Dua ahli yang dihadirkan pihak Pemerintah Djoko Marihandono dan Roos Akbar dalam sidang Pengujian UU Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasa (Perpu 51/1960), Selasa (6/6)
JAKARTA , 06 Juni 2017, 19:07-Sidang lanjutan uji materiil Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasa (Perpu 51/1960) digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa . Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan ahli yang dihadirkan Pemerintah.
Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia Djoko Marihandono menjelaskan sejarah prinsip demokrasi di dunia tercetus dalam Revolusi Perancis 1789. Saat itu, jelasnya, terdapat pengakuan bahwa hak milik itu adalah suci. “Oleh karena itu, hak tersebut harus dilindungi dan diamankan oleh penguasa, dalam ini Pemerintah atau negara. Guna melaksanakan prinsip itu harus dibuat aturannya. Sehingga apabila terjadi pengambil-alihan hak tersebut demi kepentingan umum, dapat diberikan ganti rugi,” papar Djoko kepada Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat.
Djoko mengatakan semua tindakan melawan hukum yang melanggar hak milik, termasuk hak milik nyawa, harus diproses oleh negara tanpa harus menunggu laporan dari pihak yang dirugikan. “Karena pada masa kolonial di abad ke-18, dalam sistem hukum di wilayah Hindia Belanda, apabila tidak ada yang menuntut, maka tidak akan dibawa ke ranah pengadilan,” imbuhnya.
Lebih lanjut, ia menegaskan hak-hak yang dimiliki masing-masing pihak baik pribadi, kelompok, organisasi, bahkan negara dilindungi oleh negara berdasarkan status kepemilikan dari benda atau harta yang dimilikinya itu.
“Sejak pemerintah kolonial Belanda mengakui kemerdekaan bangsa Indonesia pada 27 Desember 1949, maka seluruh wilayah Hindia Belanda diserahkan kepada pemerintah Republik Indonesia yang berdaulat. Termasuk di dalamnya semua perusahaan negara milik pemerintah kolonial Belanda, diserahkan kepada pemerintah Republik Indonesia berdasarkan Konferensi Meja Bundar,” jelasnya.
Sementara Guru Besar Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Roos Akbar menjelaskan kecenderungan kota yang terus berkembang. “Kita melihat bahwa sebetulnya kota itu selalu berkembang. Ada perkembangan teknologi dan transportasi, karakteristiknya juga berubah. Tapi satu yang pasti, tentunya kota itu harus direncanakan karena bagaimanapun juga lahan itu terbatas, penduduk bertambah, aktivitas berubah,” urai Roos sebagai ahli yang dihadirkan Pemerintah.
Perencanaan kota, ungkap Roos, bertujuan untuk mewujudkan peningkatan kualitas lingkungan kehidupan dan kesejahteraan masyarakat kota. Paradigma perencanaan juga berubah. “Kalau dulu perencanaan disusun sekadar hanya dari aspek fisik. Kemudian bergeser dengan melihat aspek manajemennya. Harus realistis, bisa diterapkan, terutama untuk kesejahteraan masyarakat itu sendiri,” imbuh Roos.
Sehingga, imbuhnya, perencanaan bukan hanya pembangunan infrastruktur, tetapi harus dilihat bagaimana konteks sumber daya manusia, keuangan dan sebagainya.
Permohonan teregistrasi dengan Nomor 96/PUU-XIV/2016 tersebut dimohonkan oleh Rojiyanto, Mansur Daud P., dan Rando Tanadi. Para Pemohon adalah korban penggusuran paksa oleh Pemerintah Daerah. Rojiyanto merupakan korban penggusuran paksa di daerah Papanggo, Jakarta Utara, yang dalam proses penggusuran mengalami kekerasan. Terhadap penggusuran tersebut, Pemohon mengajukan gugatan ke Pengadilan hingga pada tingkat kasasi, namun kalah karena dalam putusannya, Mahkamah Agung menyatakan Perpu 51/1960 tidak mewajibkan Pemerintah memberikan ganti rugi kepada warga korban penggusuran paksa.
Sementara itu, Mansur Daud merupakan korban penggusuran paksa di kawasan Duri Kepa, Jakarta Barat. Pemohon diberikan surat peringatan dari pemerintah daerah yang ditujukan atas nama Asun, dkk, namun sepengetahuan Pemohon di daerah tersebut tidak ada yang bernama Asun. Adapun Rando Tanadi adalah seorang pelajar yang terpaksa putus sekolah akibat penggusuran. Para Pemohon merasa dirugikan dengan ketentuan Pasal 2, Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Perpu 51/1960. Ketentuan-ketentuan tersebut mengatur tentang kewenangan penguasa daerah yang dapat memaksa pengguna lahan untuk mengosongkan lahannya.
(NTA/lul) MHI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar