
JAKARTA, MHI – Mahkamah Konstitusi (MK) memutus Perkara Nomor 178/PUU-XXII/2024 mengenai permohonan pengujian materi Pasal 9 ayat (1) huruf d Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan Republik Indonesia tidak dapat diterima. Menurut Mahkamah, para Pemohon tidak dapat menunjukkan anggapan kerugian hak konstitusional atas ketentuan yang diuji tersebut sehingga dinilai tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing.
“Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima,” ujar Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pengucapan putusan pada Jumat (21/3/2025) di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta Pusat.
Dalam pertimbangan hukum Mahkamah, Hakim Konstitusi Arsul Sani mengatakan para Pemohon dalam pengujian undang-undang memiliki kewajiban untuk menjelaskan setidaknya lima syarat yang telah ditentukan terkait ada atau tidaknya hak konstitusional yang dirugikan.
"Para Pemohon harus menyampaikan uraian adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional serta anggapan kerugian hak konstitusional yang diderita atau dialami dengan berlakunya norma undang-undang yang diuji," katanya.
Mahkamah menilai uraian berkenaan dengan anggapan kerugian hak konstitusional yang dialami para Pemohon tersebut tidak memiliki hubungan sebab akibat dengan berlakunya norma Pasal 9 ayat (1) huruf d UU 11/2021. Dalam permohonannya, para Pemohon mengaku mengalami kerugian hak konstitusional karena norma yang diajukan pengujian tersebut mensyaratkan untuk menjadi seorang jaksa adalah memiliki ijazah paling rendah sarjana hukum pada saat masuk Kejaksaan.
Namun, walaupun para Pemohon dinyatakan tidak lolos seleksi Calon Aparatur Sipil Negara (CASN) pada Kejaksaan Agung, para Pemohon tidak serta-merta memiliki kedudukan hukum kaitannya dengan perihal isu konstitusional berijazah paling rendah sarjana hukum pada saat masuk Kejaksaan karena pada saat melakukan pendaftaran seleksi CASN pada Kejaksaan Agung, para Pemohon telah berijazah sarjana hukum, dari segala jenis program studinya, dapat turut serta dalam seleksi CASN pada Kejaksaan Agung in casu sebagai calon Jaksa.
“Sehingga berkenaan persyaratan berijazah paling rendah sarjana hukum pada saat masuk Kejaksaan, sudah tidak lagi terdapat keterkaitan logis dan causal verband bahwa ketentuan tersebut mengakibatkan kerugian hak konstitusional bagi para Pemohon,” jelas Arsul.
Sedangkan, ihwal tidak lolosnya para Pemohon pada tahap seleksi administrasi CASN Kejaksaan Agung karena tidak sesuai kualifikasi program studi yang dipersyaratkan adalah sepenuhnya menjadi kewenangan Kejaksaan Agung sebagai instansi yang berwenang dalam menentukan kualifikasi dan kompetensi terkait kebutuhan CASN pada organisasinya.
Dalam konteks ini, kerugian yang diuraikan pada permohonan tidak cukup meyakinkan sebagai kerugian hak konstitusional yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi sehingga tidak cukup terdapat hubungan sebab akibat antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang diuji.
Terlebih instansi yang membutuhkan CASN dapat menentukan secara spesifik kualifikasi program studi yang dibutuhkan. Misalnya, sangat mungkin suatu instansi membutuhkan sarjana hukum tanpa perlu menentukan program studi secara spesifik atau dapat juga menentukan sarjana hukum dengan spesifikasi atau kualifikasi tertentu.
“Dengan demikian, menurut Mahkamah, para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo,” kata Arsul.
Sebagai informasi, para Pemohon perkara ini ialah dua sarjana hukum program studi (prodi) hukum tata negara yakni Silvi Nudia Nazla dan Mohammad Fajar Ismail.
Menurut para Pemohon, frasa ‘sarjana hukum’ dalam ketentuan persyaratan menjadi seorang jaksa dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d UU 11/2021 memuat cakupan yang terbatas sehingga mengakibatkan ketidakadilan bagi lulusan program studi yang serumpun di bidang hukum lainnya seperti program studi Hukum Islam, Hukum Tata Negara, atau Hukum Pidana Islam.
“Di Undang-Undang Advokat itu untuk mengakomodir adanya lulusan Fakultas Syariah itu frasanya itu bukan sarjana hukum lagi, tetapi sarjana yang berlatar pendidikan tinggi hukum sehingga kami bisa menjadi advokat di situ,” ujar Kuasa Hukum Para Pemohon A. Fahrur Rozi dalam sidang perbaikan permohonan pada Kamis (6/3/2025) di Ruang Sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta.
"Namun," lanjutnya,"Jika mengacu pada UU Kejaksaan yang mencantumkan frasa ‘sarjana hukum’, kesempatan untuk menjadi seorang jaksa hanya terbuka bagi sarjana hukum sedangkan sarjana hukum bidang Islam tidak mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi seorang jaksa. Fahrur mengatakan, dalam konteks pemberlakuan norma frasa ‘sarjana hukum’ tersebut menimbulkan eksklusivitas terhadap suatu kualifikasi pengetahuan yang sejatinya sama justru diberlakukan suatu ketentuan yang diskualifikatif kepada salah satunya," papar Kuasa Hukum.
Mekanisme rekrutmen aparatur sipil negara (ASN) pada formasi jaksa yang ekslusif dimaksud dialami para Pemohon yang dinyatakan tidak lolos syarat administratif karena tidak memenuhi kualifikasi pendidikan dengan program studi yang disyaratkan.
"Kejaksaan Republik Indonesia merumuskan syarat kelulusan pada formasi jaksa hanya mencakup dan diperuntukkan bagi dua nomenklatur lulusa program studi yaitu S-1 Program Studi Hukum atau S-1 Program Studi Ilmu Hukum," terangnya.
"Padahal," sambung Kuasa Hukum," Para Pemohon lainnya Zulfikar Putra Utama mengatakan Republik Rakyat China telah menetapkan ketentuan yang progresif dan inklusif dalam sistem rekrutmen kerja sebagaimana tercermin dalam kebijakan yang memungkinkan berbagai jalur kualifikasi untuk mencapai posisi jaksa."
"Sistem mereka tidak hanya terbatas pada lulusan sarjana hukum melainkan juga memberikan kesempatan kepada individu dengan latar belakang pendidikan non-hukum untuk berkarir sebagai jaksa sepanjang memiliki kompetensi dan pemahaman yang mendalam di bidang hukum," jelasnya.
"Sementara ketentuan di Spanyol tentang kualifikasi jaksa telah ditetapkan serangkaian persyaratan kompetensi yang bersifat substantif dan komprehensif," tandas Kuasa Hukum.
Ketentuan dimaksud secara eksplisit menekankan pentingnya pemahaman mendalam terhadap aspek-aspek fundamental sistem hukum yang meliputi kemampuan untuk memahami dan menginterpretasikan unsur-unsur, struktur, sumber daya, serta penerapan sistem hukum dari berbagai yurisdiksi termasuk di dalamnya kemampuan untuk menganalisis mekanisme penyelesaian sengketa hukum, kedudukan hukum individu dalam konteksi administratif dan hubungannya dengan badan-badan publik.
Serta kemampuan untuk menerapkan kriteria prioritas sumber hukum dalam menentukan norma yang berlaku, khususnya dalam kaitannya dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai konstitusional yang mana seluruh persyaratan kompetensi tersebut ditetapkan tanpa membatasi secara rigid latar belakang program studi calon jaksa.
Dalam petitumnya para Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk mengabulkan permohonan untuk seluruhnya. Para Pemohon memohon kepada Mahkamah agar menyatakan frasa ‘Sarjana Hukum’ pada Pasal 9 ayat (1) huruf d UU 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan Republik Indonesia bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Sarjana Hukum atau sarjana yang serumpun di bidang hukum,” sehingga bunyi pasal selengkapnya adalah “Berijazah paling rendah sarjana hukum atau sarjana yang serumpun di bidang hukum pada saat masuk Kejaksaan.”
Gagal Lolos CPNS Jaksa, Dua Sarjana Hukum Tata Negara Gugat UU Kejaksaan
Sebagai informasi, para Pemohon adalah dua sarjana hukum program studi hukum tata negara yakni Silvi Nudia Nazla dan Mohammad Fajar Ismail.
Mereka mengaku hak konstitusionalnya dirugikan akibat pasal a quo yang mensyaratkan untuk menjadi seorang jaksa adalah memiliki ijazah paling rendah sarjana hukum pada saat masuk Kejaksaan. Para Pemohon dinilai tidak memenuhi persyaratan administratif untuk menjadi jaksa.
Keduanya dinyatakan tidak lolos syarat administratif Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) Kejaksaan Agung untuk formasi Jaksa Ahli Pertama. Sebab, Silvia dan Fajar berstatus sarjana hukum bidang Hukum Tata Negara dari Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
(Mimi, Kartika, Irma, Lulu) MHI
