HTML

HTML

Kamis, 25 Mei 2017

Pakar : Belanda Merupakan Satu-satunya Negara Eropa Yang Memiliki Pasal Makar

Tiga ahli yang dihadirkan pihak Pemohon seusai diambil sumpah dalam perkara pengujian UU Peraturan Hukum Pidana (KUHP), Selasa (23/5).
JAKARTA ,24 Mei 2017-Sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP) digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa . Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan tiga orang ahli yang dihadirkan Pemohon.
Dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat, Pakar Hukum Pidana Ahmad Sofian menjelaskan sejarah rumusan makar. “Menurut Andi Hamzah, Belanda merupakan satu-satunya negara Eropa yang memiliki pasal makar. KUHP negara lain umumnya mencantumkan delik attempt yang berarti percobaan membunuh raja atau presiden,” katanya.
Munculnya delik aanslag dalam KUHP Belanda, lanjutnya, diawali dengan peristiwa revolusi komunis di Rusia tahun 1918. Tsar Nicolas II, yang masih memiliki hubungan darah dengan raja Inggris dan raja Belanda, beserta seluruh keluarganya dibantai oleh komunis. Revolusi komunis tersebut membuat para raja di Eropa khawatir. Namun, ketakutan di Belanda melebih ketakutan daripada negara-negara lain di Eropa.
“Maka Belanda segera membuat Undang-Undang Anti Revolusi pada tanggal 28 Juli 1920 melalui stbl No. 619. Aanslag dalam KUHP Belanda baru muncul pada tahun tersebut. Sebelumnya, KUHP Belanda tidak mengenal aanslag,” ungkap Sofian.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa aanslag atau makar merupakan delik yang di dalamnya hanya terdapat dua unsur, yaitu niat dan permulaan pelaksanaan. Sedangkan “percobaan” sebagaimana diatur dalam pasal 53 KUHP memiliki tiga unsur yaitu niat, permulaan pelaksanaan, serta permulaan pelaksanaan itu terhenti bukan karena keinginan pelaku semata.
Ahli Pemohon berikutnya, Pakar Pidana Politik Sri Wiyanti Eddyono mengatakan bahwa semua pasal yang dimohonkan Pemohon dalam KUHP merupakan pasal yang rumusannya menimbulkan perbedaan penafsiran. Hal tersebut karena kejahatan makar sebagai kejahatan terhadap keamanan negara merupakan bagian dari hukum pidana politik dan penerapannya tidak bisa lepas dari kepentingan politik dalam menafsirkan keamanan negara.
“Hal ini dapat dilihat dari satu era dengan era lainnya, baik masa orde lama, orde baru dan era reformasi. Dengan demikian saya menyarankan bahwa keamanan negara perlu diletakkan sebagai keamanan kehidupan bernegara, dalam kehidupan bernegara terdapat berbagai unsur dan tidak terbatas pada warga negara maupun institusi negara,” papar Sri.
Dengan demikian, imbuhnya, dalam kerangka hukum pidana politik, hukum pidana harus melindungi kehidupan orang perorangan, kelompok masyarakat dan negara secara bersamaan. Oleh karena itu, kebutuhan adanya penafsiran yang terbatas dan jelas tentang tindakan makar menjadi penting. “Penafsiran ini akan membantu para pelaksana hukum untuk bekerja sebaik-baiknya dalam menerapkan hukum yang berkeadilan dengan tidak harus menunggu pengesahan RUU KUHP,” ujarnya.
Sementara, Fadillah Agus selaku pakar hukum humaniter menerangkan apabila kata “makar” dimaknai sebagai kata aanslag yang berarti “serangan”, maka pengertian “serangan” dapat ditinjau dari sudut pandang hukum humaniter dan hukum pidana internasional.
“Kata ‘serangan’ yang dalam bahasa Inggrisnya disebut attack setidaknya dijumpai pada dua hukum internasional. Kata “attack” banyak digunakan pada instrumen hukum humaniter internasional, bahkan sebelum Konvensi Jenewa 1949 dibuat,” imbuh Fadillah.
Menurut Fadillah, pengertian “serangan” adalah suatu perbuatan fisik dengan menggunakan sarana tertentu, baik metode maupun alat bertempur yang ditujukan kepada orang atau obyek tertentu untuk mencapai suatu tujuan. Sedangkan pengertian “serangan” menurut hukum humaniter internasional adalah perbuatan kekerasan dengan menggunakan cara atau senjata tertentu yang ditujukan kepada pihak lawan untuk tujuan mengalahkan atau melemahkan pihak lawan tersebut.
Uji materiil KUHP terkait makar dimohonkan oleh Pengurus ICJR Syahrial Wiriawan Martanto. Pemohon menguji norma Pasal 87, Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 139a, Pasal 139b dan Pasal 140 KUHP. Seluruh pasal tersebut mengatur tentang perbuatan “makar”.
Pada sidang pemeriksaan pendahuluan, Erasmus Napitupulu selaku kuasa hukum Pemohon menilai tidak ada kejelasan dari definisi kata “makar” dalam KUHP yang merupakan terjemahan dari kata aanslag. Menurut Erasmus, makar bukan bahasa Indonesia yang dipahami, melainkan dari bahasa Arab. Sedangkan aanslag artinya serangan. Erasmus menjelaskan tidak jelasnya penggunaan frasa aanslag yang diterjemahkan sebagai makar, telah mengaburkan pemaknaan mendasar dari aanslag.
(NTA/lul) MHI 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar



Postingan Terupdate

Sidang Perkara No. 14/PUU-XXII/2024, Ahli : Sebagian Besar Notaris Berusia 70 Tahun Masih Kompeten Menjalankan Tugas

JAKARTA, MHI – Sidang permohonan uji materiil Pasal 8 ayat (1) huruf b dan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabata...

Postingan Terkini

Pilihan Redaksi