HTML

HTML

Selasa, 30 Mei 2017

MK Gelar Sidang Lanjutan Uji Materiil UU No 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal (JPH)

Direktur Eksekutif IHW Ikhsan Abdullah selaku Pihak Terkait saat menyampaikan keterangannya dalam sidang perkara pengujian UU Jaminan Produk Halal, Senin (29/5) .
JAKARTA ,30 Mei 2017-Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan uji materiil Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH), Senin. Agenda sidang perkara Nomor 5/PUU-XV/2017 tersebut adalah mendengar keterangan Indonesia Halal Watch (IHW) selaku Pihak Terkait.
Direktur Eksekutif IHW Ikhsan Abdullah menyatakan kekhawatiran Pemohon tentang ancaman produk halal tidak beralasan. Ia menyebut Pemohon salah menangkap maksud UU JPH. “Undang-undang ini sifatnya mandatory sertifikasi halal, bukan mandatory halal,” jelasnya dalam sidang yang dipimpin Wakil Ketua MK Anwar Usman.
Maksud mandatory sertifikasi halal, jelasnya, adalah semua makanan dan minuman wajib disertifikasi. Jika suatu produk tak mengandung bahan haram, maka mesti diberi label halal. Adapun produk mengandung bahan haram, seperti babi atau alkohol, tak wajib mengajukan sertifikasi halal sesuai Pasal 26 ayat (1) UU JPH. Dengan kata lain, produk haram tetap bisa beredar dan tak dilarang di Indonesia.
“Kekhawatiran Pemohon hakikatnya sudah dibahas oleh DPR selama sembilan tahun, yaitu ketika UU JPH masih berbentuk rancangan undang-undang (RUU),” ujar Ikhsan.
Lebih lanjut, dirinya menegaskan sertifikasi halal bukanlah upaya islamisasi. Sertifikasi halal justru merupakan barrier perlindungan untuk pengusaha dan produsen nasional Indonesia. “Ini sebagai upaya melindungi dari serangan barang jasa dari luar negeri yang membanjiri Indonesia. Sebab, Indonesia adalah pasar yang besar yakni seperempat jumlah populasi dunia,” tegasnya.
Sebelumnya, Paustinus Siburian yang berprofesi sebagai advokat menilai UU JPH tidak memberikan pembatasan-pembatasan mengenai halal tidaknya suatu produk, baik menyangkut bahan maupun proses produksi. Pemohon yang mengajukan uji materiil Diktum huruf b, Pasal 1 ayat (1) dan (2), Pasal 3 huruf a, Pasal 4, dan Pasal 18 ayat (2) UU JPH merasa tidak tepat jika pembentuk undang-undang menyusun undang-undang tersebut untuk masyarakat. Sebab, Pemohon adalah anggota masyarakat yang tidak diwajibkan untuk mendapatkan jaminan produk halal.
Seharusnya, kata dia, undang-undang menyebutkan dengan tegas yang menjadi sasarannya, yaitu umat Islam atau konsumen muslim seperti dalam Fatwa MUI Nomor 12 Tahun 2009 tentang Standar Sertifikasi Penyembelihan Halal.
Selanjutnya, ia menjelaskan ketentuan yang diujikan menyatakan produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan harus bersertifikat halal (sudah dinyatakan halal sesuai syariat Islam, red). Pengertian yang demikian, menurutnya, akan berdampak suatu produk yang dibeli di luar negeri untuk penggunaan akhir di Indonesia tidak perlu bersertifikat halal karena tidak beredar dan diperdagangkan. Selain itu, menurutnya, dapat juga ditafsirkan pemesanan secara online untuk penggunaan akhir tidak wajib bersertifikat halal.
Selain itu, kewajiban sertifikasi halal dalam Pasal 4 UU JPH, menurutnya, akan menyebabkan kenaikan biaya yang tidak perlu dan membebankan konsumen. Dengan demikian, dalam petitum-nya, Pemohon meminta ketentuan tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.


(ARS/lul) MHI 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar



Postingan Terupdate

Sidang Perkara No. 14/PUU-XXII/2024, Ahli : Sebagian Besar Notaris Berusia 70 Tahun Masih Kompeten Menjalankan Tugas

JAKARTA, MHI – Sidang permohonan uji materiil Pasal 8 ayat (1) huruf b dan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabata...

Postingan Terkini

Pilihan Redaksi