HTML

HTML

Selasa, 13 Agustus 2024

Sidang Perkara No. 14/PUU-XXII/2024, Ahli : Sebagian Besar Notaris Berusia 70 Tahun Masih Kompeten Menjalankan Tugas


JAKARTA, MHI – Sidang permohonan uji materiil Pasal 8 ayat (1) huruf b dan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UU Notaris) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (12/8/2024). Sidang lanjutan Perkara Nomor 14/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh 22 notaris ini menghadirkan Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT) dan sejumlah ahli.(13/8/2024).

Pemohon menghadirkan Aris Sudiyanto yang merupakan Dokter Spesialis Psikiatri menjelaskan untuk dapat produktif, notaris lebih dituntut kemampuan mental-emosional dan spiritual daripada fisik dan psikomotor.

“Kesehatan mental dan spiritual, antara lain daya ingat, ketelitian, kemampuan pemahaman, kepedulian dan kebijakan. Kemampuan dan produktivitas kerja dapat sering meningkat seiring berjalannya waktu karena pengalaman dalam penatalaksanaan kasus kenotariatan,” ujar  Arief.

Menurut Aris, semakin lama karena pengalamannya kinerja dan produktivitas kerja notaris makin baik. 

“Di usia 70 tahun sebagian besar notaris masih mampu/kompeten melakukan tugas dan fungsi profesinya karena semakin berpengalaman. Kecukupan tenaga notaris di sebagian besar daerah di Indonesia belum terpenuhi, jadi masuk akal apabila usia pensiun notaris diperpanjang sampai usia 70 tahun,” tegasnya.

Aris menilai selama ini dapat berperan, berfungsi, dan mempunyai kinerja dan produktivitas kerja sebagai notaris dengan baik. 

"Apabila dapat mempertahankan kesehatan fisik, mental, spiritual dan sosialnya, maka di usia 70 tahun, masih dapat menjalankan tugas dan fungsi jabatan notaris dengan baik sehingga dapat diperpanjang usia pensiunnya sampai umur 70 tahun," ungkapnya. 

Ia menyarankan agar usia pensiun notaris di Indonesia dapat diperpanjang sampai umur 70 tahun dengan syarat mempunyai kesehatan fisik dan mental baik dibuktikan dengan surat keterangan dokter dan psikiater.

Sementara Sekretaris Umum PP-IPPAT Ashoya Ratam selaku Pihak Terkait menyebut tidak dapat memberikan pendapat atas permohonan Uji Materi atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. 

"Hal tersebut dikarenakan PP-IPPAT atau PPAT tidak mempunyai hubungan hukum langsung dengan UUJN yang dimintakan dilakukan pengujian, PPAT yang merupakan anggota IPPAT mempunyai Peraturan Jabatan tersendiri, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Jabatan PPAT," sebutnya.

Sedangkan Maruarar Siahaan selaku Pakar Hukum Tata Negara menyampaikan bahwa notaris sebagai pejabat umum yang diangkat dan disahkan dalam Keputusan TUN. 

"Berbeda dengan dengan pejabat publik yang diangkat dan dipilih serta dikukuhkan dalam Keputusan TUN, karena notaris tidak mendapat pendapatan dan penghasilan pensiun setelah berhenti, sementara Pegawai Negeri Sipil dan pejabat publik lain yang diangkat/dipilih terikat dalam hubungan hukum publik yang sama, namun berbeda dengan memikul kewajiban untuk memberi gaji dan hak pensiun kepada pejabat negara dan pegawai negeri atau pejabat lainnya, setelah diberhentikan," tuturnya.

Ia menyebut, pengaturan kedudukan notaris dan hak-haknya, dilihat dari konstitusi dengan moral Pancasila, tidak seluruhnya merupakan wilayah open legal policy, melainkan sebagian berada dalam constitutional boundary yang tunduk pada judicial review.

Menurutnya, prinsip negara kesejahteraan yang berdasarkan Pancasila sebagai moral Bangsa, memberi peluang bagi setiap orang untuk dilindungi, dihormati dan diwujudkan haknya untuk hidup dengan mempersamakan Notaris dengan Pejabat Umum lainnya yang tidak memperoleh gaji dari APBN secara setara—sebagai makna keadilan.

Pada kesempatan yang sama, Habib Adjie yang merupakan Ahli Hukum Kenotariatan menyampaikan notaris dalam melaksanakan tugas jabatannya akan tetap berperan untuk membantu pemerintah.

"Karena Notaris sebagai representasi negara/pemerintah, misalnya dalam bidang perpajakan atau PNBP, melakukan layanan di AHU Online, sehingga sampai batasan umur 70 tersebut notaris tetap membantu dan berkontribusi kepada pemerintah, terutama kepada PNBP Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia," katanya.




Batasi Pensiun Notaris Berpotensi Menjadi Beban Negara

Sebelumnya, sebanyak 22 notaris menguji aturan batas usia jabatan notaris sebagaimana tercantum dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b dan Pasal 8 ayat (2) UU Jabatan Notaris. Pemohon mendalilkan dengan dibatasinya masa pensiun notaris di umur 65 tahun akan berpotensi menjadi beban negara. 

Hal ini karena para notaris yang berusia 65 tahun tersebut tidak memiliki pemasukan karena diharuskan pensiun. Menurut Pemohon, hal tersebut tidak hanya akan menjadi beban keluarga, namun juga akan menjadi beban negara untuk memberikan bantuan dan perlindungan serta penghidupan yang layak bagi seorang notaris. 

Para Pemohon dirugikan dengan berlakunya Pasal 8 ayat (2) UU Jabatan Notaris, yang dapat diperpanjang sampai berumur 67 tahun dengan mempertimbangkan kesehatan yang bersangkutan.

Menurut para Pemohon, notaris yang telah berakhir masa jabatannya tetap harus bertanggung jawab terhadap akta yang dibuatnya sesuai dengan penjelasan dalam Pasal 65 UU Jabatan Notaris, namun tidak terdapat perlindungan hukum terhadapnya. UU Jabatan Notaris tidak mengatur secara khusus mengenai perlindungan hukum bagi notaris yang telah berakhir masa jabatannya, sehingga dalam hal ini terjadi kekosongan hukum. 

Berdasarkan dalil permohonan tersebut, Pemohon menyebut ketentuan Pasal 8 ayat (1) huruf b dan Pasal 8 ayat (2) UU Jabatan Notaris bertentangan dengan dengan Pasal 27 ayat (1) dan (2), Pasal 28, Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan (2), Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.

Untuk itu, para Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk memeriksa dan mengadili perkara ini untuk menyatakan Pasal 8 ayat (1) huruf b dan Pasal 8 ayat (2) UU Jabatan Notaris bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan (2), Pasal 28, Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan (2), Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

(Utami, Lulu, Najwa) MHI 

Senin, 12 Agustus 2024

Oknum Hakim Utamakan Jalan-Jalan ke Bali Daripada Pimpin Sidang Terjadwalkan, Ahli Waris Kecewa : Tidak Profesional !


JAKARTA, MHI - Sidang lanjutan bantahan yang dilakukan oleh KRS Consultant at LAW terhadap penetapan Eksekusi No.527/Pdt/2023. Dimana sidang hari ini, Senin (12/8/2024) terjadwalkan dan telah diagendakan sebelumnya untuk pembuktian barang bukti dari masing-masing pihak yang dipimpin oleh Hakim MR. Wirjono Projodikoro batal digelar, Hal tersebut memicu pihak ahli waris menjadi berang lantaran pembatalan secara sepihak tersebut tanpa adanya pemberitahuan sebelumnya.

Kekecewaan dari pihak ahli waris tentunya bukan tanpa alasan. Namun diketahui bahwa Kasus Perkara No. 527 / Pdt. bth./2023/PN.Jkt.Utr. Tanah bersengketa ini sudah berjalan dalam persidangan 1 tahun lebih di Pengadilan Jakarta Utara sejak 22 Juli 2024. Ditambah didalam jadwal persidangan tersebut sang Hakim kerap kali mangkir dalam agenda persidangan sehingga menuai kecaman para ahli waris.

Tudak sampai disitu, pihak ahli warispun semakin kesal dan berang dengan tingkah laku sang Hakim manakala di ketahui bahwa sang Hakim MR. Wirjono Projodikoro sedang berjalan-jalan di Bali. Hal tersebut berdasarkan informasi yang didapat para ahli waris dari Pengacara Sartika dwi Piscessa, SH (Kuasa Hukum Djamilus, MBA). Disaat mendapat telpon dari Panitera, Beni terkait Perkara No.527 /Perdata/ Th.2023.

"Sering..sering kita hadir sesuai jadwal tapi selalu seperti ini, sudah dateng tiba-tiba tidak ada...enggak hadir ya Hakimnya ataupun pihak terbantah tanpa diberi tahu terlebih dahulu," ucap Sri Handayani Putri dari Ahli Waris dengan kekecewaan memenuhi raut wajahnya.

Ditanyakan tentang tindakan Pengacaranya terkait persoalan tersebut Ia mengungkapkan bahwa, "Eeh kalau Lawyer kita gimana ya..saya juga sudah sering tanyakan, sebelum kita jalanpun sudah kita tanyakan bilangnya ada sidang..ada sidang..jadwalnya ada. Setelah kita hadir ya seperti ini dan sampai saat ini selalu seperti ini dan akhirnya kita kecewa," ungkapnya.

Ditegaskan kembali apakah ibu sangat kecewa?,"Sangat-sangat kecewa..karena sudah enggak sekali dua kali sudah ada lima kali..kali..sudah sering. Apalagikan jarak rumah kita jauh terus sampai sini sia-sia..mana orang tuakan hari ini dateng habis operasi, kita ikutinkan sesuai jadwal..ternyata tidak ada pemberitahuan..ternyata ya udah diundur lagi dan itu sudah sering di lakukan (Hakim-Red)..intinya saya sangat-sangat kecewa..aoa ya...enggak Profesional aja..ya Hakimnya..ya Paniteranya," pungkas Sri Handayani Putri Djamilus menegaskan.

Sementara Tim Ahli Waris lainnya Tono menambahkan bahwa," Ini kayaknya Pak Hakim punya ilmu menghilang sebab setiap mau sidang yang sudah di jadwalkan dan diagendakan sebelumnya...eeh menghilang..eeh tau-tau nongol di Bali, luar biasa Pak Hakim ini," tukasnya seraya tertawa.




Tim Awak Media pun bergegas menuju ruangan Humas Pengadilan Negeri Kelas !A Jakarta Utara guna mendapat keterangan dari pihak Humas.Namun petugas pelayanan mengatakan bahwa Kahumas tidak ada dan wakilnya juga tidak ada.

"Ka Humas tidak ada, beliau sedang ke Tipikor pak, saya tidak tahu kapan kembalinya," ucap petugas jaga pelayanan.

Kemudian Tim Media pun mengisi buku tamu agar ditindak lanjuti oleh petugas untuk disampaikan pada Kahumas kemudian. Sejak berita ini ditayangkan Tim Media terus tetap menunggu jawaban dari pihak Humas untuk membuka ruang audensi.

(Iwan Joggie) MHI 

Kamis, 08 Agustus 2024

Tuntut Keadilan Dan Dikukuhkan Kembali Sesuai Pasal 118 huruf (e) UU Desa, Sembilan Kades Desak Perpanjangan Masa Jabatan



JAKARTA, MHI - Sembilan Kepala Desa (Kades) di Kabupaten Musi Rawas Utara (Muratara) atas nama Sundoyo, Cungh Wang, Sipirli, Jidi, Argani, Muhazoni, Madian, Paizal, Abdul Wahid mengajukan pengujian Pasal 118 huruf e Undang-Undang Nomor 3 tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa (UU Desa) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang perdana Perkara Nomor 103/PUU-XXII/2024 yang dipimpin Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih bersama dengan Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh ini digelar pada Kamis (8/8/2024).

Pasal 118 huruf e UU Desa menyatakan, “Kepala Desa yang berakhir masa jabatannya sampai dengan bulan Februari 2024 dapat diperpanjang sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.”

Sundoyo sebagai perwakilan para Pemohon menyebutkan berdasarkan Pasal 118 huruf e UU Desa tersebut, semestinya para Pemohon yang masa jabatannya berakhir pada Februari 2024 dapat memperoleh perpanjangan masa jabatan selama dua tahun tanpa dipertanyakan lagi. Namun para Pemohon tidak mendapatkan perpanjangan masa jabatan, sebab telah ada pejabat desa yang baru dan dilantik saat masa berakhirnya masa jabatan para Pemohon.

“Pada daerah lain yang berakhir masa jabatan pada Maret, April justru mereka diperpanjang semuanya. Kami yang Februari 2024 tidak dikonfirmasi untuk diperpanjang. Kami minta keadilan untuk menjembatani memberikan rasa keadilan bagi kami,” kata Sundoyo yang menghadiri persidangan secara daring.

Dalam petitum, para Pemohon meminta agar dikukuhkan kembali sebagai Kepala Desa sesuai dengan Ketentuan Pasal 118 huruf (e) UU Desa. Selanjutnya, membatalkan Surat Keputusan Bupati Musi Rawas Utara Provinsi Sumatera Selatan tentang Pengukuhan Perpanjangan Masa Jabatan Kepala Desa untuk desa-desa para Pemohon.




Implementasi Norma

Hakim Konstitusi Anwar Usman dalam nasihatnya meminta para Kepala Desa untuk melampirkan bukti dari masa berakhirnya jabatan yang dimaksud. Hal ini untuk memperkuat dalil yang dipertanyakan para Pemohon. Sebab norma yang didalilkan sejatinya tidak bermasalah.

“Namun yang menjadi soal adalah implementasi norma, jadi perlu dilakukan pendalaman dengan memperbandingkan di daerah lain yang masa jabatannya diperpanjang secara otomatis tersebut,” jelas Anwar.

Sementara Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh menyebutkan UU Desa diundangkan pada 25 April 2024. Sementara berakhirnya masa jabatan para Pemohon adalah Februari 2024. Dalam hal ini, ada aturan peralihan yang dalam kenyataannya hal tersebut tidak berlaku sebagaimana normanya.

Berikutnya Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih memberikan nasihat agar para Pemohon menguraikan hak-hak konstitusionalnya yang terlanggar oleh keberlakuan norma, sehingga terlihat kerugiannya sebagaimana dijamin oleh UUD NRI Tahun 1945. “Jelaskan dengan argumentasi adanya ketidakpastian dari Pasal 118 huruf e UU Desa ini. Oleh karena itu, pada bagian alasan permohonan atau positanya, baru masuk ke petitum permohonan sesuai dengan kelaziman yang berlaku dalam pengujian undnag-undang di MK,” jelas Enny.

Pada akhir persidangan Enny menyebutkan para Pemohon akan diberikan waktu selama 14 hari untuk menyempurnakan permohonan. Kemudian naskah perbaikan dapat diserahkan selambat-lambatnya pada Rabu, 21 Agustus 2024 pukul 09.00 WIB ke Kepaniteraan MK.

(Sri Pujianti, Lulu, Najwa) MHI 

Rabu, 07 Agustus 2024

Perbedaan Definisi Teritorial Putusan Arbitrase Nasional Dan Internasional Dinilai Tidak Jelas Disoal Advokad Dan Dosen FH-UI


JAKARTA, MHI – Togi M. P. Pangaribuan yang berprofesi sebagai Advokat dan Dosen di Fakultas Hukum Universitas Indonesia mengajukan uji materiil Pasal 1 angka (9) Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU AAPS) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang Pendahuluan Perkara Nomor 100/PUU-XXII/2024 ini dipimpin oleh Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur bersama dengan Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih pada Rabu (7/8/2024).

Pasal 1 angka (9) UU AAPS menyatakan, “Putusan Arbitrase Internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu  lembaga  arbitrase  atau  arbiter  perorangan  di  luar  wilayah  hukum  Republik  Indonesia,  atau  putusan  suatu  lembaga  arbitrase  atau  arbiter  perorangan  yang  menurut  ketentuan  hukum  Republik  Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional.”

Aristo Pangaribuan selaku kuasa hukum mengatakan Pasal 1 angka (9) UU AAPS khususnya frasa ’yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional’ bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Bagi Pemohon setidak-tidaknya mengalami kerugian konstitutional yang aktual dan spesifik dalam beberapa aspek, di antaranya dari sisi profesi dosen Pemohon mempunyai kewajiban untuk mengajarkan ilmu hukum arbitrase kepada mahasiswa secara akurat, baik dari sisi teoretikal ilmu dan juga praktikalnya. Semantara dari sisi profesi sebagai advokat, Pemohon berkewajiban untuk memberikan jasa hukum, baik berupa layanan litigasi maupun nasihat kepada klien.

Dengan adanya ketidakpastian hukum dalam UU AAPS, Pemohon tidak dapat melaksanakan kedua profesi tersebut. Sebab adanya pencampuradukan pengertian konsep teritorial sempit dan luas di dalam UU AAPS. Sehingga Pemohon kesulitan untuk menentukan mana yang tergolong putusan arbitrase nasional dan putusan arbitrase internasional apabila mendasarkan pada ketentuan Pasal 1 ayat (9) UU AAPS.

“Menyatakan frasa ’yang menurut ketentuan hukum republik indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional’ dalam Pasal 1 ayat 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa bertentangan dengan kepastian hukum di Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” ujar Aristo di Ruang Sidang MK.




Kerugian Konstitusional Akibat Ambiguitas

Hakim Konstitusi Arief dalam nasihat Panel Hakim menyebutkan perlu  bagi Pemohon untuk menguraikan lebih jelas tentang kedudukan hukum sebagai subjek hukum perorangan sebagai dosen dan arbiter, sehingga terlihat dampak kerugian yang dialami atas keberlakuan norma yang diujkan ini.

“Saya belum dapat gambaran jelas, kerugian ada karena ada ambiguitas antara internasional dan nasional, tetapi pertentangan pasal a quo dan UUD NRI 1945 ini tunjukkan di mana letak ketidakpastian hukum yang. Berakibat pada ketidakadilan. Jika pelrlu dikaitkan dengan bagaimana pengaturan arbitrase ini di negara-negara lain,” jelas Arief.

Sementara Hakim Konstitusi Enny mengatakan syarat-syarat kerugian hak konstitusional sudah dimunculkan, namun perlu ditegaskan beberapa hal di antaranya hak yang diberikan undang-undang dasar; hak yang dirugikan oleh berlakunya norma ini dengan bukti-bukti dari lembaga arbitrase, arbiter, dan sejenisnya; bentuk kerugian yang bersifat aktual tak hanya sebagai arbiter.

“Perlu diuraikan satu per satu yang kemudian sampai pada kesimpulan atas pasal dan frasa yang dikhususkan tersebut pada bagian petitum sebagaimana lazimnya dalam permohonan,” jelas Enny.

Pada akhir persidangan, Hakim Konstitusi Ridwan mengatakan Pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk memperbaiki permohonan.Kemudian selambat-lambatnya naskah perbaikan dapat diberikan pada Selasa, 20 Agustus 2024 pukul 13.00 WIB. Sehingga, Kepaniteraan MK akan menjadwalkan sidang lanjutan untuk perkara ini dengan agenda mendengarkan perbaikan permohonan Pemohon. 


(Sri, Lulu, Febrian) MHI 

Selasa, 06 Agustus 2024

Sidang Perkara No.77/PUU-XXII/2024, Rega Felix : Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia Bukan Untuk Golongan Tertentu !


JAKARTA, MHI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang kedua untuk pengujian materiil Pasal I angka 4 yang memuat perubahan Pasal 6 ayat (1) huruf j dan Pasal I angka 26 yang memuat perubahan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sidang Perkara Nomor 77/PUU-XXII/2024 yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih bersama dengan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah dan Hakim Konstitusi Arsul Sani ini dilaksanakan di Ruang Sidang Pleno MK pada Selasa (6/8/2024).

Agenda sidang yaitu pemeriksaan perbaikan permohonan. Rega Felix (Pemohon) yang berprofesi sebagai Advokat sekaligus Dosen ini menjabarkan pokok-pokok perbaikan permohonan, di antaranya tentang tidak digunakannya konsep diskriminasi dalam permohonan ini. Pemohon justru mempertajam dengan hanya mendalilkan Pasal 6 ayat (1) UU Minerba, khususnya pada klausul “menggunakan IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus) secara prioritas”. Sehingga atas dalil ini pula, Pemohon mendasarkannya pada konstitusionalitas norma yang termuat pada Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945.

“Dengan perubahan ini, jumlah halaman menjadi semakin banyak karena Pemohon fokus pada konsep tentang prioritas. Di mana perbaikan banyak menjelaskan makna dari kata prioritas. Pendalaman ini lebih tepatnya menjabarkan tentang pertanyaan pokok “siapa subjek prioritas” ini dan tafsirnya dalam dunia pertambangan, termasuk dengan badan usaha ormas adalah milik swasta dan bukan negara maka tidak dapat dimaknai sama dengan negara dan tidak bisa menggunakan mekanisme prioritas,” jelas Rega.

Selain itu, Pemohon juga memperjelas kedudukan hukum Pemohon sebagai Pendidik atau Dosen. Bahwa Dosen termasuk pada golongan berpenghasilan rendah dan tingkat kesejahteraan yang masih rendah.

"Sehingga," tegas Rega Felix," Makna keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tidak hanya buat golongan tertentu.Dengan demikian. Kami memiliki kedudukan hukum yang sama sebagai warga negara Indonesia yang lainnya serta berhak pula mendapatkan kesejahteraan dan keadilan sosial sebagaimana yang diberlakukan kepada ormas tersebut."



Prioritas Pengelolaan Tambang ke Ormas Dipertanyakan

Sebelumnya, dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Rabu (24/7/2024) Rega Felix mengatakan bahwa kebijakan penawaran Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) secara prioritas kepada ormas keagamaan tidak memenuhi parameter untuk dapat diterapkan sebagai kebijakan afirmatif berdasarkan UUD 1945. 

"Sejatinya Pemerintah masih dapat melaksanakan penawaran secara prioritas sepanjang tidak menggunakan pertimbangan berdasaran suku, agama, ras, dan antargolongan," katanya.

Lanjutnya," Jika prioritas tersebut diberikan berdasarkan pertimbangan tersebut, maka telah jelas bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Karena makna “prioritas” dalam norma pasal yang diuji tidak jelas batasannya dan dapat menciptakan self-reference norm kepada presiden," tandas Rega Felix.

Dalam petitum, Pemohon meminta MK menyatakan frasa “melaksanakan penawaran WIUPK secara prioritas” dalam Pasal 6 Ayat (1) huruf j sebagaimana telah dirubah berdasarkan Pasal I angka 4 UU Minerba bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “melaksanakan penawaran WIUPK secara prioritas tanpa didasari kepada pertimbangan berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan”. 

Kemudian meminta klausul “Usaha pertambangan dilaksanakan berdasarkan perizinan berusaha dari pemerintah pusat” dalam Pasal 35 Ayat (1) sebagaimana telah dirubah berdasarkan Pasal I angka 26 UU Minerba bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Usaha pertambangan dilaksanakan berdasarkan perizinan berusaha dari pemerintah pusat tanpa didasari kepada pertimbangan berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan”.
 
(Sri Pujianti, Lulu, Najwa) MHI 


Senin, 05 Agustus 2024

Soal Tarif Khusus Pajak Hiburan Dijadwalkan Ulang, MK Gelar Sidang Uji Materiil UU HKPD Perkara No.19, 31, 32 /PUU-XXII/2024


JAKARTA, MHI  – Majelis Hakim Konstitusi menunda sidang pengujian materi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) untuk Perkara Nomor 19/PUU-XXII/2024, 31/PUU-XXII/2024, dan 32/PUU-XXII/2024 secara sekaligus pada Senin (5/8/2024). Sidang dengan agenda mendengarkan keterangan Saksi Perkara Nomor 19/PUU-XXII/2024 dan 31/PUU-XXII/2024 serta DPR akan dijadwalkan ulang.(05/08/2024).

“Laporan Kepaniteraan, untuk keterangan-keterangannya baru diterima yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana yang ditentukan oleh praktik peradilan di Mahkamah Konstitusi maupun peraturan yang ada. Oleh karena itu Mahkamah menjadwalkan kembali untuk sidang pemeriksaan Saksi ini, disamping memang ada permohonan dari Pemohon 31 bahwa hari ini juga belum siap dengan saksi-saksinya,” ujar Ketua MK Suhartoyo di Ruang Sidang Pleno Gedung 1 MK, Jakarta.

Dia melanjutkan, untuk mengintegrasikan keterangan saksi-saksi tersebut sekaligus mendengarkan keterangan DPR, maka Mahkamah menjadwalkan ulang. Sidang akan digelar 15 Agustus 2024 pukul 13.30 WIB dengan agenda mendengarkan Saksi dari Pemohon Perkara Nomor 19/PUU-XXII/2024 dan 31/PUU-XXII/2024 serta keterangan DPR.                                                                                                                      Sebagai informasi, Perkara Nomor 19/PUU-XXII/2024 dimohonkan sejumlah pengusaha yang bergerak di bidang jasa pelayanan kesehatan mandi uap atau juga dikenal dengan spa. Pemohon merasa dirugikan karena usaha spa yang notabenenya bergerak dalam bidang kesehatan kemudian dikategorikan sebagai penyedia jasa kesenian dan hiburan yang disamakan dengan diskotek, karaoke, kelab malam, dan bar.
Akibatnya, pengusaha spa harus menanggung tarif PBJT sebesar 40-75 persen yang dikenakan pemerintah daerah. Sedangkan, usaha sejenis panti pijat dan pijat refleksi hanya dikenakan tarif PBJT sebesar 10 persen. Para Pemohon menginginkan agar mandi uap atau spa dikeluarkan dalam kategori jasa kesenian dan hiburan yang dikenakan tarif khusus PBJT paling rendah 40-75 persen.

Sementara, permohonan Perkara Nomor 32/PUU-XXII/2024 diajukan para pengusaha yang mewakili enam badan hukum yang menjalankan usaha dalam bidang pariwisata dan jasa/hiburan, yaitu Dewan Pengurus Pusat Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (DPP GIPI), PT Kawasan Pantai Indah, CV. Puspita Nirwana, PT Serpong Abadi Sejahtera, PT Citra Kreasi Terbaik, dan PT Serpong Kompleks Berkarya. Para Pemohon mengaku mengalami kerugian konstitusional akibat berlakunya Pasal 58 ayat (2) UU HKPD yang mengatur pengkhususan tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40 persen dan paling tinggi 75 persen.

Kemudian, Perkara Nomor 31/PUU-XXII/2024 diajukan Santoso Setyadji, seorang pengusaha karaoke keluarga. Dalam hal ini, Pemohon juga menguji ketentuan Pasal 58 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 58 UU HKPD. Sebelum berlakunya ketentuan tersebut, pelaku usaha telah membayar pajak kepada pemerintah daerah sesuai peraturan yang berlaku. Pemohon menyatakan tarif PBJT terbaru akan berpengaruh terhadap konsumen yang dikenakan pajak PBJT minimal 40 persen dari jumlah konsumsi jasa karaoke yang digunakan. Menurut Pemohon, konsumen akan memperhitungkan nilai sejumlah biaya yang harus dibayarkan atas konsumsi barang dan/atau jasa yang telah dikonsumsi karena belum termasuk pengenaan pajak yang tinggi.




Pemohon meminta MK menambah kata/frasa “dikecualikan terhadap karaoke keluarga” dalam pasal 58 ayat (2). Sehingga, Pemohon berharap Pasal 58 Undang-Undang No 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Untuk diketahui, Pasal 58 ayat (2) UU HKPD menyatakan, “Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 4O% (empat puluh persen) dan paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen)”.


(Mimi Kartika, Lulu) MHI 



Rabu, 10 Juli 2024

Menuai Apresiasi Warga, Polsek Tanah Jawa Buahkan Hasil Dalam Memberantas Peredaran Narkoba di Nagori Balimbingan


SUMATERA UTARA, MHI - Gamot Dusun IV Nagori Balimbingan, Kecamatan Tanah Jawa, Kabupaten Simalungun, Leo Hamdani, mewakili Pangulu Nagori Balimbingan, menyampaikan rasa terima kasihnya kepada para personel Polsek Tanah Jawa Polres Simalungun atas keberhasilan mereka dalam memberantas peredaran narkoba di Nagori Balimbingan, Pada Rabu, 10 Juli 2024, sekitar pukul 22.30 WIB.

Ucapan terima kasih ini disampaikan Leo Hamdani sebagai bentuk apresiasi kepada Polsek Tanah Jawa yang telah gigih dan berkomitmen dalam melakukan penindakan terhadap kasus narkoba di wilayah mereka. Keberhasilan Polsek Tanah Jawa mengungkap dan menangkap pelaku peredaran narkoba di Huta IV Nagori Balimbingan, Kecamatan Tanah Jawa, Kabupaten Simalungun, tidak lepas dari kerja keras dan dedikasi tinggi para personel kepolisian.

"Kami sangat berterima kasih kepada Polsek Tanah Jawa Polres Simalungun yang telah menunjukkan komitmen yang kuat dalam memberantas narkoba di Nagori Balimbingan. Keberhasilan ini tidak hanya memberikan rasa aman kepada masyarakat, tetapi juga menjadi bukti bahwa aparat kepolisian selalu siap melindungi dan melayani masyarakat," ungkapnya.




Diketahui bahwa, pengungkapan kasus narkoba ini diawali dengan informasi dari masyarakat tentang adanya peredaran narkoba di rumah milik Kahirudin Siregar alias Usep di Huta IV Nagori Balimbingan.Hal tersebut diterangkan ileh Kapolsek Tanah Jawa, Kompol Asmon Bufitra.

"Menindaklanjuti informasi tersebut, personel Polsek Tanah Jawa melakukan penyelidikan dan berhasil menangkap tersangka beserta barang bukti berupa narkotika jenis sabu dengan berat bruto 13,29 gram dan satu unit handphone, " tutur Kaposek Tanah Jawa

"Dengan adanya apresiasi dari tokoh masyarakat ini, diharapkan dapat semakin memotivasi para personel kepolisian untuk terus berupaya keras dalam memberantas narkoba. Kerja sama antara masyarakat dan kepolisian yang solid seperti ini diharapkan dapat menciptakan lingkungan yang lebih aman dan bebas dari ancaman narkoba," pungkas Kompol Asmon Bufitra.

(Ucok) MHI 




Postingan Terupdate

Sidang Perkara No. 14/PUU-XXII/2024, Ahli : Sebagian Besar Notaris Berusia 70 Tahun Masih Kompeten Menjalankan Tugas

JAKARTA, MHI – Sidang permohonan uji materiil Pasal 8 ayat (1) huruf b dan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabata...

Postingan Terkini

Pilihan Redaksi