HTML

HTML

Selasa, 18 Juli 2017

MK Gelar uji materiil UU JPH

JAKARTA ,17 Juli 2017-Sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu . Agenda sidang perkara Nomor 5/PUU-XV/2017 adalah mendengar keterangan ahli serta saksi yang dihadirkan Indonesia Halal Watch (IHW) selaku Pihak Terkait.
Kepala Pusat Studi Halal Thoyyib Universitas Brawijaya (UB) Sukoso menjelaskan pentingnya manfaat sertifikasi halal dari dua aspek, yakni sebagai perlindungan konsumen serta ekonomi. Dalam hal perlindungan konsumen, sertifikasi halal merupakan bentuk penghormatan pada hak umat Muslim. “Makanan halal menjadi bagian dari kepercayaan umat Muslim. Ditambah lagi mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim,” jelasnya.
Terkait ekonomi, sertifikasi halal menyangkut daya saing produk untuk tataran global. Menurutnya, banyak negara, meski yang beragama Islam minoritas, tetap peduli pada produk halal. “Misal di Thailand ataupun Jepang, makanan minuman di sana ada penerapan sertifikasi halal. Sebab, mereka paham sertifikasi halal berefek positif bagi produk yang dijualnya, yaitu memberikan kejelasan bagi konsumen mereka yang Muslim,” imbuh Sukoso.
Dengan fakta tersebut, Sukoso menegaskan Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam tidak boleh mengabaikan masalah sertifikasi halal. Apalagi masyarakat akar rumput di Indonesia makin peduli dengan isu halal. “Saat membeli suatu produk, mereka akan bertanya apakah sudah ada logo halalnya ataukah tidak,” ujarnya.
Sementara Abdul Kholik selaku saksi menegaskan pembahasan UU JPH saat masih menjadi RUU telah dilakukan secara sah dan meyakinkan. Menurutnya, RUU JPH secara formil dan substansi tidak bermasalah karena telah melalui proses partisipasi publik. “Masyarakat luas dilibatkan dalam debat intens serta masukan yang membangun,” jelas mantan tenaga ahli DPR tersebut.
Tak hanya itu, Kholik menyebut juga ada proses studi banding saat UU JPH sedang digodok. Studi banding dengan mempelajari proses sertifikasi halal yang sudah diterapkan di Malaysia, Singapura, Thailand, dan lima negara bagian di Amerika Serikat.
Bukan Islamisasi
Kepada ahli, Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch (IHW) Ikhsan Abdullah bertanya apakah sertifikasi produk halal termasuk islamisasi. Ia juga meminta ahli menegaskan dampak efek positif bagi pengusaha jika melakukan sertifikasi halal pada produk yang dijualnya.
Sukoso menegaskan sertifikasi halal bukanlah termasuk upaya islamisasi. Sebab, sertifikasi halal hakikatnya tidak membuat produk haram dilarang untuk beredar. Sertifikasi halal merupakan upaya membangun kenyamanan dan transparansi bagi konsumen Muslim yang butuh akan produk halal sehingga hak-hak mereka dalam mengonsumsi makanan minuman bisa terlindungi.
Sementara terkait dampak positif sertifikasi halal bagi pengusaha adalah masalah kepercayaan. Ketika produk yang dijual memberikan rasa kepercayaan pada konsumen, Sukoso meyakinkan akan berdampak secara tak langsung bagi penjualan. “Ambil contoh kasus Ajinomoto di tahun 2002 yang ternyata tidak halal. Ini menyebabkan penjualan mereka menurun pasca adanya isu tersebut,” jelasnya.
Sebelumnya, Paustinus Siburian yang berprofesi sebagai advokat menilai UU JPH tidak memberikan pembatasan-pembatasan mengenai halal tidaknya suatu produk, baik menyangkut bahan maupun proses produksi. Pemohon yang mengajukan uji materiil Diktum huruf b, Pasal 1 ayat (1) dan (2), Pasal 3 huruf a, Pasal 4, dan Pasal 18 ayat (2) UU JPH merasa tidak tepat jika pembentuk undang-undang menyusun undang-undang tersebut untuk masyarakat. Sebab, pemohon adalah anggota masyarakat yang tidak diwajibkan untuk mendapatkan jaminan produk halal.
Seharusnya, kata dia, undang-undang menyebutkan dengan tegas yang menjadi sasarannya, yaitu umat Islam atau konsumen muslim seperti dalam Fatwa MUI Nomor 12 Tahun 2009 tentang Standar Sertifikasi Penyembelihan Halal.
Selanjutnya, ia menjelaskan ketentuan yang diujikan menyatakan produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan harus bersertifikat halal (sudah dinyatakan halal sesuai syariat Islam, red). Pengertian yang demikian, menurutnya, akan berdampak suatu produk yang dibeli di luar negeri untuk penggunaan akhir di Indonesia tidak perlu bersertifikat halal karena tidak beredar dan diperdagangkan. Selain itu, menurutnya, dapat juga ditafsirkan pemesanan secara online untuk penggunaan akhir tidak wajib bersertifikat halal.
Selain itu, kewajiban sertifikasi halal dalam Pasal 4 UU JPH, menurutnya, akan menyebabkan kenaikan biaya yang tidak perlu dan membebankan konsumen. Dengan demikian, dalam petitum-nya, Pemohon meminta ketentuan tersebut dinyatakam bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
 (ARS/lul) MHI 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar



Postingan Terupdate

Sidang Perkara No. 14/PUU-XXII/2024, Ahli : Sebagian Besar Notaris Berusia 70 Tahun Masih Kompeten Menjalankan Tugas

JAKARTA, MHI – Sidang permohonan uji materiil Pasal 8 ayat (1) huruf b dan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabata...

Postingan Terkini

Pilihan Redaksi