Ova Emilia Guru Besar Bidang Pendidikan Kedokteran Universitas Gadjah Mada memberikan keahliannya dalam persidangan perkara uji materi UU Praktik Kedokteran, Senin (17/7).
JAKARTA ,18 Juli 2017 10:02-Sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU Praktik Kedokteran) dan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Dokter (UU Pendidikan Dokter) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Senin . Agenda sidang perkara Nomor 10/PUU-XV/2017 tersebut adalah mendengar keterangan saksi dan ahli yang dihadirkan Pemohon.
Direktur Magister Manajemen (MM) Universitas Indonesia (UI) Harryadin Mahardika selaku Ahli Pemohon berbicara tentang manajemen IDI selaku organisasi profesi. Dia menyebut organisasi tersebut terjebak dalam conflict of interest. Sebab, dalam kepengurusan periode 2014- 2019 ada anggota IDI yang merangkap jabatan dengan Kolegium Kedokteran Indonesia (KKI).
“Hal ini bertentangan dengan Pasal 18 huruf f UU Nomor 29 tahun 2014 tentang Praktik Kedokteran,” jelasnya dalam sidang yang dipimpin Wakil Ketua MK Anwar Usman.
Menurut Harryadin, organisasi profesi harus menjaga integritas dan kepercayaan publik, khususnya IDI yang bergerak dalam ranah kesehatan. “Jika konflik kepentingan terjadi, akan membuat masyarakat menjadi tak percaya,” tegasnya.
Harryadin menyebut fenomena itu sudah mendapat penyikapan dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dengan mengirim surat bertanggal 22 Februari 2017. “Yang bersangkutan (anggota yang merangkap jabatan, red) disuruh memilih untuk menjadi pengurus IDI ataukah KKI. Tidak boleh merangkap jabatan,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan setiap organisasi idealnya memiliki proses check and balance. Hal itu bertujuan untuk mencegah terjadinya conflict of interest. Menurut pandangannya, IDI saat ini belum menuju proses check and balance lantaran belum adanya badan pengawas yang bertugas memantau kinerja IDI.
Ahli Pemohon lainnya, Ova Emilia, menjelaskan makna Continuing Professional Development(CPD) dalam dunia kedokteran. Guru Besar Bidang Pendidikan Kedokteran Universitas Gadjah Mada itu menyebut CPD adalah mekanisme untuk mengukur sejauh mana pembelajaran yang telah dicapai mahasiswa FK dalam proses belajar. “Proses yang terjadi sekarang potensi conflict of interest-nya besar. Sebab kewenangan profesi kedokteran dan kolegium masih menjadi satu,” jelasnya.
Ia menganalogikan kondisi tersebut seperti “jeruk menilai jeruk”. Sebab, semua kewenangan kolegium dan profesi kedokteran bertumpu pada IDI. “Jika dibiarkan, proses CPD bisa hanya sebatas formalitas belaka. Ini dapat menimbulkan problem di sertifikasi dokter. Ujung terburuknya, dapat menimbulkan dokter yang tidak cakap dalam berpraktik,” tegasnya.
Sementara saksi Pemohon Frizar Irmansyah menyebut surat ijin praktik dokter dikeluarkan dengan menyampingkan pendapat perkumpulan organisasi profesi dokter spesialis. Dirinya menceritakan pengalamannya saat menjabata ketua Perkumpulan Obstetri Dan Ginekologi Indonesia (POGI) wilayah Jakarta tahun 2004. “Kami tidak merekomendasikan beberapa dokter untuk berpraktik, namun IDI justru memberikan izin,” jelasnya.
Di sisi lain, anggota DPR Teuku Taufiqulhadi memandang Pemohon tak memiliki kedudukan hukum untuk melakukan permohonan. Menurutnya tak ada kerugian konstitusional yang dialami. “Pemohon ini kan bukan mahasiswa baru lulus dari Fakultas Kedokteran. Jadi jelas tak ada kerugian konstitusional yang terjadi,” tegas politikus Nasdem tersebut.
Klarifikasi IDI
Saat persidangan, turut hadir Ketua IDI Ilham Oetama Marsis. Ia mengklarifikasi terkait sikap IDI yang dinilai Pemohon tidak patuh pada putusan MK dengan menolak kebijakan Dokter Layanan Primer (DLP). “Sikap IDI saya tegaskan tidak menolak putusan MK terkait program DLP. Ada informasi tak utuh sehingga seakan akan IDI dinilai seperti itu,” jelasnya.
Dia menyebut pihaknya tidak sepakat program DLP dibuka di Unpad karena belum ada payung hukumnya. Sebab, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang mengatur hal oyi belum ditandatangani presiden.
Selain itu, Ilham mengaku masih mengkritisi isi standar kompetensi dalam jurusan DLP dari sisi akademis yang tidak boleh dilanggar. Menurutnya, isi standar kompetensi DLP tersebut 80 persen mirip dengan jurusan kedokteran keluarga. “Maksimal diperbolehkan hanya 30 persen. Kalau lebih dari itu, tidak boleh,” tegasnya.
Menanggapi keterangan IDI, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna mengatakan belum ditandatanganinya RPP oleh presiden tidak dapat dijadikan alasan. Sebab, setelah suatu putusan MK diucapkan dan diketok palu, maka saat itu juga putusan tersebut sepenuhnya berlaku. “Terkait klarifikasi tersebut akan diuji kebenarannya oleh Pemohon. Apa nanti Pemohon dapat menyampaikan bukti-bukti untuk membantah klarifikasi IDI,” jelasnya.
Pemohon adalah tiga orang dokter, yakni Judilherry Justam, Nurdadi Saleh, dan Pradana Soewondo. Para Pemohon menguji ketentuan Pasal 1 angka 4, angka 12, angka 13, serta Pasal 14 ayat (1) huruf a, Pasal 29 ayat (3) huruf d, dan Pasal 38 ayat (1) huruf c UU Praktik Kedokteran. Pemohon juga menguji ketentuan Pasal 24 ayat (1), Pasal 36 ayat (3), dan Pasal 39 ayat (2) UU Pendidikan Dokter.
Menurut para Pemohon, kewenangan IDI dalam penerbitan sertifikat kompetensi dan rekomendasi izin praktik dokter menjadikan IDI super body dan super power. Hal tersebut dinilai dapat menciptakan perilaku sewenang-wenang tanpa memerdulikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selain itu, Pemohon memandang tak perlu ada sertifikat kompetensi dari Kolegium Dokter Indonesia yang dibentuk IDI. Sebab, setiap lulusan Fakultas Kedokteran yang telah melalui uji kompetensi sesuai Pasal 36 ayat (3) UU Pendidikan Kedokteran akan mendapat sertifikat profesi berupa ijazah dokter.
(ARS/lul) MHI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar