HTML

HTML

Jumat, 19 Mei 2017

Nurhasan Ismail : Perpu 51/1960 Untuk Berikan Perlindungan Bagi Perseorangan dan Badan Hukum

Guru Besar Hukum Agraria Universitas Gajah Mada (UGM) Nurhasan Ismail ahli yang dihadirkan Pemerintah dalam persidangan perkara uji materi UU Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya, Selasa (16/5).
JAKARTA , 18 Mei 2017 ,16:46 -Sidang pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak Atau Kuasanya (Perppu 51/1960) kembali digelar di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK). Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan Ahli Pemerintah dan Pihak Terkait, Selasa.
Guru Besar Hukum Agraria Universitas Gajah Mada (UGM) Nurhasan Ismail dihadirkan Pemerintah sebagai ahli. Nurhasan mengatakan Perppu 51/1960 masih diperlukan untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak atau kepentingan perseorangan atau badan hukum pemegang hak atas tanah dari tindakan pemakaian tanah tanpa izin pemegang hak. Pemakaian tersebut di antaranya pendudukan, penguasaan, dan/atau penggunaan tanah yang berpola mafia diikuti dengan penjualan tanah secara informal kepada pihak ketiga.
“Juga penguasaan tanah dan pengembalian bahan tambang yang ada di bawah tanah sebelum ada persetujuan apapun dengan pemegang hak atas tanah. Selain itu, penguasaan dan pemanfaatan oleh pihak lain atas bagian-bagian dari tanah yang sudah diberikan izin pemanfaatan hutan tanaman industri atau sudah diberikan izin usaha perkebunan dan hak guna usaha,” urai Nurhasan kepada Majelis Hakim yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat.
Di samping itu, lanjut Nurhasan, Perppu 51/1960 diperlukan untuk memberikan perlindungan terhadap hak atau kepentingan warga masyarakat hukum adat dari tindakan pemakaian tanpa izin pimpinan masyarakat hukum adat atas bagian tanah di wilayah hak ulayatnya.
“Perppu 51/1960 juga masih diperlukan untuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan publik atau masyarakat yang lebih luas dari tindakan pemakaian tanpa izin dari instansi yang berwenang atas tanah yang berfungsi sebagai pencegah terjadi bencana, ruang terbuka hijau perkotaan, serta cadangan atau obyek reforma agraria,” papar Nurhasan.
Dikatakan Nurhasan, jika memahami secara utuh keseluruhan pasal dan penjelasan Perppu 51/1960, di dalamnya terkandung semangat bahwa Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah sebagai pelaksana kewenangan hak menguasai negara harus bersikap sebagai “kepala keluarga” yang harus mengayomi semua rakyat sebagai anggota keluarganya.
Asas Domein Verklaring
Sementara itu, Nina Zainab selaku kuasa hukum Forum Warga Kota Jakarta (Pihak Terkait) menyampaikan bahwa Perppu 51/1960 masih menganut asas Kolonial Domein Verklaring,yaitu setiap tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya dianggap sebagai milik negara.
“Padahal asas tersebut telah dihapus sejak terbitnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Aturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang mewajibkan bahwa Pemerintah juga harus mendaftarkan aset-asetnya berupa tanah untuk mendapatkan sertifikat,” jelas Nina.
Lebih lanjut, Nina menjelaskan besarnya pengaruh Perppu 51/1960 menciptakan efek superioritas kepada Pemerintah untuk melakukan tindakan semena-mena kepada rakyat, dalam hal ini melakukan penggusuran paksa. “Pemerintah menjadi semakin merasa memiliki kekuasaan penuh untuk merampas hak rakyat kecil yang sepatutnya harus dilindungi hak-haknya,” tegas Nina.
Selain itu, menurutnya, pengaturan Pasal 2, Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 6 ayat (1) huruf a, b, c, d serta Pasal 6 ayat (2) Perpu 51/1960 menimbulkan pertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.” Pasal-pasal tersebut juga dinilai bertentangan dengan Pasal 28B ayat (2), Pasal 28G ayat (2), Pasal 28H ayat (4) maupun Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Permohonan teregistrasi dengan Nomor 96/PUU-XIV/2016 tersebut dimohonkan oleh Rojiyanto, Mansur Daud P., dan Rando Tanadi. Para Pemohon adalah korban penggusuran paksa oleh Pemerintah Daerah. Rojiyanto merupakan korban penggusuran paksa di daerah Papanggo, Jakarta Utara, yang dalam proses penggusuran mengalami kekerasan. Terhadap penggusuran tersebut, Pemohon mengajukan gugatan ke Pengadilan hingga pada tingkat kasasi, namun kalah karena dalam putusannya, Mahkamah Agung menyatakan Perpu 51/1960 tidak mewajibkan Pemerintah memberikan ganti rugi kepada warga korban penggusuran paksa.
Sementara itu, Mansur Daud merupakan korban penggusuran paksa di kawasan Duri Kepa, Jakarta Barat. Pemohon diberikan surat peringatan dari pemerintah daerah yang ditujukan atas nama Asun, dkk, namun sepengetahuan Pemohon di daerah tersebut tidak ada yang bernama Asun. Adapun Rando Tanadi adalah seorang pelajar yang terpaksa putus sekolah akibat penggusuran. Para Pemohon merasa dirugikan dengan ketentuan Pasal 2, Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Perpu 51/1960. Ketentuan-ketentuan tersebut mengatur tentang kewenangan penguasa daerah yang dapat memaksa pengguna lahan untuk mengosongkan lahannya.
(NTA/lul) MHI 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar



Postingan Terupdate

Sidang Perkara No. 14/PUU-XXII/2024, Ahli : Sebagian Besar Notaris Berusia 70 Tahun Masih Kompeten Menjalankan Tugas

JAKARTA, MHI – Sidang permohonan uji materiil Pasal 8 ayat (1) huruf b dan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabata...

Postingan Terkini

Pilihan Redaksi