Ketua DPRD Kabupaten Sampang Imam Ubaidillah, Ketua DPRD Kabupaten Pamekasan Halili, dan Ketua DPRD Kabupaten Sumenep Herman Dali Kusuma.
Adapun Pemohon II adalah Ketua Aliansi Ulama Madura (AUMA) Ali Karrar Shinhaji, Sekjen Badan Silahturrahmi Ulama dan Pesantren Madura (Bassra) Nurudin A Rachman, serta Ketua Umum Panitia Nasional Persiapan Pembentukan Provinsi Madura Achmad Zaini.
Diwakili Kuasa Hukum Deny Setya Bagus Yuherawan, para Pemohon menilai Madura sudah memenuhi segala persyaratan untuk menjadi satuan pemerintahan tersendiri. Hal itu merujuk pada segi persyaratan dasar/kapasitas daerah maupun persyaratan administratif sebagaimana diatur dalam UU Pemda.
“Namun ketentuan pasal yang diuji menjadi hambatan Madura menjadi provinsi. Sebab, isi pasal mensyaratkan pembentukan provinsi baru minimal ada lima kabupaten/kota,” jelasnya dalam sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Aswanto.
Madura, jelasnya, secara geografis merupakan kepulauan yang terpisah dari Jawa Timur. Dari segi bahasa, sosial budaya, dan kesejarahan pun dinilai memiliki corak yang berbeda dengan Jawa Timur. Menurutnya, ide awal untuk menjadikan Madura sebagai provinsi tersendiri sudah dilakukan sejak tahun 2001. Ide tersebut diawali dengan Seminar Nasional di Universitas Bangkalan (sekarang Universitas Trunojoyo Madura).
“Pembentukan Provinsi Madura telah mendapat dukungan dari empat Bupati dan Ketua DPRD se-Madura, serta persetujuan dari Gubernur dan DPRD Jawa Timur. Permasalahan sekarang hanya terganjal di pasal yang kita ujikan,” tegasnya.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan, Hakim Konstitusi Suhartoyo meminta para Pemohon untuk mempertegas kedudukan hukumnya. “Selain itu, perlu dipertegas apakah Ketua DPRD yang mengajukan permohonan sudah melakukan rapat paripurna. Sebab, ketika berbicara mewakili masyarakat di pengadilan, mekanisme tersebut perlu ditempuh sebagai legitimasi sah untuk berbicara mewakili masyarakat,” jelasnya.
Sementara, Aswanto mengkritik sampul luar permohonan yang tertulis kata ‘gugatan’, bukan ‘permohonan’. “Secara istilah beracara di MK kita tak mengenal gugatan, tetapi yang dikenal adalah permohonan,” katanya.
Aswanto juga mempertanyakan logo Universitas Trunojoyo yang terpampang di berkas perkara. Menurutnya, logo tersebut membawa konsekuensi hukum, yakni dapat ditafsirkan Universitas Trunojoyo sebagai penerima kuasa. “Mungkin maksudnya lembaga bantuan hukum dari Universitas Trunojoyo, jadi sebaiknya diperbaiki,” jelasnya.
(ARS/lul) MHI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar