HTML

HTML

Selasa, 23 Mei 2017

UU Ketransmigrasian Diuji Terkait Persoalan Peralihan Kepemilikan Tanah

Kuasa Hukum Pemohon yang diwakili Baron Harahap dan Resa Indrawan saat menyampaikan  permohonan perkara uji materi UU Ketransmigrasian, Senin (22/5)
JAKARTA ,22 Mei 2017,18:43-MK gelar sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian juncto UU Nomor 29 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian (UU Ketransmigrasian), Senin .
Sidang perkara teregistrasi Nomor 21/PUU-XV/2017 tersebut dipimpin Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna dengan didampingi Hakim Konstitusi Aswanto serta Saldi Isra.
Para Pemohon, yakni Sudding Dg Nyau, Muntu Dg Situju, dan Sakarang Dg Tappo memohonkan uji materiil Pasal 23 ayat (1) UU Ketransmigrasian karena merasa dirugikan hak konstitusionalnya atas kepemilikan tanah berdasarkan surat kepemilikan sah di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Tanah yang dimilikinya tersebut ditetapkan Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan sebagai pencadangan tanah untuk lokasi pemukiman transmigrasi yang terletak di Desa Punaga Kecamatan Mangarabombang.
Pasal 23 (1) UU Ketransmigrasian menyatakan, “Pemerintah menyediakan tanah bagi penyelenggaraan transmigrasi.
Dalam permohonannya, para Pemohon yang diwakili Baron Harahap dan Resa Indrawan menyampaikan berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Nomor 1431/V/2007, tanah milik para Pemohon tersebut telah berganti kepemilikan menjadi milik negara atau pemerintah daerah.
“Perihal pengalihan kepemilikan ini Pemohon baru mengetahuinya pada 9 Maret 2017 berdasarkan surat dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Sulawesi Selatan Nomor 032/858/Disnakertrans karena memang tidak pernah diberitahukan kepada Pemohon selama ini dan juga tidak pernah diberikan ganti rugi atau kompensasi, sedangkan tanah yang ditetapkan sebagai pencadangan tersebut merupakan tanah milik para pemohon secara sah menurut hukum,” terang Resa di hadapan para Hakim Konstitusi di Ruang Sidang Panel.
Pemohon menilai hal tersebut berpotensi merugikan karena Sertifikat Hak Milik telah batal dengan sendirinya dan tanah milik Pemohon telah beralih kepada negara atau Pemerintah Daerah. Resa menambahkan, dengan adanya SK Gubernur dan beralihnya kepemilikan tanah menjadi milik negara, Pemohon khawatir dapat ditersangkakan dengan dilaporkan kepada pihak yang berwajib terhadap peralihan kepemilikan tanah tersebut.
Menurut Pemohon, kerugian yang dialaminya itu disebabkan UU Ketransmigrasian yang diujikan tidak menyebutkan tahap-tahap yang akan dilakukan Pemerintah setelah penyediaan tanah bagi kebutuhan transmigrasi tersebut agar pemilik tanah bersertifikat merasa tidak dirugikan apabila tanah mereka beralih kepemilikan kepada negara atau pemerintah daerah.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan, Hakim Konstitusi Palguna untuk menekankan permohonan pada masalah konkret, bukan masalah konstitusional.
“Masalah ini konkret. Jadi, ini bukan masalah konstitusional normanya karena ada SK Gubernur dan sesungguhnya ini bisa disampaikan ke Pengadilan Hukum Tata Negara. Dalam permohonan ini, Pemohon berarti meminta pada Mahkamah untuk merumuskan norma baru yang tidak diatur dalam undang-undang ini. Jadi, intinya ini itu mengenai pelaksanaan norma atau teknis. Mahkamah tidak punya wewenang untuk merumuskan norma baru seperti itu,” urai Palguna pada kuasa hukum Pemohon.
Hakim Konstitusi Palguna pun meminta pada Pemohon untuk memperjelas kerugian hak konstitusionalnya. Di samping itu, Palguna juga meminta Pemohon untuk membedakan antara legal standing Pemohon, alasan permohonan, dan petitum apabila ingin perkara dimajukan pada sidang berikutnya.
Hakim konstitusi Aswanto pun memberikan pandangan yang sama dan menyampaikan nasihat pada Pemohon. “Dalam perkara ini, belum ditemukan di mana persoalan konstitusionalnya. Kerugian yang diuraikan itu secara asumsi tidak meyakinkan bahwa itu persoalan konstitusional,” terang Aswanto.
Hakim Konstitusi Saldi Isra pun menegaskan hal yang sama. “Berdasarkan SK penetapan pencadangan tanah yang merujuk pada Pasal 23 ayat (1) itu tidak berarti pasal itu saja yang berlaku. Pemohon harap melihat pasal lain dan aturan hukum lainnya yang terkait sehingga prinsip dasar dari pengujian undang-undang ini dapat diuraikan potensi yang merugikan Pemohon” tambah Saldi.
Diakhir sidang, Hakim Konstitusi Palguna menyampaikan pada Pemohon diberi waktu empat belas hari untuk memperbaiki permohonan dan harus menyerahkan kembali berkas permohonannya selambat-lambatnya Senin, 5 Juni 2017 pukul 10.00.
(SP/lul) MHI 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar



Postingan Terupdate

Sidang Perkara No. 14/PUU-XXII/2024, Ahli : Sebagian Besar Notaris Berusia 70 Tahun Masih Kompeten Menjalankan Tugas

JAKARTA, MHI – Sidang permohonan uji materiil Pasal 8 ayat (1) huruf b dan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabata...

Postingan Terkini

Pilihan Redaksi