HTML

HTML

Selasa, 04 Juli 2017

Ketua MKRI Jadi Pembicara Dalam Kongres ke-17 MK se-Eropa di Batumi-Georgia

GEORGIA , 01 Juli 2017, 20:30-Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) Arief Hidayat menjadi pembicara dalam Kongres ke-17 MK se-Eropa di Batumi-Georgia, Kamis (29/6) sampai Sabtu (1/7). Arief, yang juga merupakan Presiden Asosiasi MK dan Institusi Sejenisnya se-Asia (AACC), hadir memenuhi undangan Ketua MK Georgia sebagai Presiden MK se-Eropa.
Dalam pemaparannya, Arief menyampaikan empat prinsip konstitusional dalam administrasi negara dan pemerintahan. “Pertama, Konstitusi sebagai norma yang lebih tinggi. Kedua, penetapan hierarki peraturan perundang-undangan di dalam Konstitusi. Ketiga, ketentuan yang tidak dapat diamendemen dalam Konstitusi. Keempat, judicial review terhadap amendemen Konstitusi,” ujar Arief.
Terkait isu pertama, Arief menyampaikan Konstitusi merupakan hukum tertinggi dalam suatu negara. Dengan demikian, tidak boleh ada norma peraturan perundang-undangan lain yang kedudukannya lebih tinggi atau bertentangan dengan Konstitusi. Namun, dari perspektif teori norma, Arief menjelaskan masih terdapat norma hukum yang lebih tinggi dari Konstitusi yang disebut sebagai norma fundamental negara. Menurutnya, norma tersebut bersifat pre-supposedatau ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat dalam suatu negara. Norma itu kemudian menjadi dasar bagi pembentukan Konstitusi itu sendiri. “Dengan kata lain, norma ini terlebih dahulu ada sebelum terbentuknya Konstitusi dan pada umumnya termuat dalam bagian pembukaan sebuah Konstitusi,” jelasnya.
Mengenai penetapan hierarki peraturan perundang-undangan dalam Konstitusi, Arief menyampaikan dapat atau tidaknya pemuatan suatu ketentuan di dalam Konstitusi tergantung dari kesepakatan bersama yang diambil lembaga pembentuk Konstitusi dari suatu negara. Namun, menurutnya, terdapat kelebihan dan kekurangan dalam penetapan hierarki dalam Konstitusi.
“Di satu sisi, penetapan tersebut akan memperoleh posisi yang sangat kuat. Di sisi lain, penetapan tersebut akan membawa kesulitan apabila suatu saat diperlukan perubahan hierarki. Sebab, proses dan syarat perubahan Konstitusi jauh lebih sulit dibandingkan perubahan undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya,” papar Arief.
Selanjutnya, terhadap ketentuan yang tidak dapat diamendemen dalam konstitusi, Arief menjelaskan ketentuan tersebut berkaitan dengan bentuk dan sistem pemerintahan, struktur politik dan pemerintahan negara, ideologi fundamental negara, hak-hak dasar, dan integrasi negara. Dalam perspektif ketatanegaraan Indonesia, lanjut Arief, salah satu alasan dimuatnya ketentuan tersebut dilatarbelakangi atas pengalaman sejarah Indonesia yang pernah mengubah bentuk negaranya dari negara kesatuan menjadi negara serikat atas dasar tekanan dari negara lain. Oleh karena itu, pasca perubahan UUD 1945, bentuk negara kesatuan telah ditetapkan di dalam Konstitusi sebagai ketentuan yang tidak dapat diubah.
Namun demikian, terhadap ketentuan-ketentuan yang tidak dapat diamendemen, sebenarnya tetap dapat diubah sepanjang tidak terdapat perbedaan syarat atau proses amendemen berdasar ketentuan khusus tersebut. “Amendemen terhadap ketentuan tersebut dapat terjadi melalui proses yang dinamakan double amendment procedure. Artinya, terlebih dahulu dilakukan perubahan terhadap ketentuan yang memuat larangan mengubah pasal tertentu, baru kemudian dilakukan amendemen terhadap ketentuan yang sebelumnya tidak dapat diamendemen tersebut,” urai Arief.
Terakhir, Arief memaparkan terkait dengan judicial review terhadap amendemen Konstitusi. Menurutnya, beberapa negara telah memiliki pengalaman untuk membatalkan hasil amendemen Konstitusi. Salah satu alasannya adalah bertentangan dengan basic doctrine yang dikembangkan oleh lembaga pengadilan.
Menurut Arief, kewenangan lembaga pengadilan untuk memeriksa dan membatalkan amendemen Konstitusi idealnya harus diberikan langsung oleh Konstitusi sebagai kewenangan konstitusional. Sebab, lembaga pengadilan tidak seharusnya menambah kewenangan yang sangat krusial di luar kewenangan yang telah diberikan oleh Konstitusi.
Namun demikian, Arief menyampaikan perlunya dipertimbangkan terlebih dahulu objek judicial review terhadap amendemen Konstitusi tersebut, apakah terkait dengan syarat prosedur atau substansi dari hasil amendemennya. Apabila terkait dengan prosedur yang salah atau tidak sesuai dengan Konstitusi dan peraturan yang berlaku, maka dapat saja amendemen tersebut dibatalkan. Sebaliknya, apabila terkait dengan substansi dan ketentuan yang tertuang dalam hasil amendemen yang proses amendemennya telah sesuai dengan prosedur yang ditetapkan, maka seyogianya tidak dapat dilakukan judicial review oleh lembaga pengadilan. Sebab, lanjut Arief, salah satu tugas dan kewajiban utama Hakim Konstitusi adalah mematuhi dan menjalankan ketentuan dalam Konstitusi, bukan untuk mengesampingkan isi Konstitusi.
“Sistem ketatanegaraan Indonesia tidak memberikan kewenangan, baik bagi MK maupun MA, untuk melakukan judicial review terhadap amendemen UUD 1945,” jelas Arief.
Kongres tersebut secara resmi dibuka oleh Presiden Georgia dan dihadiri oleh Perdana Menteri, Ketua Parlemen Georgia, dan 41 anggota Asosiasi MK se-Eropa. Turut hadir beberapa Presiden Asosiasi MK regional dan Bahasa, antara lain Presiden Asosiasi MK dan Institusi Sejenisnya se-Asia, Presiden Asosiasi MK se-Afrika, dan Presiden Asosiasi MK berbahasa Perancis.
 (HS/Luh/lul)  MHI 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar



Postingan Terupdate

Sidang Perkara No. 14/PUU-XXII/2024, Ahli : Sebagian Besar Notaris Berusia 70 Tahun Masih Kompeten Menjalankan Tugas

JAKARTA, MHI – Sidang permohonan uji materiil Pasal 8 ayat (1) huruf b dan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabata...

Postingan Terkini

Pilihan Redaksi