HTML

HTML

Selasa, 30 Mei 2017

MK Gelar Sidang Uji UU No. 30 Th 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU AAPS)

Kuasa Hukum Pemohon Heru Widodo saat menyampaikan pokok-pokok permohonan perkara uji materi UU Arbitrase, Senin (29/5) di Ruang Sidang Panel Gedung MK.
JAKARTA ,29 Mei 2017,14:55 -Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU AAPS), Senin . Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 26/PUU-XV/2017 tersebut diajukan oleh Zainal Abidinsyah Siregar yang merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 70, Pasal 71 dan Penjelasan Umum UU AAPS.
Pasal 70 UU AAPS menyebutkan, “Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut: Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu; Setelah putusan diambil ditemukan yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa”.
Sedangkan Pasal 71UU AAPS berbunyi,“Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri\\\”.
Pemohon menilai ketentuan Pasal 70 UU AAPS mengandung tiga frasa yang menimbulkan persoalan konstitusional. Pertama frasa \\\”diduga\\\”. Kedua, frasa \\\”a) surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan, diakui palsu atau dinyatakan palsu\\\”.Ketiga frasa \\\”c) putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa\\\”.
Pemohon menilai bahwa ketiga frasa tersebut bersifat sumir dan tidak jelas. “Frasa ‘dugaan’yang berarti sesuatu yang masih perkiraan, sangkaan, kecurigaan tidak bisa serta merta digunakan untuk membatalkan putusan abitrase,” kata kuasa hukum Pemohon Adi Kurniawan didampingi tim kuasa hukum Pemohon lainnya.
Sedangkan alasan pembatalan putusan arbitrase karena adanya surat atau dokumen yang diakui atau dinyatakan palsu tanpa melalui proses pembuktian pidana terlebih dahulu, menurutnya, merusak sendi-sendi peradilan dan hak-hak konstitusional seseorang yang dilindungi hukum. Sementara itu, alasan pembatalan putusan arbitrase karena adanya tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam sengketa dinilai Pemohon sangat sumir dan terlalu sederhana karena perbuatan \\\”tipu muslihat\\\” adalah suatu tindak pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Lebih lanjut dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan bahwa frasa \\\”antara lain\\\”pada alinea ke-12 Penjelasan Umum UU AAPS juga mengaburkan keberadaan tiga alasan pembatalan putusan arbitrase yang ditentukan secara limitatif dalam Pasal 70 UU AAPS.
Pemohon menjelaskan kedudukan hukumnya sebagai pihak yang dimenangkan oleh lembaga peradilan arbitrase dengan Putusan Arbitrase BANI Nomor 606/VIII/ARB-BANI/2014 tanggal 28 April 2016, dalam perkara melawan PT. Republik Energi dan Metal (PT REM). Selanjutnya, PT. REM mengajukan pembatalan atas Putusan BANI Nomor 606/VIII/ARB-BANI/2014 ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) dengan mendasarkan Pasal 70, Pasal 71, dan Penjelasan Umum UU AAPS dengan alasan dugaan adanya dokumen yang diakui palsu atau dinyatakan palsu. PN Jakpus kemudian mengabulkan permohonan pembatalan tersebut dengan Putusan Nomor 332/PDT.G/ARB/2016/PN.JKT.PST tanggal 8 September 2016.
Nasihat Hakim
Panel Hakim yang diketuai Hakim Konstitusi Saldi Isra menilai format maupun sistematika permohonan Pemohon sudah cukup baik, tidak terlalu banyak untuk dikoreksi. Namun Saldi menilai Pemohon kurang tepat dalam menerjemahkan istilah hukum dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris. “Tidak sesuai bahasa Inggris sehingga bisa mengaburkan maknanya. Inilah yang menjadi kesalahan Pemohon,” ucapnya. Selain itu Saldi mempertanyakan data Putusan BANI dalam permohonan. “Data yang disampaikan sampai tahun berapa? Jangan-jangan ada data baru lagi,” imbuhnya.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menganggap uraian Pemohon dalam permohonannya banyak merupakan kasus konkret. Menurut Wahiduddin, kasus-kasus konkret boleh saja disampaikan Pemohon, namun sekadar sebagai pintu masuk untuk melakukan pengujian undang-undang.
“Selain itu, sistematika permohonan perlu dipertajam. Termasuk juga harus dijelaskan secara spesifik apa yang menjadi kerugian konstitusional Pemohon,” tandasnya.
(NTA/lul) MHI 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar



Postingan Terupdate

Sidang Perkara No. 14/PUU-XXII/2024, Ahli : Sebagian Besar Notaris Berusia 70 Tahun Masih Kompeten Menjalankan Tugas

JAKARTA, MHI – Sidang permohonan uji materiil Pasal 8 ayat (1) huruf b dan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabata...

Postingan Terkini

Pilihan Redaksi